Menggertak Pengusaha dengan UUHC Baru
Fokus

Menggertak Pengusaha dengan UUHC Baru

Sebentar lagi akan berlaku UU tentang Hak Cipta (UUHC) yang baru. Banyak pengusaha dan penguna software,/i> bajakan yang ketakutan karena akan dikenakan sanksi hingga miliaran rupiah. Sekadar gertakan?

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
Menggertak Pengusaha dengan UUHC Baru
Hukumonline

 

Lantas, mengapa kali ini Rais sepertinya merasa perlu sekali untuk menghadiri undangan tersebut? Bukankah sudah sejak lama perusahaannya menggunakan software bajakan dan berjalan tanpa hambatan. Lagi pula, Rais juga sudah tahu dari dulu bahwa menggunakan software bajakan merupakan tindakan yang salah dan bisa dihukum menurut peraturan perundang-undangan.

 

Rupanya, masalah perundang-undangan -- tepatnya, bunyi ancaman pidana pada undang-undang itu -- pula yang membuat Rais merasa harus hadir dalam seminar tersebut. Salah satu tujuan seminar hari itu memang sosialisasi UU tentang Hak Cipta (UUHC) yang baru No. 19 Tahun 2002. Bila tak ada aral melintang, undang-undang ini akan berlaku efektif mulai 29 Juli 2003. Berlakunya undang-undang ini sekaligus akan menggantikan UU tentang Hak Cipta yang selama ini berlaku No. 12 Tahun 1992.

 

Dibanding dengan pendahulunya, UUHC kali ini memang disusun untuk memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi para pemegang hak cipta. Salah satunya dengan memberikan ancaman pidana denda yang lebih tinggi dibanding dengan UUHC sebelumnya. UU No. 12 Tahun 1997 menyebutkan bahwa ancaman denda bagi para pelanggar hak cipta "hanya" sebesar Rp100 juta. Namun pada UUHC yang baru, ancaman pidana denda bagi para pelanggar hak cipta bisa mencapai Rp5 miliar.

 

Pemerintah memang sengaja memperberat ancaman pidana denda. Dalam suatu kesempatan, mantan Dirjen HaKI Zen Umar Purba pernah mengatakan bahwa ancaman pidana penjara kerap tidak efektif. Karena dalam praktek, hakim justru kerap menjatuhkan hukuman percobaan kepada para pelanggar HaKI. Hukuman demikian jelas tidak membawa dampak apa-apa bagi rehabilitasi kerugian korban. "Pemerintah berpendapat bahwa sebagai gantinya, pemerintah akan lebih baik jika pelaku delik tersebut dikenakan pidana denda yang jauh lebih berat," jelas Zen Umar.

 

Program komputer

 

Perlindungan yang lebih kuat melalui UUHC ini seyogyannya menggembirakan para pemegang hak cipta dari semua jenis karya cipta yang diatur UUHC. Namun dibandingkan dengan pemegang hak cipta bidang yang lain, pemegang hak cipta bidang program komputer lah yang terlihat paling antusias menyambut pemberlakuan UUHC baru ini.

 

Berbagai bentuk sosialisasi UUHC baru dilakukan oleh para pemegang hak cipta bidang komputer ini. Mereka yang tergabung dalam Bussiness Software Alliance (BSA) dan Asosiasi Piranti Lunak Indonesia (Aspiluki) misalnya, sudah sejak tahun lalu menyelenggarakan berbagai seminar tentang penggunaan program komputer legal dalam kaitannya dengan UUHC.

 

Praktisi hukum Justisiari P. Kusumah mengemukakan, fenomena ini terjadi kemungkinan karena UUHC baru ini memberikan senjata baru kepada para pemegang hak cipta itu. Dalam UUHC baru ini diatur secara lebih rinci perlindungan hak cipta di bidang komputer. Pengacara pada kantor hukum Soemadipraja dan Taher ini mencontohkan rumusan yang terdapat pada Pasal 72 ayat (3) yang mengatur secara khusus ancaman pidana terhadap pelanggar hak cipta program komputer.

 

Alasan lainnya yang mungkin lebih mengena adalah karena program komputer lah bentuk hak cipta yang paling banyak dibajak di Indonesia. Business Development Manager Microsoft Indonesia, Diana Soedardi, mengatakan bahwa berdasarkan survei global, tingkat pembajakan program komputer di Indonesia mencapai angka 88 persen.

 

Dengan angka pembajakan sebesar itu, tak heran jika Indonesia menempati tempat ketiga di antara negara-negara yang tingkat pembajakannya paling tinggi di dunia. Titel ini juga yang mengakibatkan Indonesia menjadi langganan Priority Watch List (PWL) dalam beberapa tahun terakhir ini. Kategori yang diberikan oleh Departemen Perdagangan Amerika itu menandakan Indonesia adalah salah satu negara yang masih kurang dalam penegakan hukum untuk memberantas pembajakan.

 

Targetkan pengusaha

 

Salah satu pihak yang perlu bersiap-siap untuk menyongsong UUHC baru adalah kalangan pengusaha. Sebab, di antara mereka masih banyak yang menggunakan program komputer bajakan untuk menjalankan bisnisnya. Lagi pula target UUHC, sesuai Pasal 72 ayat (3), adalah mereka yang membajak atau menggunakan program bajakannya untuk kepentingan komersial.

 

Kalangan pengusaha juga merupakan kelompok pengguna yang relatif lebih mudah didata, apakah dalam menjalankan bisnisnya mereka menggunakan program komputer yang berlisensi atau malah menggunakan program bajakan. Dengan demikian, akan relatif mudah juga seandainya hendak dilakukan penegakan hukum sesuai ketentuan yang ada dalam UUHC.

 

 

Alasan ini juga yang mungkin mendasari Dirjen HaKI untuk memasukkan kalangan pengusaha sebagai salah satu target utama sosialisasi UUHC. Direktur Hak Cipta Dirjen HaKI, Ermawati Junus, mengatakan bahwa salah satu kegiatan sosialisasi UUHC adalah dengan mengirimkan direct mailer kepada sekitar 10.000 perusahaan. Kegiatan lainnya adalah bekerja sama dengan BSA dan Aspiluki menggelar seminar yang dihadiri Rais dan perwakilan dari sekitar 2000 perusahaan lainnya yang memanfaatkan program komputer untuk menjalankan bisnisnya.

 

Manager Enforcement Regional BSA, Tarun Sawney, juga  mengatakan bahwa target penegakan UUHC adalah kalangan pengusaha. Menurutnya, BSA sangat prihatin terhadap perusahaan-perusahaan yang menggunakan software ilegal. "Mulai 29 Juli nanti penggunaan software ilegal adalah perbuatan kriminal," tegas Tarun mewanti-wanti para pebisnis yang selama ini masih menggunakan software ilegal.

 

Peringatan Tarun itu semestinya membuat pengusaha yang masih menggunakan program bajakan untuk berhati-hati. Pasalnya kalau saja mau, para pemegang hak cipta itu bisa saja langsung melaporkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan program mereka yang dibajak. Apalagi, ternyata di antara pemegang hak cipta sendiri sudah mempunyai data siapa saja yang masih menggunakan program komputer bajakan.

 

Microsoft Indonesia, misalnya. Perwakilan dari perusahaan produsen program komputer nomor satu dunia ini sudah mempuyai data bahwa sebagian perusahaan publik di Indonesia menggunakan software Microsoft bajakan dalam melaksanakan usahanya. Data Microsoft itu juga sesuai dengan data yang diungkapkan partner pada kantor konsultan Prihandojo Boentoro & Co, Hadi Cahyadi, yang mengatakan bahwa baru 30 persen saja perusahaan publik yang taat HaKI.

 

Apalagi, sebenarnya delik di bidang hak cipta adalah delik biasa. Artinya, penegak hukum bisa menindak pelanggar hak cipta tanpa harus menunggu pengaduan dari para pemegang hak cipta. Dengan data-data yang sudah ada, seharusnya tidak sulit pula bagi penegak hukum untuk segera melakukan penindakkan terhadap pelanggar hak cipta tersebut.

 

Biaya mahal

 

Ternyata "imbauan" Dirjen HaKI cukup manjur juga. Ruang pertemuan di lantai 9 Plaza Bapindo, Jakarta, yang berkapasitas lebih dari 2.000 kursi itu nampak penuh pada hari seminar dilaksanakan. Hampir seluruh peserta adalah manajer TI atau setidaknya mengurusi masalah TI pada tempat kerjanya masing-masing.

 

Seminar tersebut dibuka langsung oleh Dirjen HaKI, Abdul Bari Azed. Materi yang disampaikan adalah seputar akan diberlakukannya UUHC baru sambil tak lupa mensosialisasikan juga ancaman pidana bagi pelanggar hak cipta di bidang program komputer. Yaitu, sesuai Pasal 72 ayat (3), pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

 

Sesi berikutnya tampil pembicara dari para produsen program komputer, seperti Symantec, Macromedia. Juga ada Diana dari Microsoft yang menerangkan pentingnya penggunaan software berlisensi dalam hubungannya dengan peningkatan perekonomian Indonesia.

 

Saat tiba giliran masukan dari peserta seminar, muncul kembali masalah klasik penggunaan program berlisensi. Apalagi, kalau bukan soal biaya tinggi dari mahalnya harga lisensi program. Bahkan, biaya lisensi program dalam satu komputer lebih tinggi dari harga unit komputer itu sendiri.

 

BSA mempunyai jawaban sendiri soal biaya mahal ini. Tarun mengatakan, alasan biaya mahal mungkin masuk akal bagi pengguna individu, tapi sangat berlebihan bagi pengguna perusahaan. "Mereka mampu membeli segala perangkat perangkat perkantoran seperti komputer sekian banyak. Namun untuk sarana yang membuat mereka produktif (software), mereka malah membajaknya," tegas Tarun.

 

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Diana dari Microsoft. Menurutnya, jangan karena program komputer tidak terlihat seperti unit komputernya, program komputer bebas untuk dibajak. Lagi pula menurutnya, sangat tidak adil bagi para produsen program komputer jika para pengusaha mengambil untung dari suatu program komputer, tetapi enggan membayar lisensinya. "It's about fairness," tegasnya.

 

Apalagi dengan membeli produk berlisensi, pengguna akan mendapat keuntungan tambahan. Yaitu, keamanan yang terjamin dan layanan purna jual yang memuaskan. "Saya kira harga lisensi menjadi tidak seberapa jika dibanding dengan keamanan data-data perusahaan," ujar Diana.

 

Walau dengan alasan apapun, tentu saja bagi sebagian besar perusahaan, harga lisensi program komputer masih amat mahal. Ambil contoh kasus di perusahaan tempat Rais bekerja yang mempunyai sekitar 50 komputer klien dan 2 komputer server. Kemudian, Rais ingin pada semua komputer itu dipasangkan program paling standar saja untuk keperluan kantornya, seperti sistem operasi (Windows) dan MS-Office. Fasilitas tambahannya hanya Microsoft Exhange saja untuk keperluan e-mail.

 

Dengan kebutuhan standar tersebut, perkiraan harga yang harus dibayarkan oleh Rais adalah sebagai berikut :

 

No

Description

Qty

   Unit    (US$)

Total (US$)

1

 Exchange Svr 2000 English OLP NL

2

       612.59

    1,225.18

2

 Exchange CAL 2000 All Languages OLP NL

50

         58.89

    2,944.50

3

 Exchange Svr 2000 English Disk Kit

1

         28.00

         28.00

4

 Office XP Win32 English OLP NL

50

       330.34

  16,517.00

5

 Office XP Win32 English Disk Kit

1

         28.00

         28.00

6

 Windows Svr Std 2003 English OLP NL

2

       629.42

    1,258.84

7

 Windows Server CAL 2003 English OLP NL

50

         25.24

    1,262.00

8

 Windows Svr Std 2003 English Disk Kit

1

         28.00

         28.00

9

 Windows XP Professional English OEM w/SP1

50

       156.00

    7,800.00

 

SUB TOTAL (US$)

 

 

  31,091.52

 

Sumber : Salah satu vendor software di Jakarta

 

Untuk beberapa program standar saja, perusahaan Rais harus mengeluarkan dana sekitar AS$31,091.52. Dengan PPN 10 persen, totalnya akan menjadi AS$34,200,67 atau sekitar Rp283.865.561 dengan kurs AS$1=Rp8.300. Padahal, kemungkinan perusahaan Rais hanya menggunakan komputer rakitan yang menghabiskan Rp220 juta saja, yaitu 50 klien x Rp4 juta + 2 server x Rp10 juta.

 

Tak akan semena-mena

 

Jelas terlihat ada sedikit kepanikan terpancar dari wajah beberapa peserta. Bisa dilihat dari gencarnya pertanyaan yang mereka ajukan kepada beberapa vendor program komputer yang membuka stan saat istirahat siang tiba. Itu pun karena memang tidak cukup waktu untuk bertanya pada sesi diskusi karena begitu banyaknya pertanyaan yang diajukan peserta.

 

Beberapa peserta yang dimintai komentarnya secara tidak langsung menyatakan kepanikannya. "Kami sadar bahwa memakai barang bajakan itu salah. Tapi jangan langsung digerebek terus denda Rp500 juta dong," ujar seorang peserta yang enggan disebut namanya. Beberapa pernyataan senada juga dilontarkan peserta lainnya.

 

Menanggapi kepanikan tersebut, Diana mengemukakan bahwa Microsoft tidak akan begitu saja menjatuhkan pengusaha yang menggunakan software bajakan. "Pihak Microsoft tidak akan melakukan tindakan yang demikian," tegas Diana. Ia mengatakan bahwa para pengusaha itu sebaiknya tidak usah khawatir. Alasannya, Microsoft justru menganggap para pengusaha itu calon-calon dari mitra bisnis potensialnya. "Apa mungkin kami akan menjatuhkan pasar potensial kami," tambah Diana.

 

Lagi pula, menurutnya, Microsoft Indonesia juga tidak mempunyai kuasa untuk melakukan suatu legal action. Pasalnya, sebagian besar tugas Microsoft Indonesia adalah sebagai penjual produk Microsoft di Indonesia. Namun, tentu saja Diana menginginkan agar para pengusaha tersebut mulai menggunakan software legal. Sebab menurutnya, tidak adil bagi Microsoft, jika para pengusaha tersebut mengambil untung dengan menggunakan software buatan Microsoft. Namun, mereka enggan membayar biaya lisensi dari produk Microsoft tersebut.

 

Jaminan bahwa tidak akan dilakukannya 'penggerebekan' terhadap perusahaan-perusahaan yang menggunakan software ilegal juga dinyatakan Ermawati Junus. Menurutnya, dengan diberlakukannya UUHC baru tidak semata-mata akan dilakukan penegakkan hukum seketika dengan menyeret pengusaha pengguna software bajakan. "Hukum memang harus ditegakkan, tetapi tidak akan dilakukan dengan semena-mena," ujarnya.

 

Untuk menegakkan UUHC ini, akan dibentuk tim penanggulangan pelanggaran HaKI. Tim ini akan terdiri dari berbagai unsur yang akan berkoordinasi satu sama lain untuk menegakkan UUHC. Sebagai langkah awal, telah ditandatangani MoU antara Depkeh HAM dan Kepolisian sebagai bentuk koordinasi ini.

Setibanya di kantor, Rais (bukan nama sebenarnya) biasanya langsung mengisi mejanya dengan kertas-kertas yang berisikan tugasnya sehari-hari atau duduk serius berjam-jam di depan komputernya. Namun, hari itu manajer TI (Teknologi Informasi) pada sebuah perusahaan jasa ini langsung menuju ruang atasannya untuk meminta ijin keluar kantor. Ternyata, jadwal Rais hari itu adalah menghadiri seminar tentang Hak Cipta yang diselenggarakan oleh Dirjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dan beberapa asosiasi perangkat lunak (program komputer/software).

 

Sebenarnya, bukan hal yang biasa bagi Rais untuk datang menghadiri sebuah seminar. Karena sebagai seorang manajer TI, tugas utamanya adalah mengurusi sistem TI di internal kantornya saja. Namun, undangan seminar kali ini datang dari Dirjen HaKI, disertai dengan "imbauan" yang pada intinya menyatakan bahwa menggunakan software ilegal adalah bentuk tindak kriminal.

 

Rais memang punya kepentingan dengan undangan tadi. Pasalnya, hampir semua komputer yang digunakan perusahaannya untuk menjalankan bisnis masih menggunakan program yang tidak berlisensi alias bajakan. Padahal, paling tidak ada sekitar lima puluh komputer bekerja sama satu dengan lainnya menghidupi perusahaan tempat Rais bekerja. Kelimapuluh komputer tersebut saling "bercengkrama" melalui dua buah komputer lain yang difungsikan sebagai server.

Halaman Selanjutnya:
Tags: