AS Vs Keadilan Internasional
Bhatara Ibnu Reza

AS Vs Keadilan Internasional

Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden George W. Bush melakukan perlawanan terang-terangan terhadap keberadaan International Criminal Court (ICC) sejak berlaku efektif pada 1 Juli 2002. Beberapa alasan yang dikemukakan AS adalah pertama, ICC memperkecil peran Dewan Keamanan (DK) PBB dalam menjaga perdamaian (peace) dan keamanan (security) internasional.

Bacaan 2 Menit
AS Vs Keadilan Internasional
Hukumonline

 

Produk legislasi AS

 

Pemerintahan Bush mendukung sebuah act yang diusulkan oleh Senator Helms dan anggota House of Representatives (HR), DeLay, dengan nama American Servicemembers Protection Act (ASPA). Tujuan ASPA adalah larangan kerjasama antara AS dengan ICC dan memberi wewenang kepada presiden untuk menggunakan semua instrumen untuk membebaskan personel AS yang ditahan ICC. Sementara ASPA versi DeLay menambahkan ketentuan yang melarang keikutsertaan AS dalam aktivitas penjaga perdamaian, kecuali diberikan jaminan kekebalan dari ICC.

 

ASPA pertama kali diterbitkan pada tahun 2000 dengan nama ASPA of 2000 bernomor H.R. 4654 atau S.2726. Duta Besar AS untuk Urusan Kejahatan Perang yang juga Kepala Delegasi AS untuk Komisi Persiapan PBB untuk Pembentukan ICC, David J. Scheffer,  menyatakan keberatannya atas isi ASPA of 2000 dalam acara dengar pendapat (hearing) di depan House International Relation Committee pada 26 Juli 2000.

 

Menurutnya, banyak isi dari ASPA of 2000 bertentangan dengan Konstitusi AS. Misalnya, dalam Section 8 dinyatakan, presiden dengan seluruh kewenangan yang dimilikinya menurut kepentingan dan kepatutan membebaskan personil AS yang ditahan atau dipenjara atas tuntutan ICC. Scheffer menyatakan, ICC berkedudukan di Den Haag, Belanda. Alangkah tidak mungkin melakukan penyerangan terhadap Belanda karena negara ini adalah sekutu AS dalam NATO.

 

Setelah peristiwa 911 tragedy, terjadi perubahan dari ASPA.  Pada ASPA of 2002  yang lengkapnya disebut sebagai ASPA for the Supplemented Appropriation Bill for the Fiscal Year Ending  September 30, 2002 (H.R. 4775). Perbedaan hanya terdapat terdapat penambahan yang terdapat dalam Section 2015 tentang Assistance to International Efforts yang menyatakan undang-undang ini tidak melarang AS untuk memberikan sumbangan kepada setiap upaya internasional untuk membawa Saddam Husein, Slobodan Milosevic, Osama bin Laden dan seluruh anggota Al Qaeda, pemimpin Jihad Islam dan para pelaku genosida (genocide), kejahatan perang (war crimes) atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Secara nyata, ASPA of 2002  bertujuan untuk turut memperkuat kampanye AS dalam "perang melawan terorisme", sehingga sangat diperlukan tambahan khusus di dalamnya.

 

Dalam Section 2007 (a) ASPA of 2002 ditegaskan larangan pemberian bantuan militer kepada negara-negara yang telah menjadi pihak dalam Statuta Roma ICC sejak berlakuk efektif 1 Juli 2002. Namun dalam Section 2007 ASPA of 2002 (b), presiden atas dasar kepentingan nasional (national interest) dapat menanggalkan (waiver) larangan tersebut tanpa harus menunggu persetujuan atau pertimbangan Congres terhadap negara-negara tertentu. Sedangkan Section 2007 ASPA of 2002 (c) menjelaskan kewenangan presiden untuk menanggalkan tanpa memperhatikan pertimabgan dan persetujuan Congres terhadap larangan pemberian bantuan militer bila negara pihak dalam ICC melakukan perjanjian bilateral dengan dasar Article 98 Rome Statute.

 

Pada Section 2007 (d) ASPA of 2002 ditegaskan tidak berlakunya ketentuan dalam section 2007 (a) ASPA of 2002 kepada negara-negara, yaitu:

 

Negara anggota NATO (a NATO member country);

Sekutu lain non-NATO (a major non-NATO) (termasuk didalamnya Australia, Mesir, Israel, Jepang, Jordan, Argentina, Republik Korea dan Selandia Baru); atau Taiwan.

 

Tetapi pada 24 Juni 2003,  Senat AS mengeluarkan Bill S. 1317 untuk mengamandemen Section  2007 (d)(1) dengan penambahan kalimat yaitu, "... atau suatu negara yang telah menandatangani suatu protokol dengan NATO sebagai aksesi negara tersebut kepada NATO (or country that has concluded a protocol for the accession of the country to NATO)".

 

The American Servicemember and Citizen Protection Act of 2002 (H.R. 4169) diperkenalkan pada 11 April 2002. Dalam peraturan ini dinyatakan setiap perjanjian internasional yang  telah ditandatangani oleh presiden tanpa diratifikasi dahulu oleh senat tidak akan mengikat AS, sehingga dengan demikian ICC tidak memiliki yurisdiksi di wilayah AS. 

 

Dalam Section 4-nya melarang pemberian dana untuk dipergunakan dalam rangka pembentukan atau operasional ICC dan bila melanggar diancam dengan hukuman denda 5 tahun penjara atau denda 50 ribu dolar AS. Sedangkan Section 5 lebih tegas menyatakan setiap perbuatan yang melawan tentara AS dinilai sebagai tindakan agresi (to be an act of aggression) dan perbuatan terhadap warga negara AS dianggap telah menyerang hukum bangsa-bangsa (to be offense against the law of nations).

 

Berikutnya adalah The American Citizen's Protection and War Criminal Prosecution Act of 2001 (S. 1296 dan H.R.2699). Section 4 dari peraturan ini memberikan Congress untuk menyatakan keharusan AS untuk menjaga serta memberikan sokongan terhadap hak-hak semua warga negara AS  yang sedang menjalani proses pengadilan di negara asing termasuk ICC. Sekaligus, merekomendasikan Pemerintah AS berpratisipasi sebagai pengamat dalam Majelis Negara-Negara Peserta (Assembly of State Parties) ICC dalam rangka melindungi kepentingan nasionalnya.

 

Ketiga macam peraturan ini berimplikasi kepada pada impunity yang dilakuakn olen AS baik sipil maupun militer. Selain itu, ketiga peraturan ini tidak menutup kemungkinan negara-negara lainnya untuk melakukan penuntutan serta ekstradisi terhadap pelaku yang termasuk dalam yurisdiksi ICC. Jauh-jauh hari, PBB telah pula mengatur sebuah konvensi yang bernama UN Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity pada 1968. Pasal 29 Statuta Roma juga telah mengatur hal yang sama, yaitu, genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang tidak dapat diberlakukan pembatasan oleh undang-undang nasional.

 

Peran AS pada DK PBB

 

AS yang juga anggota tetap DK PBB, mengancam untuk memutuskan keterlibatannya dalam pasukan penjaga perdamaian PBB di Bosnia yang memasuki masa akhir pada 3l Juli 2002. Tidak hanya di Bosnia, AS juga akan menghentikan keterlibatannya pada pasukan penjaga perdamaian di berbagai negara.  Sikap AS ini dipicu seiring dengan berlakunya ICC pada tanggal 1 Juli 2002. Pihak AS menuntut agar pasukan AS yang bertugas dalam operasi pasukan penjaga perdamaian di berikan kekebalan (immunity) dari yurisdiksi ICC

 

Duta Besar AS untuk PBB, John Negroponte, menyatakan alasan perlindungan dengan kekebalan tersebut disebabkan AS memiliki tanggungjawab global akan akan menjadi sasaran khusus dari musuh-musuh AS. Sikap AS menimbulkan berbagai reaksi khususnya menentang. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, menyatakan ketidakmengertian sikap AS yang mendukung pembentukan mahkamah kejahatan internasional ad hoc di Yugoslavia dan Rwanda dan kini menentang terbentuknya mahkamah kejahatan internasional permanen.

 

Namun, ada hal yang lebih penting sehubungan dengan peran DK PBB dengan mekanisme sharp sword-nya, yaitu peran DK PBB yang bertindak sesuai dengan Bab VII Piagam PBB. DK PBB dapat melakukan pelimpahan kepada ICC bila satu atau lebih kejahatan yang tercantum dalam statuta telah terjadi. Karena, pelimpahan itu merupakan wewenangnya berdasarkan Bab VII dan bersifat mengikat dan dapat dipaksakan atas seluruh negara dan pelaksaan yurisdiksi mahkamah menjadi bagian dari wewenang tersebut. Yurisdiksi akan mengikat meskipun negara tersebut bukan tempat di mana kejahatan itu terjadi atau negara di mana pelaku menjadi warga negaranya.

         

Posisi pasukan perdamaian PBB juga menjadi dilema tersendiri, terutama berkaitan dengan operasi mereka di daerah konflik yang memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM berat. AS sangat sensitif terhadap masalah ini, terutama dengan ketentuan kerjasama negara non-pihak dengan ICC berkaitan dengan ketentuan Pasal 12 Statuta ICC.

 

Menurut pakar hukum internasional dari Universitas Roma, Natallino Ronzitti, biasanya AS berusaha menghindari yurisdiksi negara tuan rumah dengan menyodorkan agreement yang disebut Status of Forces Agreement (SOFA) kepada negara yang menjadi tuan rumah atau negara di mana operasi perdamaian berlangsung. Melalui SOFA inilah yang memberikan kekebalan dari kejahatan-kejahatan tertentu yang juga menjadi yurisdiksi negara tuan rumah, tetapi masuk dalam yurisdiksi eksklusif AS. SOFA juga memberikan kekebalan kepada pasukan penjaga perdamaian AS dari yurisdiksi ICC.

 

Padahal, SOFA serta Status of Mission Agreements (SOMAS) hanya mengatur seseorang dalam tingkatan terbatas yang dengan sengaja dikirim oleh negaranya ke negara tertentu dan secara khusus dijelaskan bagaimana suatu kejahatan yang dilakukannya harus dipertanggungjawabkan. Atau dengan kata lain, dalam kedua perjanjian itu disebutkan cara penyelesaian serta yurisdiksi bila terjadi kejahatan yang dilakukan oleh anggota pasukan yang bertugas di negara itu. Sedang ICC dibentuk untuk mengadili pelaku secara invidu tanpa memandang pangkat, jabatan, dan warga negara.

         

AS akhirnya mengancam menggunakan hak vetonya di DK PBB untuk tidak memperpanjang masa dinas pasukan penjaga perdamaian asal AS di Bosnia tepat pada 3 Juli 2002, tengah malam. Reaksi keras berdatangan dari sekutu AS di Eropa. Jerman dan Belgia menentang sikap AS. Saat itu, Presiden Uni Eropa, Romano Prodi -- yang juga PM Italia didampingi koleganya dari Denmark-- menyesalkan tindakan AS.

 

Kanada menyatakan sikap AS sebagai langkah yang tidak perlu dan justru akan mengancam perdamaian dan stabilitas di Balkan. Bahkan, sekutu dekat AS -- Inggris, melalui Menlunya kala itu, Jack Straw-- menyatakan Inggris tidak terlibat dan menjauhkan diri dari veto tersebut dan langsung menyatakan tidak memiliki pandangan yang sama namun memaklumi langkah yang dilakukan AS.

         

Untuk menghadapi ancaman AS, DK PBB berusaha mengajukan kompromi. Proposal AS adalah agar pasukan penjaga perdaimaian mendapatkan kekebalan serta DK PBB menunda proses penyelidikan dan penuntutan selama 12 tahun dan ketentuan tersebut dapat diperbaharui berdasarkan Pasal 16 Statuta ICC. Ke-15 anggota DK PBB langsung mengadakan pertemuan informal dan tidak langsung disikapi, dipimpin oleh Duta Besar Inggris untuk PBB, Jeremy Greenstock.

         

Setelah melalui perundingan yang panjang, akhirnya pada 12 Juli 2002 DK PBB mengabulkan permintaan AS tersebut. Dengan Resolusi DK PBB nomor 1422 (2002), AS berhasil mendapatkan penangguhan penyelidikan atau penuntutan dari ICC selama 12 bulan ke depan.

         

Reaksi keras kembali bermunculan dari penjuru dunia. Negara-negara sekutu AS di Eropa sekali lagi mencemooh usaha AS tersebut. Menlu Jerman, Joshka Fischer menyatakan tindakan DK PBB mengeluarkan resolusi tersebut tidak berdampak pada perubahan fundamental dari statuta khususnya mengenai reservasi. Reaksi sangat keras datang dari Belgia dengan menyatakan resolusi DK PBB telah menghilangkan kredibilitas ICC,  hal sama juga dilakukan oleh Kanada yang menyatakan bahwa DK PBB tidak memiliki hak untuk melakukan interpretasi terhadap isi statuta. Hal ini terkait dengan belum adanya perjanjiaan kerjasama antara ICC dengan PBB yang disahkan dalam sebuah perjanjian. Uni Eropa kali ini bersikap berbeda dengan menyambut resolusi kompromi tersebut tetapi tetap menyatakan resolusi tersebut tidak mengubah secara fundamental ketentuan statuta.

         

Resolusi DK PBB tidak memberikan kekebalan penuh (blanket immunity) kepada AS. Menurut Duta Besar Perancis untuk PBB, Jean-David Levitte, tidak ada pemberian kekebalan penuh kepada para pasukan penjaga perdamaian, tidak ada pencegahan atau kekebalan secara umum maupun permanen.

         

Sekalipun demikian, para aktivis HAM internasional dan LSM HAM internasional menyayangkan langkah kompromi tersebut. Tergambar dari pernyataan pengacara Human Rights Watch, Richard Dicker yang mengatakan hal itu sebagai bentuk rongrongan ketidakberpihakan dan independensi mahkamah.

 

Perkembangan terakhir, pada 12 Juni 2003 DK PBB kembali mengeluarkan sebuah resolusi nomor 1487 (2003) yang sekaligus kembali memperpanjang penangguhan penyelidikan atau penuntutan dari ICC hingga 12 Juni 2004.

 

Perjanjian bilateral AS dengan negara-negara di dunia

 

Pemerintahan Bush juga mencoba membuat perjanjian bilateral (bilateral agreement) dengan negara-negara di dunia, terutama sekali negara-negara yang telah menjadi pihak dalam ICC. Hal ini dilakukan oleh AS yang mengintrepretasikan pasal 98 (Article 98) Statuta Roma yang terdiri dari dua ayat. Pasal 98 (1) :

 

The Court may not proceed with a request for surrender or assistance which would require the requested State to act inconsistently with its obligations under international law with respect to the State or diplomatic immunity of a person or property of a third State, unless the Court can first obtain the cooperation of that third State for the waiver of the immunity

 

Sedangkan pasal 98 (2) menyatakan:

 

The Court may not proceed with a request for surrender which would require the requested State to act inconsistently with its obligations under international agreements pursuant to which the consent of a sending State is required to surrender a person of that State to the Court, unless the Court can first obtain the cooperation of the sending State for the giving of consent for the surrender.

 

Pasal ini kemudian diinterpretasikan oleh AS  untuk memperbolehkan suatu negara melakukan pengecualian terhadap yurisdiksi ICC. Untuk itu, AS merancang perjanjian bilateral dengan negara-negara di dunia baik yang telah meratifikasi (state partiei), negara yang menandatangani Statuta Roma (signatories states), dan negara yang belum menjadi pihak (non-state parties). AS menghormati negara-negara yang telah menjadi pihak dalam ICC karenanya perjanjian bilateral ini merupakan bentuk penghormatan dari negara-negara tersebut atas keberatan AS sebagai negara non-pihak.

 

Tugas ini dilaksanakan oleh Under Secretary of for Arms Control and International Security yang merupakan bagian dari Departemen Luar Negeri AS (Secretary of State). Negara pertama yang menadatangani perjanjian bilateral dengan AS adalah Rumania yang telah menjadi pihak dalam ICC pada 1 Agustus 2002. Perjanjian itu bersifat non-reciprocical, sehingga tidak berlaku pada personil pasukan Rumania. Kini, Rumania mencoba untuk menegosiasikan kembali perjanjian tersebut dengan AS setelah mendengar pertimbangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa. Tercatat, 49 negara yang kini  memiliki perjanjian bilateral kepada AS baik itu berlaku secara non-reciprocical maupun reciprocical.

 

AS mendapatkan perlawanan yang keras dari negara-negara Uni Eropa yang menolak untuk melakukan perjanjian tersebut. Council of the European Union telah mengeluarkan petunjuk berkaitan dengan perjanjian yang ditawarkan AS kepada negara-negara Uni Eropa yang telah menjadi pihak dalam ICC. Salah satu petunjuk yang dikeluarkan adalah perjanjian yang telah ditandatangani oleh AS dengan negara pihak ICC yang juga sebagai pihak dalam ICC dianggap sebagai sekadar SOFA dan perjanjian menyangkut kerjasama hukum dalam permasalahan-permasalahan kejahatan termasuk esktradisi.

 

Menurut Uni Eropa, perjanjian yang diajukan oleh AS bertentangan dengan kebijakan no impunity.  Selain itu, perjanjian tersebut  tidak konsisten dengan tanggungjawab negara pihak dalam menghormati Statuta Roma serta perjanjian-perjanjian internasional lainnya di mana negara tersebut menjadi pihak.

 

Tanggapan lebih keras dilakukan oleh Parliamentary Assembly Council of Europe dalam Resolusi 1336 (2003)  mengutuk tindakan-tindakan yang menekan beberapa negara anggota Dewan Eropa berkaitan dengan perjanjian yang diajukan oleh AS. Negara-negara di Karibia yang tergabung dalam  Carribean Community (CARICOM) dipimpin oleh Trinidad and Tobago secara tegas menyatakan mendukung prinsip-prinsip yang terdapat dalam Statuta Roma serta menolak perjanjian bilateral yang diajukan oleh AS.   

Kembali Human Rights Watch  dalam analisisnya menyebut perjanjian itu sebagai Bilateral Impunity Agreement (BIA). Mereka berpendapat setiap negara yang telah menjadi pihak dalam ICC tidak diperkenankan secara hukum (may not lawfully) mengadakan perjanjian  mengenai pemberian kekebalan terhadap yuridiksi ICC  kepada negara yang tidak menjadi pihak dalam ICC.

Pasal 98 (2) tidak dapat dipandang sebagai pembenaran dari negara pihak untuk mengambil keuntungan dengan melindungi warga negarnya dari yurisdiksi ICC. Pasal 98 justru dimasukan dalam Satuta Roma untuk memberikan proses yang benar dan rasional dalam menangani tersangka untuk bekerjasama dengan ICC. Pasal ini tidak dapat memperkenankan suatu negara yang telah menolak bekerjasama dengan ICC membuat perjanjian yang memberikan perlindungan kepada warga negaranya yang justeru mengurangi (undermine) fungsi ICC.

 

Dalam kaitannya dengan ASPA, khususnya mengatur tentang larangan pemberian bantuan militer kepada negara-negara yang telah menjadi pihak dalam ICC, telah jelas diatur di sana bahwa presiden dengan mandatnya dapat melakukan penanggalan bantuan militer terhadap negara-negara tertentu dengan dalih kepentingan nasional. Dengan demikian, tanpa harus menandatangani perjanjian apapun  termasuk perjanjian mengenai kekebalan terhadap ICC.

 

AS bukan contoh baik

 

Apa yang dilakukan AS dengan seluruh upayanya itu merupakan tindakan yang tidak menghormati ICC, negara yang telah menjadi pihak yang memiliki tanggungjawab untuk menghormati ICC serta negara yang telah menandatangani Statuta Roma. AS bukanlah contoh yang baik dalam penghormatan HAM khususnya dalam penegakan international justice and accountability.

 

Yang terjadi immunity yang diperjuangkannya adalah sebuah kampanye impunity di tingkat internasional. Tujuan pembentukan ICC adalah menghentikan praktek impunity dan pelaku (perpetrator) tidak dapat berlindung dibalik ketentuan nasional karena pelaku pelanggaran HAM berat menyandang status pariah yaitu musuh umat manusia (hostis humanis generis).

 

Karenanya, adalah kewajiban dari masyarakat internasional untuk melakukan penangkapan, penahanan, ekstradisi dan peradilan terhadap para pelakunya tanpa memandang kewarganegaraannya.  Ini diatur di dalam Principles of international co-operation in the detection, arrest, extradition and punishment of persons guilty of war crimes and crimes agains humanity yang diadopsi oleh melalui Resolusi Majelis Umum PBB (XXVIII) tanggal 3 Desember 1973.

 

Pada 17 Juli 2003, ICC memasuki tahun ke-5 dan sekaligus dicanangkan sebagai hari keadilan internasional dunia (World Day for International Justice) yang mengingatkan kewajiban masyarakat internasional untuk memutus rantai impunity (cyle of impunity).  Kemudian, apa yang harus dilakukan kita lakukan?

 

Yang kita lakukan adalah mendorong dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara aktif menempatkan diri sebagai bagian dari negara-negara beradab yang mendukung diselenggarakannya ICC melalui ratifikasi/aksesi terhadap Rome Statute of International Criminal Court.  Sekaligus, mengambil langkah-langkah aktif menolak setiap upaya pendekatan yang dilakukan Pemerintah AS untuk meminta immunity terhadap warga negaranya yang berujung pada impunity.

 

 

Bhatara Ibnu Reza adalah peneliti IMPARSIAL The Indonesian Human Rights Monitor

Kedua, ketidakpercayaan AS terhadap peran jaksa (prosecutor) yang dapat menggunakan haknya untuk memulai penyelidikan (proprio motu) berdasarkan informasi yang diberikan kepadanya tentang kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi ICC.

 

Ketiga, ICC menuntut pertanggungjawaban individu tanpa memandang kewarganegaraan sekalipun ia seorang yang memiliki jabatan yang simbol atau representasi negara. Menurut AS, ketentuan ini mengancam warga negaranya, terutama pasukan AS yang bertugas diberbagai belahan dunia baik dalam rangka peace keeping operation ataupun kerjasama militer dengan sekutu-sekutunya.

 

Keempat, AS meyakini ICC lahir dari dasar yang cacat (flawed foundation) yang kemudian membuka kemungkinan terjadinya penuntutan (prosecution) dengan motivasi politik oleh pihak-pihak tertentu.    

 

Pada 6 Mei 2002, Marc Grossman dari U.S. Under Secretary of State for Political Affairs menyatakan secara sikap resmi Pemerintahan Bush terhadap ICC dengan meniadakan (nullified) persetujuan AS terhadap isi Statuta Roma yang ditandatangani semasa Pemerintahan Presiden Clinton pada 31 Desember 2000 serta berniat untuk meratifikasinya. Hal ini juga mengakhiri bulan madu antara AS yang sejak tahun 1995 hingga 2000 mendukung pembentukan ICC dengan para aktivis dan LSM HAM internasional dalam rangka kampanye international justice.

 

AS kemudian menggunakan berbagai macam upaya untuk menghambat ICC melaksanakan yurisdiksinya. Tiga hal yang telah dilakukan oleh AS dalam melawan ICC yaitu, pertama, melalui produk legislasi, baik oleh Senate dan House of Representatives dalam U.S Congress. Kedua, dengan menggunakan perannya sebagai anggota tetap (permanent members) dari Dewan Keamanan (DK) PBB. Ketiga, dengan membuat perjanjian bilateral dengan negara-negara di dunia, terutama yang telah menjadi pihak dari Rome Statute of International Criminal Court.

Tags: