Harapan Baru di Tengah Ketidakpastian
Kolom

Harapan Baru di Tengah Ketidakpastian

'Setiap warga negara, tanpa kecuali, mempunyai hak membela kepentingan umum. Dengan demikian, setiap warga negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat negara atau pemerintah, atau siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum yang nyata-nyata merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan luas.' Petikan kalimat ini diambil dari amar penetapan majelis hakim yang diketuai oleh Andi Samsan Nganro saat menerima gugatan citizen law suit kasus tragedi kemanusian Nunukan.

Bacaan 2 Menit
Harapan Baru di Tengah Ketidakpastian
Hukumonline

Tim Advokasi Tragedi Kemanusiaan Nunukan  menggugat penyelenggara negara, antara lain presiden, wakil presiden, Menakertrans, Men Kesra, dan beberapa pejabat lain yang terkait dengan masalah itu.  Mereka dinilai telah lalai atau dengan sengaja melupakan kewajibannya untuk menangani masalah buruh migran Indonesia, khususnya yang dipulangkan dari Malaysia pada 2002.

 

Amar  atau pertimbangan penetapan tersebut tidak saja bermakna diterimanya gugatan citizen law suit oleh majelis hakim dan dimulainya pemeriksaan materiil gugatan. Yang lebih penting dari itu, amar penetapan ini merupakan  penemuan 'paradigma hukum' baru yang tentunya membuka pandangan baru dalam khasanah hukum di Indonesia. Hal ini juga merupakan langkah maju yang tidak hanya sekadar 'terobosan hukum', melainkan perubahan terhadap sudut pandang hukum itu sendiri. Penemuan paradigma hukum baru tersebut bisa kita lihat dari beberapa aspek.

 

Pertama, selama ini paradigma hukum yang ada memandang bahwa representatif dari kepentingan umum adalah pejabat publik, sehingga setiap kali pejabat publik  menterjemahkan kategori kepentingan umum tidak perlu lagi melihat, mendengar dan menggali dari masyarakat apa kepentingan umum bagi mereka. Sebab, hal itu telah sah menurut hukum dan hukum memberi mandat 'previlage' terhadap pejabat publik tersebut tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Hal ini membawa dampak yang buruk bagi masyarakat, seperti penggusuran rumah, perampasan tanah petani dan sebagainya.

 

Kedua, paradigma hukum yang saat ini diyakini di Indonesia atau bahkan diyakini sejak jaman kolonial Belanda. Paradigma ini meletakkan 'kepentingan' penggugat yang biasanya diperlihatkan dengan adanya kerugian, mengharuskan relasi langsung antara kerugian dan penggugatnya, baik penggugat yang mewakili dirinya sendiri, kelompoknya/ kelas penggugatnya ataupun organisasinya. Hal ini bisa kita lihat dalam gugatan biasa/konvensional ataupun gugatan alternatif yang berupa legal standing maupun class action.

 

Dalam gugatan legal standing, masih tetap disyaratkan relasi kepentingan dengan organisasi yang berupa pengakuan dalam statuta organisasi bahwa masalah yang digugat merupakan salah satu concern organisasi tersebut. Misalkan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dapat menggugat untuk pencemaran lingkungan, karena statuta Walhi menyebutkan bahwa Walhi concern terhadap lingkungan.

 

Begitu pula class action yang mensyaratkan hubungan langsung antara kepentingan gugatan dengan class yang melakukan gugatan. Misalkan, kelas buruh hanya bisa menggugat persoalan yang berkaitan dengan kelas buruh itu sendiri. Contohnya, buruh hanya dapat menggugat Menakertrans yang gagal memberikan lapangan pekerjaan dan memudahkan PHK. Sementara, mereka tidak bisa menggugat di luar kepentingan kelasnya.

 

Paradigma hukum baru

 

Mengapa diterimanya gugatan citizen law suit oleh majelis, merupakan sebuah penemuan 'paradigma hukum' baru. Karena yang pertama, dalam amar penetapan itu, majelis hakim mengakui bahwa setiap warga negara memiliki hak membela kepentingan umum. Dan atas kepentingan umum tersebut, dibolehkan untuk melakukan tindakan hukum terhadap penyelenggara negara.

Tags: