Penjara untuk Akbar Tandjung
Kolom

Penjara untuk Akbar Tandjung

Tahun 2002, menjelang dimulainya gelar perkara penyalahgunaan dana Bulog dengan Akbar Tanjung sebagai salah satu terdakwanya, penulis berkeyakinan bahwa Golkar -- terlebih lagi Akbar -- telah benar-benar terpojok. Beringin semakin layu, dan Akbar harus segera angkat kaki dari dunia politik yang hingar bingar.

Bacaan 2 Menit
Penjara untuk Akbar Tandjung
Hukumonline

Ternyata, perjalanan waktu menunjukkan fakta yang berbeda. Kendati tekanan dari banyak kalangan tidak kunjung surut, publik harus menerima kemungkinan masih panjangnya karir politik Akbar Tanjung. Tersangkut perkara hukum besar ternyata tidak menghilangkan kelihaian sekaligus nasib mujur Akbar.

 

Beberapa waktu lalu, misalnya, meskipun telah terbukti melakukan tindak kejahatan korupsi, hakim yang mengadili kasus Akbar tersebut secara kontroversial tidak segera mengirim Akbar ke penjara. Tidak hanya itu. Akbar dengan percaya diri terus berjuang mencari kebenaran dengan mengajukan proses banding, yang hingga kini telah mencapai tingkat kasasi Mahkamah Agung.

 

Yang mutakhir, lolos dari Undang-undang Pemilihan Presiden yang tidak menetapkan syarat bahwa seorang kandidat presiden harus tidak berstatus terdakwa, merupakan keberhasilan Akbar dalam menambah daftar kegemilangannya di kancah perpolitikan nasional. Terbukti bahwa kemudian nama Akbar mencuat, bertepatan dengan pembukaan konvensi pemilihan calon presiden dari Golkar pada 10 Juli 2003, sebagai salah satu kandidat presiden yang diajukan oleh partai tersebut.

 

Bahkan, kesediaan Nurcholish Madjid untuk dicalonkan sebagai presiden oleh Golkar, seolah menjadi antitesis bagi stigma yang dikenakan masyarakat selama ini terhadap Golkar. Khalayak luas -- awam dan pengamat -- boleh saja mengidentikkan Golkar sebagai biang KKN. Namun, citra tersebut terbantahkan, karena dinamika politik pada gilirannya membuktikan seorang begawan sekaliber Nurcholish Madjid pun sudi bergandengan tangan dengan Golkar. Meskipun, belakangan Cak Nur ragu akan keikutsertaannya dalam Konvensi Pemilihan Calon Presiden dari Partai Golkar.

 

Jika dirangkum, paling sedikit ada tiga penampakan sosio-legal berkenaan dengan kasus Akbar, yang secara faktual tidak menghambat akselerasi politiknya dalam mengembalikan kejayaan Golkar sekaligus menuju kursi RI-1. Ketiganya adalah penahanan yang sporadis, proses peradilan yang berkepanjangan (dan vonis yang dijatuhkan tidak memberikan efek signifikan terhadap si terhukum selama rentang waktu tersebut), serta hujatan yang deras.

 

Ketiga hal di atas, selaras dengan berbagai temuan psikologi forensik, terbukti sangat ampuh dalam menurunkan tingkat efektivitas hukuman. Itulah yang terjadi. Proses peradilan yang lazimnya tidak menyenangkan, sehingga berpengaruh kontraproduktif bagi kinerja individu manapun, dalam kasus Akbar justru menjadi semacam negative reinforcement.

 

Laiknya seorang individu yang mengalami sensasi kenikmatan tatkala disakiti (masochist) -- alih-alih mengendur -- tekanan menjalani proses hukum dan menghadapi cercaan masyarakat justru mempertinggi motivasi politik Akbar. Wajar apabila publik bertanya-tanya tentang strategi jitu yang dapat dilakukan guna men-skak mat politisi yang satu ini. Pertanyaan semacam ini didasarkan pada asumsi bahwa terputusnya pertalian Akbar dengan kancah politik nasional akan membawa negeri ini ke kehidupan yang lebih bersih dan lurus.

Tags: