Kontroversi Implementasi UUPK Dalam Konteks Hubungan Dokter-Pasien
MYP Ardianingtyas

Kontroversi Implementasi UUPK Dalam Konteks Hubungan Dokter-Pasien

Beragam pendapat dan pertanyaan yang berkembang dalam masyarakat akhir-akhir ini menanggapi keberadaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), terutama dalam konteks hubungan dokter-pasien.

Bacaan 2 Menit
Kontroversi Implementasi UUPK Dalam Konteks Hubungan Dokter-Pasien
Hukumonline

Selama ini, dokter di Indonesia tidak melupakan pekerjaan rumah yang paling penting, yaitu mengadakan standarisasi pelayanan rumah sakit yang terpadu dan berlaku sama di seluruh Indonesia (hukumonline.com, 30 Januari 2003). Hal ini cukup memprihatinkan karena Standar Pelayanan Medik (SK Menkes No. 593/1993) belum mengatur secara lengkap sanksi terhadap pelanggaran tanggungjawab dan kewajiban dokter seperti diatur dalam standar pelayanan tersebut.

 

Munculnya prokontra mengenai implementasi UUPK dalam konteks hubungan dokter-pasien mungkin menjadi salah satu yang mendorong pengajuan RUU Praktek Kedokteran. Masalahnya, banyak kepentingan yang perlu diperhatikan dan dilindungi dengan hukum secara khusus, baik dari sisi pasien maupun sisi profesi dokter.

 

Pertanyaan mendasar adalah , apakah seorang pasien dapat dikategorikan sebagai konsumen berdasarkan UUPK, mengingat jasa profesi dokter berbeda dari jasa-jasa lainnya? Jasa profesi dokter sangat erat kaitannya dengan standar etika profesi. Apakah kehadiran suatu UU Praktek Kedokteran sudah urgen dikaitkan dengan  etika profesi dan  tanggung jawab sosial-moral seorang dokter?

 

Pasien bukan Konsumen, Dokter bukan Pelaku Usaha

Pasal 1 UUPK menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

 

Bagian lain menyebutkan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelengarakan kegiatan usaha dalam berbagi ekonomi.  

 

Salah satu hak konsumen yang diatur dalam UUPK adalah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sebaliknya, hak konsumen tadi menjadi kewajiban bagi pelaku usaha. Dengan demikian, pelaku usaha wajib memberikan suatu jaminan atas barang atau jasa yang diperdagangkan kepada konsumen.

 

Prof. Hermien Hadiati Koeswadji  menjelaskan bahwa sejak lama sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien. Dalam Mukadimah KODEKI, hubungan itu disebut transaksi terapeutik. Seorang dokter terikat pada aturan-aturan KODEKI dan sumpah jabatan. Disamping itu, dalam menjalankan profesinya dokter juga dibebani tiga landasan tanggung jawab, yaitu tanggung jawab etis, pengetahuan dan pengalaman, serta tanggung jawab hukum (perdata maupun pidana).

 

Dari sisi pasien, salah satu hak pasien atau keluarganya adalah hak atas persetujuan tindakan medik, lazim disebut informed consent. Menurut pasal 1 Permenkes No. 585/1989, informed consent adalah hak atas persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut. Artinya, hak yang dimiliki oleh setiap pasien untuk memberikan persetujuan atau  menolak untuk menjalani  prosedur percobaan medik yang dilakukan secara profesional dan didasarkan atas informasi yang diberikan oleh dokter.

 

Sebelum dokter melakukan suatu tindakan medik, pasien atau keluarga pasien (bila kondisi pasien tidak sadar/koma dan masih dibawah umur) harus menandatangani informed consent. Dengan menandatangani informed consent, menimbulkan kesan seolah-olah pasien atau keluarganya telah memberikan persetujuan untuk menyerahkan 'hidup dan mati'nya ke tangan dokter, tanpa adanya suatu jaminan atau garansi bahwa dia pasti sembuh dari penyakit yang dideritanya.

 

Namun dalam pandangan awam hingga saat ini, tentu apapun bisa terjadi. Bisa saja pada saat pasien masuk ke kamar operasi dalam keadaan sadar dan kondisi baik, saat keluar dari kamar operasi kondisi pasien tersebut malah memburuk. Bahkan kemungkinan meninggal bukan sesuatu yang mustahil. Tentu hal itu didasarkan pada tingkat kepercayaan dan kepasrahan yang tinggi dari pihak pasien dan keluarganya.  

 

selama ini ada anggapan bahwa dengan informed consent, dokter menjadi kebal atas tindakan dan ekses yang timbul akibat tindakannya. Acapkali keluarga pasien pasrah, seolah kematian pasien merupakan kehendak Tuhan. Padahal bukan mustahil dokter melakukan malpraktek di ruang operasi.

 

Penelitian yang dilakukan oleh Agency for Healthcare Research and Quality atau AHRQ di Amerika Serikat dapat dijadikan contoh. Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa dokter seringkali tidak memberikan informasi yang cukup untuk pasien sebelum dokter tersebut melakukan tindakan medik. Gambaran yang tidak jauh beda bisa ditemukan di Indonesia. Dokter dinilai tidak memberikan informasi yang cukup dan memadai sebelum pasien atau keluarganya menandatangani informed consent. Kalau informasi yang diberikan sudah cukup, kemungkinan besar keluarga pasien akan menerima apapun yang terjadi.  

 

Penulis berasumsi bahwa apabila pengertian konsumen, pelaku usaha dan barang atau jasa dalam ruang lingkup UUPK diimplementasikan dalam konteks hubungan dokter-pasien, berarti pasien dapat diposisikan sebagai konsumen, sedangkan dokter dapat diposisikan sebagai pelaku usaha. Sebab,  pasien adalah pemakai jasa dan dokter adalah pelaku usaha yang memberikan jasa kepada dan demi kesembuhan pasien. Tentu saja ini menimbulkan kesan bahwa hubungan pasien-dokter adalah hubungan komersil seolah-olah dokter 'menjual jasanya dengan suatu jaminan untuk sembuh'.

 

Dalam filosofi kedokteran, apabila ada dua pasien yang sama-sama dalam kondisi kritis dan mendapat standar pelayanan yang sama, akan bisa didapat hasil penyembuhan yang berbeda. Kenapa? Pada dasarnya setiap manusia adalah individu yang berbeda dan mempunyai karateristik tubuh yang unik. Sehingga dokter hanya bisa menjelaskan hasil penyembuhan yang bersifat statistik dari penelitian kedokteran, bukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dari pasiennya saja.

 

Sangat ironis apabila UUPK diimplementasikan dalam konteks hubungan dokter-pasien. Jasa yang diberikan dokter kepada pasiennya adalah menyangkut nyawa seseorang, yang pada hakekatnya bukan suatu barang yang diperdagangkan. Lagipula, jasa yang diberikan oleh dokter menyangkut profesi yang mulia dan  tidak semata-mata mencari keuntungan, melainkan juga bersifat kemanusiaan dan sosial.

 

Selain itu, apabila pasien atau keluarganya telah menandatangani informed consent, bukan berarti pasien atau keluarganya mendapatkan suatu jaminan  'pasti sembuh'. Perlu diketahui bahwa informed consent bukan merupakan suatu perjanjian antara dokter dan pasien yang memuat klausula garansi bahwa pasien pasti sembuh.

 

Malah dengan menandatangani informed consent, pasien atau keluarganya dianggap telah mengerti resiko dari tindakan medik yang dilakukan oleh dokter berdasarkan informasi yang diberikan oleh dokter itu sendiri. Dalam hal ini, seorang dokter dituntut untuk memberikan informasi yang jelas dan akurat. Informasi yang dapat dipahami oleh pasien atau keluarganya, termasuk segala resiko yang dihadapi.

 

Berbeda dengan pelaku usaha yang berkewajiban memberikan jaminan bahwa jasa yang diberikan pasti baik dan terjamin mutunya. Dalam arti lain, pelaku usaha wajib menjanjikan kepada konsumen bahwa apabila konsumen tidak puas dengan jasa yang diberikan, konsumen dapat menuntut jaminan sesuai dengan perjanjian. Kontraprestasinya dapat berupa pemberian kompensasi, ganti rugi atau penggantian sejumlah tertentu.

 

Kemudian, kewajiban uji coba  barang tidak mungkin dilakukan oleh dokter, mengingat jasa yang diberikan bukan sesuatu hal biasa yang dapat diujicobakan. Ini menyangkut nyawa seseorang dan jasa yang diberikan sangan terikat dengan kode etik profesi sang dokter.

 

Bagaimana jika dokter mempromosikan dirinya bisa mengobati seorang pasien hingga sembuh? Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan di dalam konteks hubungan dokter-pasien. Mengingat yang paling utama dalam pelayanan kesehatan adalah jasa yang diberikan dokter harus sesuai dengan standar profesi. Tidak boleh ada semacam garansi kesembuhan. Jaminan pasti sembuh dapat memberi kesan adanya suatu promosi jasa kesehatan dari seorang dokter. Padahal suatu promosi jasa kesehatan oleh dokter tidak dapat dibenarkan mengingat apabila dokter berpromosi, dokter tersebut tentunya akan melanggar serta bertentangan dengan sumpah dokter dan kode etik (pasal 4 ayat 6 KODEKI).

 

UU Praktek Kedokteran

Penulis tetap berpendapat bahwa UUPK tidak dapat diimplementasikan dalam konteks hubungan dokter-pasien. Filosofi dari hubungan dokter-pasien tidak dapat disetarakan dengan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Hubungan dokter-pasien bukan suatu hubungan komersil yang hasil finaslnya dapat diperjanjikan. Lalu,  bagaimana pasien memperjuangkan haknya selain mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana?

 

Dalam hal ini, Departemen Kesehatan bersama IDI dan institusi kedokteran lainnya terus berusaha sekuat tenaga untuk menyempurnakan perangkatnya, antara lain menyempurnakan sistem pendidikan kedokteran dan mengadakan pendidikan dokter berkelanjutan (continuing medical education/CME). Dari segi legislasi, upaya yang dilakukan adalah menyusun RUU Praktek Kedokteran. Draft RUU ini sudah diserahkan ke Komisi VII DPR.  

 

Menurut hemat penulis, lahirnya UU khusus yang mengatur praktek kedokteran sudah sangat urgen. Mengingat, perangkat hukum yang ada saat ini seringkali dinilai berbenturan dengan KODEKI dan aturan IDI. Acapkali dokter yang diduga melakukan malpraktek diloloskan oleh organisasi profesinya.

 

Disamping itu, keberadaan UUPK dirasakan tidak relevan apabila diimplementasikan ke dalam konteks hubungan dokter-pasien. Apalagi kalau dijadikan dasar hukum atas suatu gugatan malpraktek.

 

Kehadiran UU Praktek Kedokteran diharapkan bisa menyelesaikan kasus-kasus malpraktek dengan baik. Sehingga bisa menciptakan rasa keadilan dan kepastian bagi pasien atau keluarganya di satu sisi, dan dokter di sisi lain.

 

UU Praktek Kedokteran bisa diharapkan memberikan suatu panduan hukum bagi para dokter agar lebih berhati-hati dan bertanggung jawab atas profesinya. Sehingga kesan bahwa dokter kebal hukum akan berangsur hilang.

 

 

*Tulisan ini adalah pendapat independen penulis sebatas wacana, yang sebelumnya telah didiskusikan dengan dokter.

Intinya adalah apakah masyarakat mempunyai hak dan kesempatan untuk mengajukan gugatan malpraktek berdasarkan UUPK ke pengadilan. Sebelum lahirnya UUPK, gugatan malpraktek di Indonesia diajukan secara perdata atau pidana.

Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, selama ini dokter resisten terhadap UUPK karena mereka menganggap profesi kedokteran bukan barang dagangan, pasien tidak sama dengan konsumen, dan rumah sakit itu bukan pelaku usaha. Ketua Yayasan Konsumen Kesehatan dr. Marius Widjajarta pun berpendapat sama. Kata dia, berdasarkan UUPK dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, profesi kesehatan --termasuk pelaku usaha dan pasien-- dapat dikategorikan sebagai konsumen.

Pendapat berbeda dikemukakan Prof. Achmad Djojosugito. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini menolak pendapat bahwa profesi dokter harus tunduk kepada UUPK. Sebab, UUPK terkesan hanya mengatur sebatas pada hal-hal yang sifatnya menjanjikan hasil atau result obligation. Menurut Prof. Achmad, sudah kewajiban dokter untuk berusaha sekuat tenaga sesuai standar profesi demi kesembuhan pasien. Sehingga makna pelayanan kesehatan berbeda dengan pengertian 'jasa' yang disebut dalam UUPK.

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) pun menyiratkan bahwa jasa kesehatan yang diberikan oleh dokter di dalam konteks hubungan dokter-pasien berbeda dengan hubungan konsumen dan pelaku usaha yang memberikan jasa layanan umum, sehingga UU Konsumen tidak dapat diimplementasikan terhadap jasa layanan kesehatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: