Dilema Media Mesum, Antara Disuka dan Dinista
Fokus

Dilema Media Mesum, Antara Disuka dan Dinista

Belum lama ini, tersiar kabar bahwa salah satu terbitan porno masyhur asal AS, Penthouse, gulung tikar. Bob Guccione, pemilik perusahaan yang core bisnisnya adalah penerbitan majalah "biru" bagi pria dewasa ini mengaku perusahaannya dibebani utang AS$ 40 juta. Terakhir, ia sedang menjalani proses kepailitan di negerinya.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Dilema Media <i>Mesum</i>, Antara Disuka dan Dinista
Hukumonline

Bila Penthouse sedang di ujung jurang kebangkrutan, tidak demikian halnya dengan Playboy. Menjelang ulang tahunnya yang ke-50 awal tahun depan, imperium bisnis yang dirintis Hugh Hefner sejak 1954 itu makin berkibar kencang. Dengan jumlah rata-rata pembaca 15 juta per bulan, Playboy berhasil mengukuhkan diri sebagai majalah khusus laki-laki terlaris di dunia. Total penjualannya pada 1998 berjumlah AS$ 318 juta, dengan laba sekitar AS$ 5 juta (Gatra, 4/08/2003).

 

Gilang-gemilangnya bisnis mesum juga dinikmati oleh saingan berat Playboy saat ini, Hustler. Mengawali langkah bisnisnya di bidang penerbitan majalah dewasa Hustler, pendirinya, Larry Flint, kemudian berhasil mengepakkan sayap bisnisnya ke bidang lain – walaupun masih dalam ranah bisnis entertainment -- diantaranya film dan kasino. Ekspansi bisnis penerbitan porno ke dunia hiburan juga merupakan kunci keberhasilan Playboy.

 

Pada saat Penthouse di ambang kebangkrutan, Flint menilai kegagalan Penthouse disebabkan pemiliknya tidak mengeksploitasi Penthouse sebagaimana mestinya. Flint mengatakan bahwa pada awalnya usaha penerbitan pornonya menghasilkan banyak keuntungan. Namun, belakangan, pemasukan terbesar bagi Hustler ternyata berasal dari divisi film dan kasino.

 

"Kami berpikir tidak ada masa depan yang cerah di bidang penerbitan," katanya seperti dikutip dalam Newsweek (25/08). Ia juga mengatakan bahwa uang tidak datang dari produksi video-video berkategori soft core seperti yang menjadi ciri khas Playboy. "Orang tidak berminat dengan 'Charlie's Angels'," ujarnya. "Mereka menginginkan porno yang sesungguhnya!"

 

Demikian sekelumit cerita mengenai haru-biru bisnis pornografi di negara Paman Sam. Pornografi bukanlah sesuatu hal yang diharamkan oleh Negara AS. Hak untuk menyebarluaskan substansi berbau pornografi dilindungi Negara di bawah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of speech) yang diatur dalam Amandemen Pertama Undang-Undang Dasar AS:

 

"Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances."

 

Pembatasan pornografi di AS adalah pelarangan terhadap substansi yang mengandung unsur kecabulan (obscenity) dan pornografi anak (child pornography). Secara teknis, pornografi hanyalah satu faktor yang dipertimbangkan dalam keputusan apakah suatu karya itu cabul, dan karena itu, harus dilarang oleh undang-undang.

 

Semua haram

Sampai di sini, kita akan melihat bagaimana hukum dan pemerintah Indonesia mengatur mengenai pornografi. Sampai saat ini tidak ada satu undang-undang pun yang benar-benar mengatur mengenai pornografi secara langsung. Namun, beberapa pakar hukum berpendapat bahwa pornografi dapat dikaitkan dengan tindak pelanggaran kesusilaan dalam KUHP yang biasa dikenal sebagai "delik susila"

 

Ketua Tim Kerja Perancangan Undang-undang tentang Anti Pornografi DPR, Dr. Gati Gayatri, berpendapat pengaturan tentang pornografi secara tidak langsung dimuat dalam sejumlah undang-undang lain seperti UU No.30/2002 tentang Penyiaran atau UU No.40/1999 tentang Pers. Menurut UU No.40/1999, pers diwajibkan untuk memberitakan peristiwa dan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan.

 

Seperti diakui Gati, tidak ada satupun dari perundang-undangan tersebut yang secara tegas mendefinisikan pornografi. Meskipun pasal-pasal KUHP tidak menyebut pornografi secara langsung, tetapi para ahli ilmu hukum menggunakan istilah delik pornografi untuk membedakan "tindak pidana mengenai pornografi" dengan kejahatan dan/atau pelanggaran kesopanan lainnya. Demikian seperti dikutip Gati dari Wirjono Projodikoro.

 

Anda tentu masih ingat kasus foto semi bugil artis Sophia Latjuba di majalah Popular beberapa tahun lalu? Dalam foto yang dimuat sebagai kulit muka Popular, Sophia difoto seolah-olah tidak mengenakan sehelai benangpun. Kontan saja, foto tersebut mengundang reaksi masyarakat luas. Meski mantan isteri Indra Lesmana tersebut sempat dipanggil pihak kepolisian, persoalan ini toh tidak sampai ke pengadilan.

 

Ketiadaan pengaturan yang jelas mengenai pornografi inilah yang kemudian menjadi salah satu latar belakang disusunnya RUU tentang Anti Pornografi oleh DPR. Satu hal yang menjadi perdebatan mengenai RUU ini adalah definisi dari pornografi itu sendiri. Kalau boleh di kata, masalah definisi inilah yang sebenarnya menjadi sentral RUU Anti Pornografi.

 

Jika di AS pelarangan pornografi ditentukan dengan ada tidaknya substansi obscenity atau child pornography, dalam RUU yang segera dibahas oleh DPR, semua jenis pornografi diharamkan. Simak saja bagaimana RUU mendefinisikan pornografi, "substansi dalam media atau alat kemunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasi seks, kecabulan, dan/atau erotika."

 

Mengenai apa yang dikategorikan seks, kecabulan, dan/atau erotika dapat diketahui melalui intepretasi sistematis terhadap RUU. Pasal 2 RUU menyebutkan bahwa pelarangan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi berasakan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa dengan memperhatikan nilai-nilai budaya, susila dan moral yang dianut masyarakat.

 

Dengan bahasa lain, penafsiran apa yang disebut pornografi nantinya akan banyak didominasi oleh bagaimana nilai-nilai tersebut, terutama agama, memandang seks, kecabulan, dan/atau erotika. Pelarangan secara total pornografi dalam RUU didorong oleh anggapan bahwa pornografi adalah penyebab utama tingginya tingkat kejahatan seksual di masyarakat.

 

Mudah diperoleh

Pengajar mata kuliah Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Neng Djubaedah menulis bahwa akibat dari tindak pidana pornografi dan tindak pidana pornoaksi seperti yang sering ditayangkan oleh televisi-televisi maupun berita-berita melalui media cetak di Indonesia, adalah banyaknya kasus perkosaan, perzinaan, dan aborsi (Neng Djubaedah, Pornografi & Pornoaksi, 2003).

 

Sementara, Gerakan Nasional Anti Pornografi (GNAP) pada Mei 2003 telah mendaftar berbagai media yang menyajikan materi pornografi dengan proporsi yang bervariasi.  Beberapa media yang paling banyak menyajikan materi yang digolongkan pornografi oleh GNAP diantaranya, Buah Bibir (83%), Lipstick (80%), Bos (73%), Playboy (70%), Lampu Merah (50%), Popular (60%), Sexy (65%), Male Emporium (35%), serta Liberty (50%).

 

Selain media-media di atas, GNAP juga menemukan sejumlah media yang ukurannya seperti buku serial dan mengandung muatan pornografi hingga 90%. Nama-namanya antara lain Amor (91%), Skandal (90%), Gelora Asmara (82%), dan Ranjang (80%). Hal yang paling mencemaskan adalah hampir semua media yang dianggap sangat berbau pornografi itu bisa diperoleh dengan mudah di pinggir jalan.

 

Sementara di AS, seperti dikutip Gati, majalah semacam Playboy dan Penthouse, misalnya, tidak bisa diperoleh di sembarang tempat. Di negara tersebut hampir selalu ada ketetapan atau peraturan daerah yang melarang atau membatasi peredarannya. Sebagai contoh, di Northern Virginia, daerah pinggiran Kota Washington, majalah-majalah seperti itu tidak boleh dipajang di etalase.

 

Bahkan, apabila di toko-toko atau kios-kios buku itu dijual, majalah-majalah tersebut selalu dalam keadaan terbungkus rapi dengan plastik dan dijepit sehingga tidak bisa dilihat dan dibalik-balik halaman isinya sebelum dibeli. Hal yang sama juga berlaku untuk tempat-tempat penjualan dan penyewaan video porno.

 

Selain jumlahnya yang relatif sedikit, tempatnya pun biasanya di lokasi-lokasi khusus dengan peringatan keras berbunyi: "Dilarang bagi yang berumur di bawah 18 tahun". Di kota-kota besar seperti New York, Los Angeles, San Fransisco, atau Seattle terdapat sejumlah bioskop yang khusus memutar film biru. Namun, di loket penjualan tiket senantiasa tercantum peringatan: "Undang-undang Kota melarang masuk yang berusia di bawah 18 tahun", dan kasir yang melayani penjualan karcis akan menanyakan kartu identitas orang yang diragukan umurnya.

 

Tidak bisa dibendung

Pengamat dan pakar komunikasi Jalaludin Rakhmat mengatakan bahwa sejak dulu muatan seks di media massa sudah banyak, tetapi sekarang makin banyak. Penyebab makin maraknya muatan seks di media massa menurutnya, pertama, disebabkan karena pers sekarang lebih bebas. Awalnya kebebasan ini untuk mempublikasikan berita, dan akhirnya media massa juga bebas menampilkan hal-hal yang bersifat seksual.

 

Kedua, karena persaingan pasar. Persaingan pasar media massa sekarang ini semakin ketat dengan banyaknya pilihan dan jenis media massa yang ada dan dapat dinikmati konsumen. Jatuh bangunnya media massa saat ini bukan lagi disebabkan karena dicabutnya izin (SIUPP), tetapi karena tidak dapat bertahan dan bersaing menghadapi pesaing-pesaing lainnya.

 

Berita/cerita seksual adalah yang paling cepat laku dijual dan diminati konsumen selain adegan kekerasan,  berita-berita kriminal, gosip dan rumor, serta hal-hal yang berkaitan dengan misteri. Komitmen media memang menomorsatukan khalayaknya. Seperti diungkapkan Jalaluddin Rakhmat, acara televisi itu harus mengandung 2B: breast dan blood. Seks dan kekerasan. No sex, no rating, no bussiness. (Sumartono, S. Sos, Pornografi di Media Massa).

 

Menarik pula pendapat pengamat komunikasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Budi Luhur Sumartono, yang mengatakan bahwa pornografi merupakan fenomena yang tidak dapat dicegah, semua pihak tidak perlu terlalu panik, karena pornografi bukan semata-mata masalah moral, tapi sekaligus masalah hukum sosial dan ekonomi.

 

Menurutnya, yang diperlukan oleh kita semua dalam menghadapi masalah pornografi adalah sikap dewasa untuk melihat permasalahannya secara jernih tanpa emosi yang berlebihan. Pornografi harus dipandang dari spektrum yang lebih luas, yaitu sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dewasa ini yang memang patut dipertanyakan moralitasnya, setelah mengalami proses pembangunan dan proses transformasi nilai.

 

Banyak ahli mengakui bahwa batasan atau persepsi suatu masyarakat mengenai pornografi berbeda-beda dan berubah-ubah mengikuti tempat dan waktu. Batasan yang tidak abadi mengenai pornografi hanya ditemukan dalam norma-norma agama. Bagi Neng yang beragama Islam, misalnya, ia berpendapat bahwa pengertian pornografi menurut syariat Islam berlaku secara universal, sepanjang masa, dan sampai hari kiamat kelak.  

 

Lebih jauh Sumartono menganggap, adalah sangat tidak adil bila di satu pihak kita memerangi pornografi, tetapi di lain pihak kita membiarkan terjadinya praktek KKN berlangsung di mana-mana. Juga tidak adil apabila kita memerangi pornografi yang berasal dari dalam negeri, tetapi menutup mata terhadap materi pornografi yang berasal dari luar negeri.

 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pornografi di internet sudah tak bisa dibendung. Ruang maya yang belum mampu dijangkau hukum ini sudah sejak lama dijadikan medium untuk menyebarluaskan pornografi. Tidak terkecuali di Indonesia. Bagaimana menjerat para pelaku pornografi di internet, belum ditemukan jawabannya hingga sekarang.

 

Seperti dikatakan Jalaludin Rakhmat dan Sumartono, masalah pornografi bukanlah masalah hukum an sich. Namun, pornografi meliputi spektrum yang lebih luas lagi, sosial, ekonomi, budaya masyarakat, dan bahkan teknologi. Oleh sebab itu, memberantas pornografi lewat regulasi mungkin hanyalah sebagian dari upaya yang bisa dilakukan untuk membatasi peredarannya di masyarakat.

 

Selagi masyarakat masih menyukai bacaan atau tayangan yang menyuguhkan breast dan blood, maka para pengusaha akan terus menyajikan hidangan itu. Berbicara soal pengusaha pasti menyinggung pula soal tenaga kerja yang hidup dari bisnis tersebut.

 

Belajar dari kasus di AS, mati-hidupnya (bisnis) pornografi akan lebih banyak ditentukan oleh masyarakat sendiri. Karena itulah, barangkali cara efektif untuk memberantas pornografi adalah memikirkan cara bagaimana agar masyarakat tidak menyukai dan membenci pornografi. Atau, setidaknya membatasi akses masyarakat dari hal-hal yang berbau pornografi, apapun bentuknya.

 

Tidak cuma menakut-nakuti dengan ancaman pidana. Mereka yang tahu bahwa pornografi merugikan, tidak akan membelinya. Semakin banyak masyarakat yang menyadari bahaya pornografi, berarti ancaman kebangkrutan bagi para pengusaha dengan otak cabul.

 

Meregulasi pornografi tanpa memperhatikan segala aspeknya -- hukum, agama, sosial, ekonomi, teknologi -- dikhawatirkan akan berujung pada kemubaziran. Kita semua tentu tidak mau jika UU Anti Pornografi nantinya hanya menjadi "macan kertas". 

Halaman Selanjutnya:
Tags: