Prioritas Legislasi DPR Masih Dipengaruhi Modal dan Kekuasaan
Utama

Prioritas Legislasi DPR Masih Dipengaruhi Modal dan Kekuasaan

DPR dinilai tidak mempunyai metode yang jelas dalam menyusun prioritas legislasi. Skala penyusunan prioritas legislasi di lembaga tinggi negara tersebut, sangat dipengaruhi oleh kepentingan modal dan kekuasaan.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Prioritas Legislasi DPR Masih Dipengaruhi Modal dan Kekuasaan
Hukumonline

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti, pada diskusi bertajuk "Menggugat Prioritas DPR" di Jakarta, pada Selasa (2/08). Dalam acara tersebut, diluncurkan pula hasil kajian PSHK mengenai proses penyusunan prioritas legislasi DPR untuk masa sidang DPR 2003-2004.

Bivitri mengutarakan, bahwa dominasi agenda pemekaran wilayah dalam penentuan proses legislasi DPR itu kental akan kepentingan politik praktis menjelang Pemilu 2004.

"Kecenderungan yang dapat diambil ialah bahwa fakta ini bisa jadi menunjukan adanya usaha untuk penguatan dan penyebaran kader dalam menghadapi Pemilu 2004," jelas Bivitri.

Dia mengatakan, dari 63 UU yang dihasilkan selama periode 2000-2002, 35 diantaranya adalah UU yang berkaitan dengan pemekaran wilayah. Selain itu, faktor tekanan dunia internasional dan dukungan finansial domestik juga sangat mempengaruhi penentuan prioritas legislasi DPR.

Akibat tidak ada metode yang jelas dalam menyusun prioritas legislasi tersebut, akhirnya sejumlah UU yang memiliki nilai strategis, seperti RUU Mahkamah Konstitusi, justeru tidak diprioritaskan.

"RUU Mahkamah Konstitusi seharusnya dibahas sejak awal masa sidang 2002-2003, dan bukan pada saat-saat terakhir. Kondisi ini membuat pembahasan lembaga sepenting itu menjadi sangat terburu-buru dan banyak bermasalah dalam substansinya," tandas Bivitri.

Beda sudut pandang

Di lain pihak, anggota Komisi II DPR dari F-Partai Golkar Akil Mochtar berpendapat bahwa semua RUU yang masuk ke DPR adalah RUU prioritas. Akil juga menggarisbawahi bahwa antara pemerintah di satu sisi, dan DPR di sisi lain bisa berbeda pandangan dalam melihat prioritas legislasi.

Karena itu, tandas Akil, RUU pemekaran wilayah yang dianggap tidak penting oleh sebagian kalangan, tapi oleh DPR justeru dianggap patut diprioritaskan pembahasannya. Bahkan, menurutnya, manfaat RUU pemekaran wilayah benar-benar dirasakan oleh masyarakat di daerah-daerah.

Lebih jauh, ia juga menyebutkan sejumlah alasan lain yang selama ini sering menjadi penghambat proses pembahasan RUU-RUU di DPR. Beberapa diantaranya adalah minimnya anggota DPR yang memahami legislative drafting, serta faktor lambannya pemerintah untuk menunjuk menteri yang akan membahas RUU bersama DPR.

Hampir senada dengan Akil, politisi F-PDIP yang juga anggota Badan Legislasi DPR Didi Supriyanto mengatakan bahwa konsentrasi DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya sering terpecah karena harus menjalankan fungsinya yang lain yaitu pengawasan eksekutif dan menyusun anggaran.

Didi juga membantah anggapan bahwa DPR tidak memiliki metode yang jelas dalam menyusun prioritas pembahasan RUU. Menurutnya, DPR secara rutin melakukan rapat koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Kehakiman dan HAM dalam menyusun prioritas legislasi tiap tahunnya.

Hanya saja ia tidak menampik kenyataan bahwa banyak RUU yang masuk dan kemudian dibahas DPR, padahal RUU tersebut tidak masuk dalam daftar prioritas. Ia mencontohkan, saat ini Komisi VIII DPR tengah membahas RUU tentang Panas Bumi yang sebetulnya tidak termasuk RUU prioritas.

Dengan berbagai permasalahan sebagaimana diungkapkan kedua politisi itu, Bivitri mengatakan bahwa daftar prioritas RUU yang disusun DPR dan pemerintah tidak lebih dari sekadar "to do list" bagi para anggota DPR. Artinya, ia memandang bahwa prioritas tersebut fungsinya hanya sebagai pengingat bagi para wakil rakyat mengenai sederet RUU yang belum dibahas.

Sementara, pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Satya Arinanto menyarankan agar anggota masyarakat dapat memanfaatkan lobi intensif ke masing-masing fraksi di DPR untuk memuluskan usulan RUU-nya. Cara tersebut, menurutnya, bisa menjadi lebih efektif bila usulan yang diajukan sudah berbentuk naskah akademik beserta RUU lengkap dengan pasal-pasalnya. 

Tags: