Catatan ST MPR 2003: 'Untung Ada Komisi Konstitusi'
ST MPR 2003

Catatan ST MPR 2003: 'Untung Ada Komisi Konstitusi'

Perhelatan akbar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada pertengahan 2003 usai sudah. Sayangnya, acara tahunan yang memakan dana miliaran ini hanya menghasilkan ketetapan dan keputusan yang kurang berbobot. Untung saja ada Komisi Konstitusi.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Catatan ST MPR 2003: 'Untung Ada Komisi Konstitusi'
Hukumonline

 

"Setelah melalui serangkaian pembahasan, baik dalam rapat-rapat paripurna maupun rapat-rapat komisi, yang dilengkapi dengan berbagai forum permusyawaratan lebih kecil, para anggota majelsi yang terhormat pada Sidang Tahunan MPR 2003 telah berhasil mengambil putusan terhadap berbagai rancangan keputusan MPR," ujar Amien pada bagian awal pidato penutupannya.

 

Selengkapnya hasil dari ST 2003 adalah sebagai berikut :

 

No

Jenis

Nomor

Tentang

1.

Ketetapan

I/MPR/2003

Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002

2.

Ketetapan

II/MPR/2003

Perubahan kelima atas Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata-Tertib MPR.

3.

Keputusan

4/MPR/2003

Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Komisi Konstitusi

4.

Keputusan

5/MPR/2003

Penugasan kepada Pimpinan MPR untuk Menyampaikan Saran atas Laporan Putusan MPR oleh Presiden, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2003.

 

Kurang berbobot?

 

Selesainya ST kali ini memang wajib disyukuri. Namun demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketetapan dan keputusan ST kali ini sudah sesuai dengan harapan masyarakat? Apakah ST kali ini hanya kegiatan mubazir yang menghambur-hamburkan uang rakyat?

 

Sebelum ST dimulai, memang terdengar berbagai komentar miring. Umumnya  menyatakan bahwa pelaksanaan ST kali ini kurang berbobot, tidak bermanfaat langsung terhadap masyarakat. Bahkan sebagian masyarakat lagi dengan lantang mengatakan bahwa perhelatan kali ini tidak lebih dari kegiatan mubazir yang dibiayai negara sebesar Rp20 miliar lebih.

 

Dibanding pelaksanaan ST 1999 sampai ST 2002, minat masyarakat pada ST 2003 ini memang jauh berkurang. Hal ini bisa diduga, karena sebagian kalangan percaya bahwa agenda ST kali ini memang kurang atau bahkan tidak berhubungan langsung dengan masyarakat.

 

Misalnya, agenda MPR untuk meninjau materi dan status hukum TAP MPRS dan MPR sejak 1960 sampai dengan 2002. Sebenarnya perubahan status hukum itu bisa berakibat mengubah tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun, tetap saja di mata sebagian masyarakat kegiatan itu hanya untuk memuaskan Fraksi PDI-Perjuangan membersihkan nama Soekarno.

 

Apa lagi ternyata ST MPR kali ini minus Komisi Rekomendasi. Semula, Komisi inilah yang diharapkan bisa memberikan penilaian terhadap kinerja lembaga-lembaga tinggi negara yang pertanggungjawabannya dilaporkan di hadapan sidang paripurna. Akibatnya, tidak ada rekomendasi yang ditujukan kepada lembaga-lembaga tinggi negara tersebut.

 

Padahal,  ada kemungkinan banyak masukan yang hendak diungkapkan anggota MPR, terutama kepada Presiden Megawati. Presiden bisa menjadi 'sasaran empuk' kritikan negatif anggota MPR karena dinilai gagal dalam melaksanakan tugas. Posisi RI-1 malah bisa makin terpojok dengan skandal pembelian Sukhoi yang dinilai bernuansa KKN.

 

Secarik harapan sempat muncul saat sebagian besar anggota MPR 'ngotot' untuk membentuk komisi sejenis sebagai pengganti Komisi Rekomendasi. Alasannya sederhana, bagaimanapun harus ada catatan terhadap laporan pertanggungjawaban yang disampaikan oleh lembaga-lembaga tinggi negara.

 

Fraksi Reformasi dan beberapa fraksi yang mendukung dibentuknya komisi sejenis itu memang boleh tersenyum dengan disetujui pembentukan Komisi Saran yang bertugas memberikan saran terhadap laporan lembaga tinngi negara.

 

Komisi Saran, yang sebagian besar berasal dari Subkomisi C menampung sejumlah saran. Akhirnya, sesuai kesepakatan, Wakil Ketua Komisi C dari Fraksi Utusan Golongan, Bambang Sudibyo, diangkat untuk memimpin Komisi Saran.

 

Kehawatiran dan keberatan atas Komisi Saran justeru datang Fraksi PDIP. Sebab, porsi terbesar saran para anggota Komisi itu terfokus pada kinerja presiden. Sebagian anggota Sub Komisi C2 dengan tegas mengusulkan dibuatnya saran kepada Presiden dengan dugaan terjadinya praktek KKN pada kasus pembelian pesawat tempur Shukoi. Beberapa anggota lain menindaklanjuti pandangan umum Fraksi Reformasi yang mencium aroma KKN pada bisnis keluarga dan kerabat Megawati.

 

Namun harapan tinggal harapan. Semangat untuk menilai dan memberi saran kongret kepada lembaga tinggi negara, khususnya presiden, akhirnya harus kandas juga. Suara terbanyak juga lah yang akhirnya memutuskan bahwa saran-saran yang akan disampaikan kepada lembaga tinggi negara hanya dalam bentuk umum, tidak konkrit kasus per kasus.

 

Wajar jika keputusan tersebut membuat geram beberapa anggota MPR, seperti Fuad Bawazier. Menurut Fuad, fraksinya ingin saran-saran Komisi C lebih bersifat kasuistis. Sebab, saran-saran dalam bentuk kasus per kasus itu jelas dan lebih mempunyai makna.

 

"Saya malah nyindir, kalau mau yang umum saja semua perundangan yang berlaku bikin saja satu saran. Yaitu agar presiden melakukan tugasnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Begitu saja titik," cetus Fuad. Sayangnya menurut Fuad mayoritas fraksi hanya ingin saran yang umum. "Justru kita kan mempunyai banyak masalah yang konkrit. Tapi itulah kompromi politik. Bagi saya itu aneh dan tidak masuk akal. Ketakutan pada yang spesifik," tambah Fuad.

 

Kalau pun ada yang bisa disebut prestasi pada ST kali ini adalah bahwa MPR berhasil memutuskan untuk mempersingkat masa persidangan dari sepuluh hari menjadi hanya tujuh hari. Sebagian anggota MPR tampaknya menyadari bahwa agenda pada ST 2003 tidak terlalu signifikan sehingga tidak perlu waktu yang terlalu lama untuk membahasnya.

 

Dengan demikian dari total biaya Rp20 miliar lebih dan asumsi biaya perhari sekitar Rp2 miliar, pemangkasan tiga hari itu bisa menghemat uang negara hingga sebesar Rp6 miliar.

 

'Untung ada Komisi Konstitusi'

 

Mungkin kalimat itulah yang tepat untuk menggambarkan hasil dari ST MPR 2003 ini. Komisi Konstitusi memang merupakan salah satu aspirasi masyarakat yang berhasil diajukan dan akhirnya diakomodasi oleh MPR. Usulan membentuk Komisi ini muncul seiring dengan keputusan MPR untuk mengamandemen UUD 1945. Sempat melalui perdebatan sengit dan ditolak oleh sebagian anggota MPR, akhirnya di saat-saat terakhir Komisi Konstitusi muncul sebagai agenda ST 2003.

 

Soal hasil ST kali ini, penasehat senior pada National Democratic Institute (NDI) --Andrew Ellis-- mengatakan bahwa ST kali ini sangat penting mengingat Indonesia akan menghadapi sistem pemilu yang baru pada 2004. "Walaupun ST ini membosankan, tapi ini sanagat penting dan bisa menjadi legitimasi untuk mengisi masa transisi guna menghadapi konstitusi baru dan untuk menghadapi isu-isu politik," ujarnya.

 

Namun, pakar hukum tata negara Prof Jimly Asshidiqqie mengatakan bahwa harapan masyarakat tentu tidak bisa disamakan dengan ST sebelumnya. "Karena MPR berada dalam proses transisi, sehingga apa yang bisa dilakukan MPR pada 2003 ini adalah dalam rangka masa transisi," ujarnya.

 

Maksudnya, apabila telah dibentuk MPR 2004 maka kedudukan MPR telah berubah bukan lagi menjadi Lembaga tertinggi negara. Kemudian, pada masa transisi ini MPR mengambil keputusan hanya sebagai langkah penyempurnaan yang bersifat transisional, yaitu menyelesaikan dan menyempurnakan produk-produk hukum sebelumnya.

 

Guru besar Fakultas Hukum UI itu melihat bahwa hal terpenting dari ST kali ini adalah pembentukan Komisi Konstitusi (KK). Menurut Jimly, Komisi ini akan melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap perubahan UUD 1945 yang sudah dikerjakan.

 

Dari pendapat Jimly tersebut timbul pertanyaan, seperti yang pernah dikhawatirkan beberapa pihak. Apakah nanti KK ini hanya sebagai komisi tambal sulam UUD saja? Bukankah lebih baik kalau KK ini diberikan kewenangan untuk membentuk UUD yang sama sekali baru?

 

"Walaupun misalnya hanya mengubah titik menjadi koma, serta mengubah kata 'dan' menjadi 'atau', itu bukan tambal sulam," tegas Jimly. Kalau mengerti hukum dasar, menurutnya, perubahan titik dan koma itu merupakan perubahan besar dalam hukum tata negara.

 

Jika memandang dari segi politik, menurut Jimly, hal itu memang tidak besar. Namun memandang dari segi hukum, itu sangat besar. "Kalau dibaca dengan ukuran uang, bisa triliunan rupiah perubahan koma jadi titik itu," cetus Jimly. Apalagi menurutnya UUD hasil perubahan yang sekarang di dalamnya terdapat banyak sekali masalah formulasi.

 

Walau demikian Jimly mengakui bahwa, komisi ini memang kurang sesuai dengan harapan masyarakat. Pasalnya masyarakat berharap kedudukan Komisi Konstitusi jauh lebih kuat dibandingkan Komisi Konstitusi yang diputuskan MPR. "Tetapi itulah hasil kesepakatan politik dari wakil rakyat yang memegang mandat resmi," imbuhnya.

 

Diguncang JW Marriott

 

Satu hal yang mungkin membuat ST kali ini tak terlupakan adalah terjadinya peristiwa pemboman di Jakarta. Sekitar 12.40 Wib pada 5 Agustus 2003, saat sebagian besar anggota MPR tengah santap siang di hari ke 5 masa sidang, Hotel JW Marriott didera bom yang sangat dahsyat.

 

Seketika, hotel yang berlokasi di kompleks perkantoran Mega Kuningan itu luluh lantak pada bagian lobi utamanya. Tidak itu saja, Plaza Mutiara yang berlokasi tepat di sebelah hotel tersebut juga turut lebur pada sebagian bagunannya. Restoran Syailendra yang paling dekat dengan lokasi ledakan bahkan hancur seketika.

 

Bom mobil yang menurut Kapolri Dai Bachtiar mirip dengan bom Bali itu memakan belasan korban jiwa dan ratusan korban luka-luka. Belum dihitung berapa kerugian materil akibat hancurnya beberapa bangunan akibat bom tersebut.

 

DI MPR, tiba-tiba hampir semua studio mini milik stasiun-stasiun TV dipadati oleh penonton yang kebanyakan wartawan dan anggota MPR. Studio-studio mini itu memang dilengkapi oleh layar televisi yang menyiarkan secara langsung peristiwa bom Marriot.

 

Keprihatinan dan bela sungkawa disampiakan langsung oleh beberapa anggota MPR yang mendatangi lokasi kejadian pada sore harinya. Para anggota MPR yang tak sempat menengok langsung, menyampaikan duka citanya pada pemandangan akhir fraksi yang disampaikan pada rapat paripurna MPR.

 

Pada umumnya semua fraksi mengutuk tindakan pemboman tersebut dan tindakan terorisme lainnya di Indonesia. Sekaligus berharap bahwa kejadian ini jangan sampai terulang lagi. Sedangkan di lubuk hati sebagian masyarakat berharap bahwa semoga hasil ST bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga tidak ada lagi pihak yang sakit hati dan melampiaskannya pada tindakan terorisme seperti pada Hotel Marriott. (Zae)

Jum'at (8/8), Gedung MPR-DPR RI kembali lengang. Tak tampak lagi wajah-wajah sibuk anggota MPR lalu lalang memenuhi hampir setiap sudut ruang. Tak terlihat lagi kerumunan wartawan yang tidak kenal lelah menunggu sumber berita mereka keluar dari ruang rapat.

 

Stan-stan dari beberapa produsen jamu yang sempat menjadi salah satu hiburan di tengah 'sibuknya' rapat-rapat anggota MPR juga hanya tinggal sisa-sisa. Beberapa stasiun televisi yang sengaja membangun 'rumah kecil'-nya pada perhelatan tahun ini juga nampak tengah berkemas untuk segera meninggalkan kompleks persidangan para wakil rakyat tersebut.

 

Namun bukan berarti tidak ada lagi kesibukan di Senayan. Para petugas keamanan justeru sibuk memeriksa dan meneliti setiap orang yang hendak memasuki gedung wakil rakyat. Anjing penjaga yang selama masa persidangan 'disembunyikan', kali ini dengan gagah hilir mudik dikawal oleh tuannya.

 

Sidang Tahunan (ST) yang menjadi agenda MPR pada 2003 ini memang telah selesai. Rapat peripurna ke-tujuh yang diselenggarakan pada Kamis (7/8) malam adalah rapat terakhir anggota MPR dalam ST kali ini. Lengkap dihadiri oleh hampir seluruh anggota MPR dan ditutup secara resmi oleh Ketua MPR, Amien Rais.

Tags: