Sifatnya Subjektif
Ketika dimintai komentarnya, Maria mengatakan bahwa definisi perbuatan tercela memang tidak diatur secara rinci dalam UUD 1945. Ia mengakui bahwa keempat kriteria perbuatan tercela tersebut sebetulnya masih dapat diperlebar lagi, walaupun sifatnya masih bisa subjektif bergantung pada orang yang menafsirkannya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Satya Arinanto. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengatakan bahwa konstitusi tidak memiliki definisi yang baku tentang apa yang disebut dengan perbuatan tercela. Namun, ia berpandangan bahwa istilah perbuatan tercela lebih merupakan terminologi hukum pidana ketimbang norma agama ataupun masyarakat.
Sementara, mengenai persyaratan hakim MK yang juga belum berhasil disepakati oleh Panitia Khusus RUU MK, Maria berpandangan bahwa hakim MK haruslah sarjana hukum. Karena kalau tidak nantinya dia akan sulit mengadili. Hakim harus mengerti hukum acara juga dan tentunya hukum acara ini paling bisa dimengerti oleh mereka yang sarjana hukum, cetusnya kepada hukumonline.
Di pihak lain, Firmansyah beranggapan bahwa hakim konstitusi tidak harus sarjana hukum. Pasalnya, konstitusi hanya menegaskan persyaratan kualitas personal hakim konstitusi harus negarawan yang tidak membatasi dari persyaratan formal gelar kesarjanaan.
Dalam kesempatan itu, ia juga menegaskan bahwa tersangka atau terdakwa tidak boleh menjadi hakim konstitusi karena bertentangan dengan semangat konstitusi. Konstitusi menginginkan hakimnya memiliki integritas dan tidak melakukan perbuatan tercela.
Lebih jauh, Firmansyah menyatakan bahwa syarat hakim konstitusi harus memilki pengalaman di bidang hukum tidak bisa dimaksudkan untuk anggota legislatif termasuk di dalamnya. Sekadar mengingatkan, UUD mengatur bahwa DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden berhak mengajukan masing-masing tiga orang calon Hakim Konstitusi.
Marwan mengatakan, definisi perbuatan tercela harus dijabarkan serinci mungkin sampai dengan contoh-contohnya di dalam batang tubuh UU MK. Harus di dalam aturan materinya, di batang tubuhnya. Jangan di penjelasan karena penjelasan itu masih bukan aturan. Penjelasan dari suatu UU bukan suatu norma, tapi hanya menjelaskan apa yang dimaksud dalam UU itu, jelasnya.
Secara terpisah, Ketua Konsorsium untuk Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin mengatakan, pihaknya telah mengadakan pertemuan dengan tim pakar hukum untuk membahas sejumlah substansi penting dalam UU MK. Salah satu materi yang berhasil dirumuskan adalah definisi perbuatan tercela. Tercatat sebagai anggota tim pakar diantaranya, Prof. Jimly Asshiddiqie, Dr. Satya Arinanto, dan Dr. Maria Farida Indrawati.
Menurut Firmansyah, ada empat hal yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela sebagai alasan pemberhentian (impeachment) terhadap presiden. Yaitu, perbuatan tercela terkait dengan jabatan, tidak memenuhi kewajiban konstitusi, perbuatan yang melanggar norma yang hidup di masyarakat, dan melanggar sumpah jabatan.
Sementara, ia membandingkan definisi perbuatan tercela menurut UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, adalah bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat. Perbuatan yang termasuk dalam kategori yang disebut terakhir, berjudi, mabuk, pecandu narkoba, dan berzinah.