Presidensil
Tajuk

Presidensil

Beberapa bulan lewat, kami di Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) berdebat dengan narasumber seorang anggota Badan Pendiri Kehormatan kami, Prof. Daniel S. Lev. Intinya, pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang percaya bahwa sistem pemerintahan presidensil -- bagaimanapun ketatnya sistem check and balance dan rule of law ditegakkan -- tidak berbahaya bagi demokrasi, kepentingan umum, hak asasi dan kemanusiaan.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Presidensil
Hukumonline

Contohnya kental sekali pada peristiwa dunia yang baru terjadi, yaitu perang Irak. Bagaimana Presiden George W. Bush tidak dapat dicegah oleh siapapun untuk mengikrarkan perang, dan benar-benar melakukan tindakan perang terhadap Irak secara melawan hukum dengan mengabaikan kesepakatan PBB, sehingga perang Irak lebih sering dijuluki perangnya Bush pribadi. Padahal kita tahu bagaimana demokrasi berjalan, bagaimana sistem check and balance bekerja, serta rule of law ditegakkan di Amerika.

 

Akibat perang Irak kita sudah tahu, banyak rakyat sipil terbunuh, harta benda rusak, fasilitas umum hancur lebur, peninggalan budaya dijarah. Dengan enteng, pasukan koalisi mengatakan bahwa kerusakan itu merupakan collateral damage atau casualties of war. Belum lagi, kini Irak menghadapi suasana chaotic yang memerlukan rekonstruksi sarana fisik maupun pembangunan  kembali moral bangsa Irak yang harga dirinya dihancurkan, yang harus diakui sebagai suatu proses yang sulit, mahal dan makan waktu. Lagi-lagi, ini juga dianggap enteng oleh Bush administration sebagai masa transisi yang wajar setelah berakhirnya perang yang dapat dibiayai oleh minyak Irak.

 

Secara teoritis, Bush dapat diajukan ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang, itu pun kalau ada yang berani berinisiatif dan menanggung risiko. Yang jelas, Bush tidak dapat dijatuhkan dari posisinya sebagai Presiden AS karena tidak ada tindakannya yang saat ini bisa dijadikan dasar untuk tindakan  impeachment. Apalagi, tindakan perangnya mendapat dukungan Kongres yang tidak mampu meredakan hawa amarah perang Bush.

 

Kehendak Bush sebagai presiden dalam sistem presidensil Amerika tidak tergoyahkan, meskipun jutaan orang turun di jalan-jalan dari Seattle sampai New York, meskipun dukungan polling atas tindakan perang Bush merupakan yang terendah dibandingkan dengan polling atas perang-perang terdahulu termasuk perang Korea dan Vietnam, meskipun sekarang senjata pemusnah tidak diketemukan di Irak, dan meskipun Hans Blix akhirnya harus mengeluarkan kata-kata "banyak bajingan berkeliaran di Washington". Dalam konstelasi politik AS sekarang, Bush hanya bisa menanggung akibat tindakannya dengan menurunnya popularitasnya yang bisa berakibat kekalahan Bush dalam pemilihan umum mendatang. Tidak lebih dari itu.    

 

Tony Blair dan John Howard, dalam sistem parlementer Inggris dan Australia, lebih berisiko daripada Bush. Setiap waktu, dukungan parlemen bisa menurun drastis kalau kebijakan perang Inggris dan Australia ternyata kebijakan yang salah, dan masing-masing Blair dan Howard dianggap menjerumuskan Inggris dan Australia ke tepi jurang peradaban. Berkurangnya dukungan parlemen bisa segera saja menjatuhkan Blair dan Howard dari kursinya masing-masing.

 

Jadi kalau masalah yang menyangkut hidup matinya orang-orang sipil dalam jumlah besar, dihancurkannya suatu pemerintahan asing, dan mungkin dilumatnya suatu kebudayaan dapat ditentukan oleh tindakan dan tanggung jawab satu orang saja dalam kabinet presidensil, bisa dibayangkan bahwa satu orang ini juga bisa memutuskan begitu banyak kebijakan publik lainnya yang bisa saja menyengsarakan banyak orang.

 

Sistem presidensil di Indonesia dianut oleh UUD 1945 -- diselingi oleh sistem parlementer yang singkat di tahun 1950-an -- yang dicap gagal karena membuat kabinet jatuh bangun dalam waktu singkat, sehingga dituduh selalu gagal menuntaskan revolusi dan tugas-tugas pembangunan. Mungkin pada waktu Soekarno memutuskan dengan Dekrit Presiden 1959 untuk kembali ke UUD 1945, Indonesia pada saat itu masih dalam kondisi membutuhkan suatu kepemimpinan yang sentralistik, otoriter, dan karenanya dianggap efektif menjalankan program-program pembangunan multisektor.

Tags: