Parpol Mengincar Posisi Hakim Agung
Fokus

Parpol Mengincar Posisi Hakim Agung

Proses pemilihan calon hakim agung mengundang kritik masyarakat, terutama LSM dan berbagai profesi hukum. Bukan hanya proses seleksinya yang kurang terbuka melainkan juga munculnya calon-calon yang dijagokan oleh fraksi-fraksi di DPR. Beberapa calon dari partai politik (parpol) ini lolos seleksi administrasi calon hakim agung.

Oleh:
Inay/Apr
Bacaan 2 Menit
Parpol Mengincar Posisi Hakim Agung
Hukumonline
Menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA) dinyatakan bahwa daftar nama calon diajukan oleh DPR kepada presiden setelah mendengar pendapat dari MA dan Pemerintah. Namun, ternyata parpol juga ikut mengajukan calon. Selain itu, ada juga calon dari organisasi-organisasi profesi dan institusi-institusi, seperti Lembaga Bantuan Hukum, AAI, dan lain-lain.

Keputusan DPR untuk menerima usulan calon dari masyarakat selain dari dari Pemerintah dan MA mungkin dapat dimaklumi. Bahkan, langkah DPR ini pantas diberi acungan jempol. Pasalnya, ini merupakan terobosan dari UU dan juga menandakan bahwa DPR ingin menampung aspirasi masyarakat.

Calon parpol
Namun ketika fraksi-fraksi ikut mengajukan calonnya, keobyektifan DPR terhadap calon dipertanyakan. DPR sendiri yang mencalonkan, lalu DPR pula yang akan menyeleksi para calon tersebut. Masalahnya, apakah calon yang diajukan oleh parpol tersebut tidak akan merasa berhutang budi pada parpol tersebut. Padahal seharusnya seorang hakim agung bersikap independen dan hanya berpihak pada keadilan.

Menurut sumber terpercaya di DPR, ada sejumlah nama yang tidak dicalonkan oleh MA dan Pemerintah serta masyarakakat, tetapi diusulkan oleh parpol. Yang paling jelas adalah pencalonan Muladi oleh Fraksi Golkar.

Selain itu, F-PDIP (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) juga mencalonkan enam nama: Marthen Parengkun, Slamet Riyanto, O.H.Simarmata, Sutjipto, Zulkifli Rachman, dan Zulkifli Lubis, yang bukan usulan calon dari MA, Pemerintah, maupun masyarakat. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) mencalonkan Djuhad Mahja dan Muchsin. Sementara Fraksi Reformasi, antara lain mencalonkan Patrialis Akbar, Fathurrahman Djamil, dan Wahyu Affandi.

Idrus Markam dari Fraksi Golkar menepis kekhawatiran calon hakim agung dari partai politik. Ia berpendapat, konsep non-partisan yang sekarang dikembangkan jangan dilihat sebagai sikap anti partai. Maka dalam proses penyaringan itu, semua hak berhak mengusulkan calonnya. Pasalnya, semua calon diumumkan, seleksi terbuka, dan ada kontrol dari masyarakat. DPR ‘kan tetap dikontrol oleh masyarakat, ujar Idrus.

Pencalonan caalon anggota hakim agung dari parpol tidak bisa dihindari. Amin Aryoso, Ketua Komisi II DPR, menyatakan, apa alasan melarang calon dari parpol, sedangkan calon dari LSM saja dibolehkan. Lagi pula calon hakim agung dari parpol tidak mesti menimbulkan conflict of interest. Hakim ‘kan tidak bisa menjadi parpol, kata Amin.

Tidak memenuhi syarat
Masih menurut sumber tersebut, banyak calon yang tidak memenuhi syarat. Bahkan setelah diperiksa, calon yang diajukan oleh MA pun banyak yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan Pasal 7 Ayat 1 Butir g UU no 14 tahun 1985. Adalah naif jika tidak bisa dibilang mustahil, jika MA tidak mengetahui persyaratan menjadi hakim agung.

Sesuai dengan ketentuan, seorang hakim karier jika ingin menjadi hakim agung harus menjadi Ketua Pengadilan Tingkat Banding minimal lima tahun atau menjadi hakim Pengadilan Tingkat Banding minimal sepuluh tahun. Ternyata dari 36 calon yang diajukan oleh MA, ada lima calon yang tidak memenuhi persyaratan tersebut: Djoko Sarwoko, Harifin A. Tumpa, I Made Arka, Robert S. Sitindjak, dan Stephanus Sutrisno. Dari lima calon tersebut, empat orang merupakan pejabat struktural di MA.

Kejanggalan ini tentu saja mengundang kecurigaan. Rifqi Kiki Sjarief Assegaf, Sekjen LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan) melihat mungkin saja hal itu merupakan kesengajaan dari MA agar para hakim karier tersebut nantinya bisa masuk melalui jalur non-karier. Pasalnya, syarat bagi calon hakim non-karier adalah berpengalaman di bidang hukum selama minimal 15 tahun.

Pernah ada preseden hakim karier yang menjadi hakim agung melalui jalur non-karier, kata Kiki. Bisa jadi ini adalah cara MA untuk mengisi jatah hakim non-karier di MA dengan orang dalam sendiri. Bila skenario berjalan mulus, MA tetap tidak akan terusik oleh orang luar.

Tidak heran bila gosip pun menyebar bahwa ada politik uang (money politics) dalam pencalonan hakim agung. Hartono Mardjono yang ikut memimpin sidang menyatakan tidak pernah tahu politik uang dalam seleksi hakim agung dan menyilakan untuk melapor jika ada yang mengetahuinya.

Amin Aryoso juga membantah hal tersebut. Ketika ditanya pada Selasa, 11 Juli 2000, Ia menyatakan: Kalau begitu jangan cuma bikin isu, saudara harus kasih bahan yang benar, sulit kalau cuma bicara isyu-isyu. Namun keesokan harinya (Kamis, 12 juli 2000) ia melakukan klarifikasi bahwa kemarin memang ada laporan dari salah satu calon yang mengaku ditelepon oleh seseorang yang mengatasnamakan Amin Aryoso dan meminta uang kepada calon tersebut.

Amien menjelaskan, Setelah dicek ternyata nomo nomor handphone dan Nomor Account-nya bukan miliknya. Semua itu salah, saya tidak pernah minta uang kepada calon, tegas Amin. Ia juga mengungkapkan, kalau ada anggota DPR yang meminta uang dari calon anggota akan dikenakan sanksi. Namanya juga ‘duit pelicin', siapa yang mampu membuktikannya.

Berita lain dari senayan yang cukup menyedihkan adalah mundurnya calon-calon yang diusulkan oleh masyarakat. Padahal track record dan kredibilitas calon tersebut sudah cukup dikenal, seperti: Mardjono Reksodiputro, Fred BG Tumbuan, Baharuddin Loppa, Todung Mulya Lubis, Bambang Widjojanto, Albert Hasibuan, dan Kusparmono Irsan.

Lolos seleksi
Panja menerima 81 calon hakim agung yang diusulkan oleh MA, Depkumdang, Departemen Agama, AAP, IPHI, Ikadin, dan lapisan masyarakat. Setelah melewati proses seleksi administrasi, dari 81 calon hakim agung ternyata hanya 53 yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemungkinan besar ada penciutan lagi karena ada yang kurang sesuai dengan persyaratan UU maupun syarat yang ditetapkan Komisi II, ujar Amin.

Berdasarkan laporan masyararakat, 23 calon hakim agung perlu diklarifikasi. Selain nama tenar Muladi dan Benjamin Mangkoedilaga, calon lain yang diklarifikasi antara lain: Pranowo (Sekjen MA), Armulan Siregar, Hartomo, Sorta Edwin Simanjuntak (Wakil sekjen MA), Suberi Arsyad, Sri Waty, Khalilurrahman, Ronggur Hutagalung, Wiryawan, Slamet Riyanto, Agust Takabobir, Marcus Lande, Gde Soedartha, dan Saleh Rasyid.

Muladi mengaku ditanya soal penyelahgunaan kekuasaan saat menjabat menteri. Jago dari Golkar ini mendapat pertanyaan soal kekayaan yang diperoleh saat menjadi Rektor Universitas Diponegoro dan pengangkatan anaknya sebagai notaris di Semarang. Sementara Benjamin Mangkoedilaga diklarifikasi soal tanah di Desa Cimacan. Entah disengaja atau tidak, saat Benjamin diklarifikasi, serombongan petani Cimacan datang ke DPR dan bereaksi atas pencalonan Benjamin.

Setelah melewati proses seleksi administrasi, Muladi dan Benjamin lolos sedangkan Pranowo dinyatakan gugur. Pranowo tersandung ketentuan syarat menjadi hakimagung minimal 10 tahun menjadi hakim tinggi atau 15 tahun untuk ketua pengadilan tinggi. Calon dari parpol yang lolos adalah Muladi dari Golkar, Wahyu Affandi dari Fraksi Reformasi, Djuhad Mahja dan Muhsin dari F-PPP, serta OH Simarmata, Zulkifli Rahman, Zulkifi Lubis dari F-PDI.

Muladi dan Benjamin termasuk 46 nama dari 53 calon lolos seleksi administrasi yang akan mengikuti fit and proper test (uji kelayakan dan kepantasan). Penyaringan calon yang lolos ini dilakukan tiga tahap. Tahap I lolos 29 orang, tahap II lolos 13 orang, dan tahap III lolos 4 orang. Fit and proper test secara terbuka rencananya dilaksanakan pada 14-15 Juli 2000 dan jika belum rampung dilanjutkan hingga 17 Juli 2000.

Menurut Amin Aryoso, sebelum mengikuti fit and proper test, para calon hakim agung ini harus membuat pernyataan, membacakan, dan menandatangai pernyataan di hadapan panitia. Isinya, jika mereka memberikan keterangan yang tidak benar dengan bukti-bukti yang nyata, mereka wajib mengundurkan diri. Pernyataan calon ini berakibat hukum dan ditandatangani di atas materai di depan Panitia Panja.

Dari fit and proper test, Panja akan membuat ranking sebelum disampaikan kepada Presiden. Amin menyatakan tidak akan ada voting untuk ranking calon hakim agung nanti. Buat apa voting-votingan. Lebih baik musyawarah, ujarnya.

Amin juga menegaskan bahwa calon dari parpol belum pasti lolos. Apakah dia (calon) dari parpol atau bukan, kalau profesional bisa lolos, katanya. Ia mengakui, sudah tentu ada unsur subyektifitas, tetapi kepentingan negara tetap nomor satu. Terutama menciptakan MA yang benar-benar reformis, cetus Amin. Kita tunggu angin baru dari DPR.
Tags: