Kejagung Masih Teliti Kelayakan Tiga Buku
Berita

Kejagung Masih Teliti Kelayakan Tiga Buku

Hingga kini Tim Clearing House Kejaksaan Agung masih meneliti materi tiga buah buku yang dinilai berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat. Apa saja buku tersebut?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Kejagung Masih Teliti Kelayakan Tiga Buku
Hukumonline

Tetapi di Kejaksaan Agung, bukan soal keterlibatan dalam aksi demo itu yang membuat nama Soleman Penggu dikenal. Melainkan, buku Papua Berdarah yang ditulisnya. Papua Berdarah merupakan satu di antara tiga buku yang berpotensi untuk dilarang aparat kejaksaan. Dua buku lain adalah Aku Bangga Jadi Anak PKI karangan dr. Ribka Tjiptaning Proletariati dan buku Aku Pintar al-Qur'an terbitan Ladang Pustaka dan Inti Media Jakarta.

 

Berdasarkan informasi yang diperoleh Hukumonline, ketiga buku itu kini sedang diperiksa secara intensif oleh Tim Clearing House Kejaksaan Agung.

 

Buah karya Soleman Penggu antara lain menyajikan hasil kajian pelanggaran HAM dan demokrasi di Papua. Secara khusus, penulis membeberkan pelanggaran HAM di sana sejak 1962 hingga aksi kemerdekaan yang tumbuh sepanjang 1998-2000. 

 

Buku Aku Pintar al-Qur'an adalah buah karya Mochtar Strork dan M. Iqbal. Tidak jelas siapa yang melaporkan dan meminta agar buku itu ditarik dari peredaran. Yang jelas, Kejaksaan Agung menganggap ilustrasi yang termuat dalam buku tersebut dinilai melecehkan nilai kemanusiaan dan tidak sesuai dengan konteks yang dibahas. Kejaksaan khawatir buku tersebut bisa mengganggu kerukunan hidup beragama.

 

Selain kedua buku di atas, buah karya yang sempat menjadi perdebatan hangat adalah buku Aku Bangga Jadi Anak PKI. Buku terbitan Tjipta Lestari itu mendapat sambutan dari banyak kalangan hingga dicetak beberapa kali.

 

Namun di sisi lain, buku tersebut mendapat sorotan karena dianggap akan menyebarkan paham komunisme kembali. Berdasarkan salinan dokumen yang diterbitkan kejaksaan, buku karangan dr. Ribka itu dinilai memuat ajaran komunisme secara pelan.

 

Dalam bahasa kejaksaan, lewat buku tersebut ajaran komunisme diterapkan melalui gerakan-gerakan halus smooth moving dalam mempengaruhi opini masyarakat untuk meyakini ajaran komunis/PKI. Alasan yang sama pernah dikemukakan kejaksaan saat melarang peredaran buku Memoar Oei Tjoe Tat pada 1995. 

 

Aturan pelarangan

 

Kejaksaan Agung tampaknya sudah berubah, tidak gampang lagi melarang atau menarik buku atau barang cetakan lain dari peredaran. Buktinya, sepanjang Januari-Juni 2003 belum ada satu pun barang cetakan yang dilarang.

 

Berdasarkan data yang diperoleh Hukumonline, pelarangan terakhir terjadi pada Februari 2002. Saat itu, Jaksa Agung mengeluarkan SK No. Kep-162/A/J.A/02/2002 yang memutuskan melarang peredaran majalah Newsweek edisi 11 Februari 2002. Majalah itu dinilai memvisualisasikan gambar-gambar (rekaan gambar yang diklaim sebagai) Nabi Muhammad, sebagai ilustrasi pada laporan berjudul The Bible and the Qur'an.

 

Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pernah menyampaikan penolakan atas setiap bentuk dan cara pelarangan buku, baik yang dilakukan Pemerintah maupun kelompok masyarakat. Salah satu program IKAPI di bidang pemantapan hukum dan hak cipta adalah menghapus peraturan pelarangan buku.

 

Salah satu peraturan dimaksud adalah Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan. Pasal 1 ayat (1) Penpres ini menyatakan bahwa Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Namun berdasarkan penelusuran Hukumonline, Penpres di atas sudah dicabut lewat UU No. 4 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pers.

 

Meskipun sudah dicabut, ketentuan serupa ternyata masih diakomodir dalam UU Kejaksaan 1991. Pasal 27 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1991 menyebut fungsi kejaksaan antara lain 'pengamanan peredaran barang cetakan'.

Tags: