Merasa penangkapan atas dirinya semena-mena, Eurico Guterres yang diwakili penasehat hukumnya Suhardi Somomulyono mengajukan permohonan praperadilan kepada PN Jakarta Selatan terhadap Kapolri cq Korps Reserse Polri.
Suhardi Somomulyono, kuasa hukum Guterres, mengatakan bahwa dasar-dasar pengajuan praperadilan ini karena penangkapan dan penahanan terhadap Komanadan Milisi Aitarak ini tidak sah. Penangkapan terhadap Guterres di Hotel Ibis, Jakarta, kamar 515 pada 4 Oktober 2000 pukul 11.00 tanpa adanya surat tugas seperti diatur dalam Pasal 18 ayat 1 kuhap.
Menurut Suhardi, penyidikan yang dilakukan terhadap Guterres dilakukan tanpa mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan. Oleh karena itu, ia berpendapat tindakan penyidikan yang dilakukan polisi melanggar Pasal 109 ayat (1) KUHAP.
Suhardi berpendapat bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap Guterres bukan dilakukan untuk kepentingan penyidikan. "Ini hanya merupakan pengekangan terhadap kebebasan Guterres," ujarnya. Penahanan Guterres, menurut Suhardi, bertentangan dengan Pasal 17 jo Pasal 1 butir 14 kUHAP.
Kuasa hukum Guterres ini beralasan bahwa penahanan yang dilakukan terhadap Guterres tidak didasarkan atas dasar bukti-bukti yang cukup. "Atas penahanan yang yang dialakukan penyidik, Eurico (Guterres) sempat stres dan pucat," kata pengacaranya.
Eurico masuk DPO
Sejak 2 Oktober 2000 sebenarnya Guterres sudah masuk DPO (daftar pencarian orang). Alasannya, berdasarkan laporan pada 24 September 2000 berkaitan dengan kejadian pidana di Polres Belu. Guterres dinilai telah melakukan penghasutan ketika pengembalian senjata oleh milisi di Atambua dan melanggar Pasal 160 KUHP.
Atas masuknya Guterres dalam DPO, pengacaranya mengatakan keberatan. Suhardi beralasan, orang masuk DPO apabila yang bersangkutan dicari penyidik tidak ditemukan tempat domisilinya setelah ada usaha pemanggilan 2 kali dan tersangka tidak diketahui oleh penyidik.