Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang
Kolom

Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang

Reformasi memberi banyak perubahan tingkah-polah masyarakat Indonesia. Dari semula pendiam menjadi begitu agresif. Tak terkecuali, sikap direksi yang berani menunjukkan perlawanannya terhadap pemegang saham. Kini, refomasi kembali melahirkan perseteruan, yakni antara Direksi PT Semen Padang (PTSP) dengan PT Semen Gresik (PTSG) selaku pemegang saham PTSP. Pokok sengketanya masalah kekuasaan tampuk kepemimpinan dalam pengelolaan PTSP.

Bacaan 2 Menit
Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang
Hukumonline

Perseteruan ini menarik dikaji dari perspektif hukum perseroan guna menambah khasanah perkembangan hukum di Indonesia. Sejauh mana kewenangan pemegang saham mengganti direksi/komisaris atas dasar alasan subyektif. Indonesia yang menganut civil law system, miskin akan referensi putusan pengadilan yang terdokumentasi dan tersosialisasi secara memadai yang berupa ulasan para pakar dan praktisi hukum. Hal ini (mungkin) terkait dengan mainstream yang berkembang bahwa bagi negara penganut civil law system, peranan pengadilan dalam perkembangan hukum sangat tidak menonjol, berbeda dengan common law system.

 

Sepanjang pengamatan penulis, sengketa direksi dan pemegang saham yang terekspose cukup besar di media massa, inilah yang kedua kali. Pertama, Direksi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ketika itu terkesan tak sejalan dengan pemerintah (pemegang saham) untuk 'konsisten' melanjutkan kontrak kerjasama dengan investor asing yang ditandatangani di era Orde Baru. Konon, kontrak tersebut beraroma KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dalam hitungan bisnis, tidak menguntungkan PLN. Padahal, dari pemberitaan di media massa, terkesan Direksi PLN berniat untuk membatalkannya.

 

Sayang, Direksi PLN memilih mengundurkan diri ketimbang menunggu 'dipecat' dan melakukan perlawanan di pengadilan akibat perbedaan pandangan dengan pemegang saham (pemerintah) demi kepentingan PLN. Langkah hukum ini penting bagi dunia hukum guna menguji absoluditas kewenangan pemegang saham terhadap perusahaannya bila direksi menganggap bertentangan dengan maksud dan tujuan perseroan.

 

Lakon perlawanan Direksi PTSP

 

Perseteruan bermula di awal tahun 2002, Menteri BUMN selaku wakil pemerintah (pemegang saham) di PTSG -- PTSG pemegang saham PTSP -- berniat mengganti anggota Direksi dan Komisaris PTSP. Konon, alasannya kinerja keuangan PTSP yang kurang baik. Namun, alasan tersebut dibantah Direksi PTSP.

 

Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) adalah forum yang akan digelar untuk mengganti Direksi dan Komisaris PTSP oleh PTSG selaku pemegang saham, sebagaimana dimungkinkan oleh UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Direksi berwenang menyelenggarakan RUPS(LB) (pasal 66 UUPT). Namun, UUPT juga memberi pemegang saham hak inisiatif dengan mengajukan permintaan disertai alasan (agenda acara) kepada direksi atau komisaris untuk menyelenggarakan RUPS(LB).

 

Apabila lebih dari 30 hari terhitung sejak permintaan penyelenggaraan RUPS(LB), direksi atau komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS(LB), maka ketua Pengadilan Negeri tempat kedudukan Perseroan dapat memberikan ijin pemegang saham selaku pemohon melakukan sendiri pemangggilan RUPS(LB).

 

Berbekal hak yang diberikan UUPT, PTSG (pemegang saham) berniat mengganti Direksi dan Komisaris PTSP melalui RUPSLB dengan alasan kinierja keuangan PTSP memburuk. Karuan saja, keinginan ini ditentang Direksi dan Komisari PTSP. Alasannya, rencana RUPSLB tidak diberitahukan kepada Direksi PTSP sebagaimana yang diatur UUPT. Akibatnya, tak terhindarkan sengketa antara keduanya terjadi melalui pengadilan.

Tags: