Pertanggungjawaban Komando
Kolom

Pertanggungjawaban Komando

Rakyat Indonesia dikejutkan oleh berita pembantaian tujuh orang warga sipil di di Desa Matangmamplan, Kabupaten Bireuen, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), oleh militer Indonesia. Salah satu korban adalah seorang anak 12 tahun. Harian The Guardian dan BBC dalam laporannya edisi 22 Mei 2003, menggambarkan orang-orang tersebut ditembak satu-persatu oleh personel dari satuan militer berjumlah 100 orang yang menduduki desa tersebut.

Bacaan 2 Menit
Pertanggungjawaban Komando
Hukumonline

Padahal menurut keterangan dari penduduk desa, para korban adalah petani. Penduduk desa menceritakan, mereka berusaha mencegah tentara untuk menangkap dan menembak mereka, tetapi tidak didengar. Sementara pihak militer Indonesia dalam tanggapannya menyatakan  para korban adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selain itu, TNI akan membentuk tim internal untuk menyelidiki peristiwa tersebut dan juga melibatkan para jurnalis.

 

Peristiwa berdarah tersebut terjadi di hari ketiga diberlakukannya darurat militer terhadap seluruh NAD oleh Keppres 28/2003. Tulisan ini menelisik lebih dalam terhadap pertanggungjawaban komando yang tidak hanya dibebankan oleh para perwira di lapangan, tetapi juga penentu kebijakan.

 

Tanggungjawab komando

 

Setiap orang -- yang memiliki kewenangan memegang komando -- yang gagal untuk mencegah atau memberikan hukuman atas tindakan illegal bawahannya dapat  dimintai pertangungjawabannya sesuai rantai komando. Demikian, sekilas mengenai gambaran dari doktrin pertanggungjawaban komando.

 

Dalam instrumen hukum internasional, pertanggungjawaban komando dapat ditemukan dalam Pasal 86 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 (1977), Pasal  6 dari Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind yang disusun oleh Internatonal Law Commission, Pasal 7 (3) Statuta ICTY, Pasal 6 (3) Statuta ICTR dan Pasal 28 (2) Statuta ICC. Instrumen hukum nasional juga mengatur tentang pertanggungjawaban komando dalam Pasal 42 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang merupakan jiplakan dari isi Statuta ICC.

 

Semua instrumen tersebut memberikan para pemegang komando bertanggungjawab untuk mencegah  anak buahnya dari tindakan pelanggaran hukum perang (laws of war) serta bertanggungjawab untuk menghukum anak buahnya jika hukum perang dilanggar. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban komando menjerat dua tindakan yang dilakukan para pemegang komando yaitu pembiaran (ommision) dan  tindakan pelanggaran hukum positif (commision).

 

Bila dilihat dari hubungan atasan-anak buah (superior-subordinate), komando dibagi dalam dua jenis, yaitu de jure dan de facto. Komando secara de jure menitikberatkan kepada struktur formal eksekutif, seperti entitas negara. Dalam hal ini, pemegang kekuasaan yang mengeluarkan kebijakan

 

Sedangkan komando secara de facto menitikberatkan pada kemampuan kontrol secara efektif (duty to control) dari pemegang komando terhadap anak buahnya, keharusan mengetahui segala tindakan anak buah (had reason to know). Selain itu, kewajibannya (duties) dalam mencegah terjadinya pelanggaran (duty to prevent) dan memberikan penghukuman bagi anak buah yang melanggar peraturan (duty to punish).

Tags: