Berbisnis Nada, Jangan Sampai Dipenjara
Fokus

Berbisnis Nada, Jangan Sampai Dipenjara

Penyedia jasa ringtone menjaring keuntungan yang berlimpah dari konsumen-nya. Namun, Undang-Undang Hak Cipta mengintai dengan ancaman penjara dan denda ratusan juta rupiah menanti bagi penyedia jasa yang tidak membayar royalti.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Berbisnis Nada, Jangan Sampai Dipenjara
Hukumonline

Apakah Elvis Presley-nya Indonesia itu banting setir ngamen di bus kota, atau itu lantunan pengamen biasa? Belum lagi pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab, tiba-tiba lagu terputus dan berganti suara, "Hallo…!!"

Rupanya, untaian nada-nada manis yang kini populer lagi itu keluar dari telepon genggam (handphone) milik penumpang yang duduk persis di belakang pak sopir. Nada-nada manis itu dikenal dengan sebutan nada dering (ringtone). Setelah beberapa menit berbicara cukup keras karena melawan suara mesin, pemuda itu memasukkan kembali handphone itu ke saku bajunya.

Bukan nada-nada indah itu saja yang membuat kagum, melainkan juga bagaimana lagu dangdut itu bisa diperdengarkan kembali melalui perangkat komunikasi yang sedang menjadi tren sekarang ini. Belum lagi kecepatan menggubah lagu tersebut ke dalam potongan nada manis berdurasi pendek. Apalagi, mengingat belum sebulan rasanya lagu tersebut dipopulerkan kembali oleh penyanyi pelantun Badai Pasti Berlalu, Chrisye.

Jika dipandang dari kesenangan semata, sepertinya mendengarkan atau menggunakan potongan lagu A. Rafiq dan lagu-lagu ciptaan pencipta lainnya sebagai ringtone memang bukan masalah. Namun, kemungkinan besar bisa menjadi masalah --bahkan sangat serius-- jika dipandang dari sudut hak cipta. Apalagi, jika kemudian ringtone dijadikan sebagai salah satu ladang bisnis yang menghasilkan kuntungan hingga puluhan juta rupiah.

 Beberapa pertanyaan kemudian muncul berkaitan dengan hak cipta ini. Apakah ringtone termasuk dalam karya cipta yang dilindungi hak cipta? Apakah membuat dan menjual ringtone perlu ijin dari si pencipta? Dan, segudang pertanyaan lainnya.

Ringtone dan hak cipta

Berdasarkan ensiklopedia techweb.com, ringtone didefinisikan sebagai suara atau musik digital berdurasi sekitar 30 detik yang keluar atau diproduksi oleh handphone sebagai penanda adanya panggilan masuk. Perkembangan ringtone seiring dengan perkembangan handphone. Di awal-awal terciptanya handphone, suara ringtone tak ubahnya suara telepon biasa atau hanya berupa sebuah deringan datar. Kemudian, suara ringtone berkembang menjadi untaian nada manis dalam cakupan frekuensi antara 440-480 Hz.

Dari tahap ini, mulai tampak fungsi tambahan dari ringtone. Karena bisa diubah dan dipersonalisasi, ringtone tidak hanya sebagai penanda adanya panggilan masuk. Namun, juga sebagai pembeda antara satu handphone dengan handphone lainnya.

Perkembangan selanjutnya, ringtone dibuat dalam bentuk polyphonic, terdengar ramai bak sebuah orkestra lengkap yang dimainkan dalam sebuah handphone. Dengan cepatnya perkembangan teknologi handphone, dalam waktu dekat bukan tidak mungkin akan berkembang lagi bentuk-bentuk baru dari ringtone.

Karena beberapa sifat-sifat istimewa -- seperti enak didengar, bisa dibuat sesuai keinginan, dan mudah membuatnya -- membuat ringtone menjadi salah satu favorit dari pengguna handphone. Juga dengan bentuknya yang digital serta bisa ditransfer kepada handphone lain, jadilah ringtone sebagai komoditas bisnis yang menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda. Karena itu, sejak awal tumbuhnya bisnis handphone, tumbuh juga dengan subur bisnis ringtone di seluruh dunia.

Lalu apa kaitan ringtone dengan hak cipta? "Ringtone termasuk jenis karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta," tegas Menejer Lisensi Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) Windiaprana Ramelan. Menurut Windiaprana, pada dasarnya ringtone itu adalah jenis musik yang dilindungi oleh hak cipta. Jadi menurutnya, baik dalam bentuk ringtone, dalam bentuk siulan, atau dalam bentuk apapun -- selama itu alih wujud dari musik -- maka dilindungi oleh hak cipta.

Menurut UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC), yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta maupun penerima hak cipta. Yaitu, untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu. Hak cipta dipegang oleh pemegang hak cipta, yakni pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut  hak dari pihak yang menerima hak tersebut.

Dengan kata lain, pemegang hak cipta lah yang berhak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu terhadap suatu ciptaan atau karya cipta. Sementara yang dimaksud dengan ciptaan atau karya cipta adalah adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

UUHC juga merinci jenis ciptaan apa saja yang dilindungi oleh hak cipta. Dalam Pasal 12 ayat (1), setidaknya ada 12 jenis karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta. Termasuk di dalamnya, ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan dan rekaman suara. Menariknya, yang termasuk dilindungi oleh hak cipta adalah karya cipta dari hasil pengalihwujudan suatu karya cipta.

Fokuskan pada kata-kata 'hasil dari pengalihwujudan'. Ringtone adalah salah satu jenis musik, atau setidaknya pengalihwujudan dari suatu bentuk musik atau lagu yang tentu saja ada penciptanya. Karena itu, bisa disimpulkan, ringtone juga termasuk karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta. Alasan ini juga yang mendasari Windiaprana saat menyampaikan pendapatnya soal ringtone dalam kaitannya dengan hak cipta.

Berbisnis ringtone

Saat ini, ringtone menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Di Indonesia, sekarang terdapat puluhan penyedia layanan ringtone yang menjajakan ringtone kepada pelanggannya. Beberapa penyedia jasa yang kerap mengiklankan produknya di sejumlah media massa, antara lain planet mobile, club mobile, dan dunia mobile. Masing-masing pemain menjual ratusan bahkan ribuan ringtone yang selalu ter-up date setiap waktu.

Para penyedia jasa ini  menggunakan berbagai metode penjualan ringtone. Antara lain, melalui iklan-iklan yang dimuat di berbagai bentuk media masa, mulai dari surat kabar, tabloid, majalah, dan lain-lain. Cara lainnya adalah dengan menggunakan sarana internet, seperti yang digunakan oleh klubmobile.com.

Umumnya, para penyedia jasa tersebut menggunakan sarana telepon bertarif premium sebagai alat bagi konsumen untuk memilih ringtone yang dikehendaki. Setelah ringtone favorit dipilih, selanjutnya ringtone ditransfer dari server penyedia jasa kepada handphone konsumen.

Hitung punya hitung, ternyata biaya yang harus dikeluarkan konsumen untuk membeli ringtone ini relatif lebih mahal dibanding biaya konsumen untuk membeli produk lagu utuh, baik dalam bentuk kaset atau cakram padat (CD).

Misalnya untuk membeli satu buah ringtone, konsumen harus menghubungi nomor telepon khusus yang biayanya sekitar Rp3.420 per menit. Dengan rata-rata waktu telepon 3 menit, konsumen harus membayar sekitar Rp11.000 untuk satu ringtone.

Bandingkan dengan biaya untuk membeli 12 lagu -- isi rata-rata dalam satu CD -- utuh dalam bentuk CD. Dengan harga CD lagu Indonesia di pasaran sekiar Rp35.000 per keping, rata-rata harga satu lagu utuh dalam CD adalah kurang dari Rp3.000. 

Jika dikurangi biaya produksi CD yang jauh lebih tinggi dari biaya produksi ringtone, tentu selisih harga ringtone dan lagu dalam CD juga akan terpaut jauh. Namun karena sifat-sifat istimewa ringtone, peminat produk ini tak menyurut. Bahkan, cenderung bertambah. 

Sejauh ini, belum ada angka yang pasti jumlah uang beredar dari bisnis ini. Yang jelas, tidak mungkin sebuah penyedia jasa ringtone berani beriklan -- setidaknya Rp24 juta per minggu -- untuk satu halaman penuh pada sebuah tabloid, jika keuntungannya tidak lebih dari jumlah tersebut.

Jangan sampai dipenjara

Di balik keuntungan yang berlimpah tersebut, sebenarnya ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh para penyedia jasa tersebut. Jika lalai untuk memenuhinya, acamannya adalah penjara dan atau denda yang jumlahnya ratusan juta rupiah. Kewajiban yang dimaksud adalah membayar royalti terhadap produk utama mereka, ringtone. Tidak membayar royalti, berarti para penyedia jasa ringtone tersebut bisa dituduh telah menggunakan ciptaan orang lain tanpa ijin atau telah melanggar hak cipta.

Ancaman pidana dalam UUHC untuk pelanggar hak cipta cukup berat. Pasal 72 ayat (1) undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa siapapun yang dengan sengaja melanggar hak cipta, dipidana penjara paling lama 7 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp5 miliar.

Yang menjadi pertanyaan, ke mana para pebisnis ini harus membayar royalti atas ratusan ringtone yang dijualnya? Windiaprana menerangkan bahwa dalam berbisnis ringtone, setidaknya ada dua hak yang harus diperoleh ijin penggunaannya.

Pertama, hak untuk mereproduksi atau memperbanyak hasil ciptaan dengan ijin atau lisensi yang berbentuk reproduction right lisence. Kedua, hak untuk mengumumkan dan menjual hasil perbanyakan itu dengan ijin atai lisensi dalam bentuk communication right lisence.

Sebagian besar (95 persen) hak untuk mereproduksi dipegang oleh pihak penerbit karya cipta dan hanya 5 persennya saja dipegang YKCI. Sementara sebagian besar (95 persen) hak untuk mengumumkan dipegang oleh YKCI, dan hanya 5 persennya saja dipegang oleh pihak lain.

Kewenangan besar YKCI itu terkait dengan fungsinya sebagai lembaga nirlaba pengelola hak cipta musik secara kolektif, yang mendapat kuasa dari pencipta musik Indonesia maupun asing untuk meberi lisensi penggunaan musik di wilayah Indonsia. "Sederhananya, kami (YKCI) adalah menejernya pencipta," jelas Windiaprama.

Bagi para pebisnis ringtone, ada dua tempat yang harus didatanginya untuk mengurus kedua jenis lisensi tersebut. Untuk reproduction right lisence, pebisnis harus datang langsung kepada tiap-tiap penerbit dari lagu yang dijadikan ringtone. Sedangkan untuk communication right lisence, pebisnis harus datang kepada YKCI.

Kondisi ini tentu mempersulit pebisnis. Apalagi, belum tentu hak mereproduksi ratusan lagu yang akan didaftarkannya itu ada di satu penerbit. Karena itu, dirumuskan perjanjian antara para penerbit dengan YKCI, sehingga para pebisnis itu bisa mengurus lewat satu pintu saja (one stop licence). Yaitu, lewat YKCI saja atau lewat penerbit saja.

Tarif lisensi

Tarif lisensi untuk hak yang dipegang oleh YKCI ditentukan sepihak oleh YKCI. Tidak ada yang melarang hal ini, karena hak cipta memang hak eksklusif bagi pemegang hak cipta. Paling tidak, batasannya adalah kepatutan. Untuk reproduction right lisence, YKCI memberikan formula.

Untuk mengalihwujudkan (reproduksi) setiap 10 lagu menjadi 10 ringtone, dikenakan biaya sebesar Rp100.000. YKCI juga mengutip 10 persen royalti dari biaya jual satu ringtone dengan minimal royalti Rp500 per ringtone. YKCI juga menetapkan asumsi 300 kali jual untuk setiap 10 ringtone tersebut.

Dari rincian biaya tersebut, YKCI menetapkan biaya minimum di muka sebesar Rp1.600.000. Perhitungannya, Rp100.000 + (10 ringtone x Rp500,- x 300 jual). Biaya sebesar itu untuk satu kali bayar.

Sedangkan untuk communication right lisence, YKCI menetapkan biaya sebesar 6,25 persen dari harga jual satu ringtone dengan minimum royalti sebesar Rp300. Walaupun, dalam prakteknya communication right lisence dibayar tahunan dengan jumlah sekitar Rp50 juta.

Nilai sebesar itu tidak ditentukan secara sembarangan. Menurut Windiaprana, jumlah tersebut adalah hasil kesepakatan dari lembaga-lembaga sejenis YKCI di Asia pasifik untuk mengantisipasi adanya pebisnis ringtone yang menaruh server-nya di negara yang paling murah. Harga lisensi jenis ini di Asia Pasifik sama, atau setara dengan Rp50 juta tadi.

Setidaknya, harus tersedia dana sejumlah Rp51.600.000 untuk memulai bisnis ringtone ini secara legal. Biaya tersebut belum termasuk infrastruktur yang harus disiapkan. Windiaprana sendiri mengakui bahwa dengan biaya tersebut, beberapa pebisnis ringtone bisa jadi merugi dan enggan mendaftar.

Walau demikian, setidaknya enam perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya membayar biaya lisensi tersebut sebagai bukti bahwa bisnis ringtone ini menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda. Mereka adalah M-Web, Boleh net, Nokia, club mobile, Dunia Mobile, dan In touch.

Dengan enam perusahaan yang telah membayar itu, YKCI tidak cepat berpuas diri. Windiaprana mengemukakan, pihaknya untuk saat ini memang tengah menggenjot pemain besar untuk membayar terlebih dahulu. Selanjutnya, pemain kelas bawah juga dituntut untuk membayar.

Para penyedia jasa layanan ringtone tentu harus membayar royalti untuk menghargai hak cipta para pencipta lagu. Konsumen juga lebih tenang, karena mereka yang sudah membayar mahal itu tidak lagi menikmati ringtone bajakan. Enaknya mendengar nada ringtone, sambil membayangkan penyanyi idolanya. Seperti, pemuda di atas bis yang memilih ringtone lagu A Rafiq.  Biar ku cari nanti caranya ….(Zae)

Lirikan matamu, menarik hati

Oh senyumanmu, manis sekali

Sehingga membuat, aku tergoda

 Sebenarnya aku, ingin sekali

mendekatimu, memadu kasih

namun sayang-sayang malu rasanya

biar ku cari nanti caranya …. (A. Rafiq)

Potongan lagu dangdut yang dipopulerkan oleh A Rafiq pada era 1970-an itu tiba-tiba terdengar di kepadatan penumpang bus kota jurusan Blok M - Kampung Melayu. Udara panas siang bolong pun tak mampu membendung gerakan reflek beberapa penumpang untuk sekadar bergoyang kepala mengikuti lagu itu.

Tags: