Penjara untuk Akbar Tandjung
Kolom

Penjara untuk Akbar Tandjung

Tahun 2002, menjelang dimulainya gelar perkara penyalahgunaan dana Bulog dengan Akbar Tanjung sebagai salah satu terdakwanya, penulis berkeyakinan bahwa Golkar -- terlebih lagi Akbar -- telah benar-benar terpojok. Beringin semakin layu, dan Akbar harus segera angkat kaki dari dunia politik yang hingar bingar.

Bacaan 2 Menit
Penjara untuk Akbar Tandjung
Hukumonline

 

Ketiga hal di atas, selaras dengan berbagai temuan psikologi forensik, terbukti sangat ampuh dalam menurunkan tingkat efektivitas hukuman. Itulah yang terjadi. Proses peradilan yang lazimnya tidak menyenangkan, sehingga berpengaruh kontraproduktif bagi kinerja individu manapun, dalam kasus Akbar justru menjadi semacam negative reinforcement.

 

Laiknya seorang individu yang mengalami sensasi kenikmatan tatkala disakiti (masochist) -- alih-alih mengendur -- tekanan menjalani proses hukum dan menghadapi cercaan masyarakat justru mempertinggi motivasi politik Akbar. Wajar apabila publik bertanya-tanya tentang strategi jitu yang dapat dilakukan guna men-skak mat politisi yang satu ini. Pertanyaan semacam ini didasarkan pada asumsi bahwa terputusnya pertalian Akbar dengan kancah politik nasional akan membawa negeri ini ke kehidupan yang lebih bersih dan lurus.

 

Pemenjaraan

Secara teoritis, pemenjaraan merupakan langkah paling realistis yang dapat dipraktekkan untuk mencapai maksud di atas. Pemenjaraan, sebagai bentuk pengisolasian, dapat berefek katarsis bagi masyarakat. Rindu akan adanya sangsi berat bagi para elit, digiringnya Akbar ke rumah tahanan dapat -- sedikit banyak -- menjadi pemuas dahaga publik akan penegakan keadilan di negeri ini.

 

Tak semata bagi publik, pemenjaraan juga dapat memberikan manfaat therapeutic bagi Akbar. Penalarannya berawal dari sebuah postulat bahwa setiap individu yang melakukan aksi kriminalitas didorong oleh adanya kebutuhan-kebutuhan kriminal (criminogenic needs) di dalam diri individu bersangkutan.

 

Aksi kejahatan, dalam konteks ini, berfungsi sebagai cara untuk memenuhi desakan kebutuhan kriminal tersebut. Kecuali lewat mekanisme sublimasi (penyaluran energi ke ragam perilaku yang lebih mulia), individu tidak akan menghentikan tindak kejahatannya sebelum ia dapat secara optimal memuaskan kebutuhan menyimpangnya itu.

 

Bagaimana postulat ini dapat ditegakkan dalam kasus Akbar?

 

Kembali ke kasus Bulog-gate 2, di mana Akbar -- berdasarkan putusan pengadilan -- terbukti terlibat dalam penyalahgunaan dana Bulog. Uang Bulog sebesar Rp90 miliar rupiah telah digunakan sebagai sumber dana kampanye Golkar pada Pemilihan Umum 1999. Putusan ini, diterjemahkan ke dalam terminologi psikologi forensik, memberikan penegasan  bahwa kancah politik telah menjadi medan tersendiri bagi Akbar dalam mendemonstrasikan tingkah laku kejahatan.

 

Karena perilaku kriminal tersebut ditampilkan dalam rangka mencapai tujuan kekuasaan (kemenangan Golkar) -- plus, mungkin -- memuluskan jalan menuju singgasana kepresidenan, maka kekuasaan secara faktual telah menjadi kebutuhan kriminogenik pada diri Akbar.

 

Belum lagi jika berita tentang sengketa tanah Srengseng serta penyimpangan penggunaan dana Tabungan Perumahan (Taperum) seperti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, yang konon juga melibatkan Akbar pada dasawarsa delapan puluhan dan semasa menjabat Menteri Perumahan Rakyat, juga dipertimbangkan. Apabila sinyalemen tentang peran Akbar dalam kedua kasus ini benar adanya, ada dua implikasi psikologi forensik berkaitan dengan kriminalitas Akbar.

 

Pertama, kekayaan juga tepat dimasukkan sebagai kebutuhan kriminogenik lainnya yang hidup di dalam diri Akbar. Glory and gold, kekuasaan dan kekayaan, dua godaan yang nyaris tak tertahankan dalam menggelincirkan kaki manusia! Kedua, riwayat kejahatan Akbar tidak hanya dipahami secara terbatas sejak kurun 1999 lalu, melainkan dalam rentang waktu yang lebih panjang lagi.

 

Secara khusus, riwayat kejahatan ini diperlukan dalam rangka membangun prognosis (ramalan) bagi hilangnya tingkah laku kriminal individu. Semakin lama keterlibatan individu dalam dunia kejahatan, semakin sukar pula upaya pemodifikasiannya.

 

Ada sekat

Berpijak pada uraian di atas, perintah hakim agar Akbar Tanjung segera dikirim ke penjara sebenarnya memiliki pembenaran psikologis yang memadai. Melalui pemenjaraan, kebutuhan Akbar akan kekuasaan dapat ditekan. Pada saat yang sama, ia relatif akan terasing dari politik. Dengan kata lain, pemenjaraan terhadap diri Akbar dirancang sebagai metoda guna meredam kebutuhan kriminogenik, sekaligus menjauhkan Akbar dari medan kriminogeniknya.

 

Persoalannya, mengapa Akbar tak kunjung dipenjara? Andaikan hakim beranggapan bahwa Akbar tidak akan bertindak-tanduk membahayakan pasca sidang Bulog-gate 2, ini jelas merupakan false negative.

 

Akbar, besar kemungkinan, tidak akan mengakibatkan cedera dalam batasan fisik. Namun, hakim kiranya tidak mengindahkan probabilitas bahwa Akbar dapat saja mengulangi aksi kejahatannya. Pasalnya, membiarkan Akbar bebas sama maknanya dengan tidak memberikan sekat antara Akbar dengan medan kriminogenik (politik) dan kontrol antara Akbar dengan kebutuhan kriminogeniknya (kekuasaan dan -- mungkin -- kekayaan).

 

Meskipun begitu, penulis mencoba untuk menaruh empati terhadap para hakim yang mengadili kasus Akbar. Sadar maupun tidak, keengganan para hakim untuk mengirim Akbar ke penjara bisa jadi merupakan pengakuan implisit bahwa pemenjaraan tidak akan efektif mengubah tingkah laku Akbar. Tidak hanya karena Akbar adalah individu cerdas. Tetapi juga karena hakim -– bahkan masyarakat umum -- tahu benar manajemen kacau-balau penjara-penjara di Tanah Air.

 

Jadi, alih-alih mengubah seorang preman menjadi budiman, memasukkan para kriminal ke dalam sel yang gelap sama saja artinya dengan secara sesat mengajarinya puisi Paman Doblang (Rendra, 1984). Bunyinya: "Sambil bersila aku mengarungi waktu. Lepas dari jam, hari dan bulan. Aku dipeluk oleh wibawa, tidak berbentuk, tidak berupa, tidak bernama. Aku istirahat di sini. Tenaga ghaib memupuk jiwaku."

 

Reza Indragiri Amriel m mendalami Psikologi Forensik, The University of Melbourne, Australia

 

 

Ternyata, perjalanan waktu menunjukkan fakta yang berbeda. Kendati tekanan dari banyak kalangan tidak kunjung surut, publik harus menerima kemungkinan masih panjangnya karir politik Akbar Tanjung. Tersangkut perkara hukum besar ternyata tidak menghilangkan kelihaian sekaligus nasib mujur Akbar.

 

Beberapa waktu lalu, misalnya, meskipun telah terbukti melakukan tindak kejahatan korupsi, hakim yang mengadili kasus Akbar tersebut secara kontroversial tidak segera mengirim Akbar ke penjara. Tidak hanya itu. Akbar dengan percaya diri terus berjuang mencari kebenaran dengan mengajukan proses banding, yang hingga kini telah mencapai tingkat kasasi Mahkamah Agung.

 

Yang mutakhir, lolos dari Undang-undang Pemilihan Presiden yang tidak menetapkan syarat bahwa seorang kandidat presiden harus tidak berstatus terdakwa, merupakan keberhasilan Akbar dalam menambah daftar kegemilangannya di kancah perpolitikan nasional. Terbukti bahwa kemudian nama Akbar mencuat, bertepatan dengan pembukaan konvensi pemilihan calon presiden dari Golkar pada 10 Juli 2003, sebagai salah satu kandidat presiden yang diajukan oleh partai tersebut.

 

Bahkan, kesediaan Nurcholish Madjid untuk dicalonkan sebagai presiden oleh Golkar, seolah menjadi antitesis bagi stigma yang dikenakan masyarakat selama ini terhadap Golkar. Khalayak luas -- awam dan pengamat -- boleh saja mengidentikkan Golkar sebagai biang KKN. Namun, citra tersebut terbantahkan, karena dinamika politik pada gilirannya membuktikan seorang begawan sekaliber Nurcholish Madjid pun sudi bergandengan tangan dengan Golkar. Meskipun, belakangan Cak Nur ragu akan keikutsertaannya dalam Konvensi Pemilihan Calon Presiden dari Partai Golkar.

 

Jika dirangkum, paling sedikit ada tiga penampakan sosio-legal berkenaan dengan kasus Akbar, yang secara faktual tidak menghambat akselerasi politiknya dalam mengembalikan kejayaan Golkar sekaligus menuju kursi RI-1. Ketiganya adalah penahanan yang sporadis, proses peradilan yang berkepanjangan (dan vonis yang dijatuhkan tidak memberikan efek signifikan terhadap si terhukum selama rentang waktu tersebut), serta hujatan yang deras.

Halaman Selanjutnya:
Tags: