UU Merek Tidak Mengatur Domain Name
Berita

UU Merek Tidak Mengatur Domain Name

Jakarta, hukumonline. Para pembajak domain name punya banyak akal untuk menggaet keuntungan pribadi. Apalagi UU Merek tidak mengatur domain name.

Oleh:
Muk/APr
Bacaan 2 Menit
UU Merek Tidak Mengatur Domain Name
Hukumonline

Perkembangan internet telah memberi manfaat bagi kemajuan peradaban umat manusia dalam melakukan komunikasi dan mencari informasi. Di sisi lain, internet juga telah memunculkan cybersquatter (pembajak domain name).

Para pembajak ini mencari keuntungan dengan mendaftarkan merek-merek atau nama dagang terkenal. Nama Mustika Ratu didaftarkan sebagai domain name oleh orang yang tidak berhak dengan nama mustika ratu.com. Bahkan, kasus ini juga menimpa selebriti terkenal, Julia Roberts dan Kris Dayanti.

Dalam seminar yang bertajuk Legal Aspect of Domain Name yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta, pengamat HaKI, Insan Budi Maulana menyimpulkan bahwa UU Merek No 14 Tahun 1997 tidak secara tegas mengatur domain name.

Hal ini dikarenakan UU Merek dimaksudkan bukan untuk mengatur domain name, melainkan memberikan perlindungan terhadap pemilik atau pemegang merek dagang dan jasa terdaftar. "RUU Merek juga belum mencantumkan tentang pemakaian merek terdaftar dalam domain name akan dikenakan sanksi," kata Insan.

Perlindungan merek jasa

Menurut Insan, UU Merek sebenarnya juga mengatur dan memberikan perlindungan terhadap merek jasa yang digunakan melalui internet dan diatur dalam klasifikasi barang dan jasa menurut Nice Agreement. Untuk merek jasa yang berkaitan dengan internet, hal ini dilindungi dalam kelas jasa 37o dan kelas jasa 4211 .

Oleh karena itu menurutnya, apabila suatu perusahaan akan melindungi merek dagang dan merek jasa dari pihak lain yang mungkin akan menggunakannya ke dalam intenet, mereka seharusnya segera mungkin mendaftarkan merek itu ke dalam kelas jasa di atas. "Ini walaupun perusahaan tersebut tidak berkecimpung dalam bidang usaha tersebut," ujar Insan.

Insan mencontohkan, perusahaan minuman XYZ yang mendaftarkan merek jasanya pada Kantor Merek Ditjen HaKI dengan merek XYZ dan xyz.com untuk kelas jasa yang mencakup perlindungan di bidang internet.

Namun menurut Insan, hal ini tidaklah cukup. Perusahaan itu juga harus memperoleh internet domain name, misalnya dengan cara mendaftarkannya ke InterNIC/ICANN untuk memperoleh dot com tersebut. Perusahaan itu bisa juga ke IDNIC agar memperoleh dot ID untuk internet domain name di Indonesia.

Atas berbagai perkara yang timbul dalam hal domain name, Insan menyayangkan praktek pengadilan. Ia melihat, tidak sedikit hakim yang masih berpandangan seperti pada abad ke-19 dalam menentukan kerugian. Menurut hakim yang berpola pikir abad ke-19 tersebut, kerugian haruslah dapat diperinci dan diperhitungkan secara kasat mata. Padahal seharusnya hakim mampu menentukan jumlah kerugian secara adil karena masalah kerugian itu dapat secara material dan immaterial.

Dalam perhitungan secara material, apabila persaingan curang berkaitan erat dengan hak atas kekayaan intelektual, suatu merek dapat dihargai berdasarkan pendekatan nilai, pendekatan pasar, atau pendekatan total penjualan. Hal ini dikaitkan dengan keuntungan yang seharusnya diperoleh apabila telah terjadi tindakan persaingan curang melalui internet, atau akibat adanya domain name tersebut.

Pemecahan masalah cybersquatter

UU Merek yang berlaku saat ini tidak secara eksplisit memberikan perlindungan merek terhadap penyalahgunaan domain name. Edmon Makarim, pengamat cyberlaw dari LKHT FHUI, mengatakan bahwa masalah yang timbul dari pendaftaran domain name oleh yang tidak berhak ini dapat diselesaikan menggunakan hukum yang ada.

Untuk itu, menurut Edmon, dapat digunakan ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata dan pidana, seperti pasal 382 KUHP tentang persaingan curang, pasal 362 KUHP, ataupun pasal tentang perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.

Menurut Edmon, tidaklah tepat domain name dijadikan sebagai property (hak milik). Domain name sebagai sarana pengindentifikasian komputer di internet dapat disamakan dengan nomor telepon.

Tampaknya memang, ada perbedaan pendapat antara praktisi hukum dan praktisi internet. Contohnya saja, pada kesempatan yang berbeda, pengamat telematika Onno W Purbo menyatakan bahwa domain name tidak dimasukkan ke dalam bidang HaKI, dalam hal ini merek. "Biarkan saja masalah domain name dibebaskan," kata Onno.

Lagi pula menurut Onno, sebenarnya cybersquatter sendiri tidak akan memperoleh keuntungan yang besar jika para pemegang merek secara kreatif mendaftarkan domain name. Misalnya saja Astra, jika

www.astra.co.id telah didaftarkan orang lain, maka pihak Astra bisa saja mendaftarkan www.astraonline.co.id

Tags: