Pajak dalam Transaksi E-Commerce Belum Jelas
Berita

Pajak dalam Transaksi E-Commerce Belum Jelas

Jakarta, hukumonline. Penerapan pajak dalam transaksi e-commerce di Indonesia masih banyak kendala, terutama untuk menentukan kedudukan wajib pajak. Apalagi transaksi e-commerce belum diatur dalam perundang-undangan Indonesia.

Oleh:
Muk/APr
Bacaan 2 Menit
Pajak dalam Transaksi E-Commerce Belum Jelas
Hukumonline

Perkembangan teknologi informasi, khususnya teknologi informasi dalam bentuk e-commerce, telah memberikan perubahan mendasar pada cara orang melakukan transaksi perdagangan.  Jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan dalam melakukan transaksi. Produsen dan konsumen hanya terpisah oleh klik mouse saja serta berkurangnya peranan  pihak intermediaries.

Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH  berpendapat bahwa pembelian barang dari luar negeri akan menimbulkan dampak terhadap penerimaan pajak. Ia menyampaikan pendapatnya dalam seminar bertajuk "E-Commerce dan Mekanisme Penyelesaiannya Melalui Arbitrase/Alternatif Penyelesaian Sengketa" yang diadakan oleh Law Offices of Remy & Darus di Jakarta.

Di Eropa sendiri hal ini telah timbul sebagai masalah yang cukup signifikan berkenaan dengan penerimaan pajak pertambahan nilai. Pada Juni 2000 European Commission mengusulkan undang-undang yang mendefinisikan digital products, seperti software dan video programming yang di-download oleh komputer sebagai jasa dan bukan sebagai barang ataupun produk.

Selama ini, negara-negara Eropa mengandalkan pajak atas konsumsi  lebih banyak dari pada yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Pada umumnya di Eropa jasa-jasa dipajaki di negara asal. Dengan demikian, negara-negara Eropa tidak akan memperoleh pajak pendapatan dari jasa-jasa yang masuk ke Eropa dari luar berkenaan dengan e-commerce.

Regulasi di AS

The US International Revenue Code (IRC) pada dasarnya memberikan dua kriteria untuk menentukan yurisdiksi Amerika Serikat dalam mengenakan pajak pendapatan orang asing, serta tambahan kriteria ketiga yang ditentukan di dalam perjanjian antar-negara.

Dalam IRC tersebut, Remmy menyebutkan bahwa dasar pemajakan pertama adalah sumber pendapatan (source of income). Jika sumber pendapatannya di Amerika Serikat, maka pendapatan kotor orang asing akan dikenai pajak sebesar 30% withholding tax.

Dasar kedua tidak didasarkan pendapatannya berasal dari  Amerika Serikat, tetapi didasarkan pada apakah pendapatan tersebut berkaitan secara efektif dengan pelaksanaan perdagangan atau bisnis di Amerika Serikat. Kriteria ketiga adalah berdasarkan perjanjian  antarnegara di mana tempat kedudukan pihak asing yang bersangkutan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: