Jurus Sakti DJI Membuat Kreditur Gigit Jari
Fokus

Jurus Sakti DJI Membuat Kreditur Gigit Jari

PT. Danareksa Jakarta Internasional mungkin kehabisan fulus untuk melunasi tumpukan hutangnya. Namun, yang pasti mereka tak kehabisan akal untuk merangkai jurus untuk menghindar dari kejaran para krediturnya. Beruntung, 'jurus sakti' mereka direstui pengadilan.

Oleh:
Tri
Bacaan 2 Menit
Jurus Sakti DJI Membuat Kreditur Gigit Jari
Hukumonline

Larangan DJI memperoleh pinjaman luar negeri ini diputuskan ketua Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Luar Negeri (PKLN) Saleh Afif, pada 8 Nopember 1995. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Presiden Direktur DJI, Afif mengemukakan bahwa DJI hanya diperkenankan memperoleh pinjaman luar negeri sebesar US$20 juta,.

Untuk menyiasati surat keputusan PKLN tersebut, menurut majelis hakim, para  kreditur, khususnya tergugat 6 yaitu, Schroder Internasional Merchant Bankers Ltd, selaku facility agent para tergugat telah melakukan rekayasa perjanjian, sehingga perjanjian yang dibuat tersebut adalah perjanjian bohong.

Misalnya saja, Schroder mengusulkan pendirian perusahaan Eastglobe Limited, guna mengalirkan pinjaman dari para kreditor kepada DJI melalui perjanjian Transferable Loan Facility Agreement. Selanjutnya, melalui perusahaan yang didirikan di British Virgin Islands inilah uang senilai US$180 dialirkan dari para kreditor kepada DJI.

Selain mengabulkan petitum pembatalan perjanjian, majelis hakim dalam amar putusannya juga mencabut kewenangan para tergugat untuk mencairkan rekening penggugat di Bank HSBC. Para tergugat juga mesti mengembalikan dana yang pernah dicairkan dan membayar kerugian pajak sebesar US$ 3,3 juta.

Putusan aneh

Hotman Paris Hutapea, yang menjadi kuasa hukum DJI menyambut gembira putusan ini. Baginya, pelanggaran Keppres No.39/1991 adalah dosa yang tak termaafkan. Apalagi, ia menengarai, ada motif lain di balik pengucuran pinjaman ke DJI ini. Mereka mau untung besar, semakin besar pinjaman untung semakin besar. Makanya dibuat akal-akalan supaya bisa kasih pinjaman AS$180 juta,tukas Hotman kepada hukumonline.

Sebaliknya, pertimbangan majelis hakim ini dianggap aneh oleh kuasa hukum  kreditur DJI. Feizal Syahmenan, salah seorang kuasa hukum dari beberapa kreditur, mengungkapkan bahwa soal isu pelanggaran PKLN seharusnya menjadi tanggung jawab DJI. "Sejak awal DJI selalu mengatakan bahwa masalah PKLN sudah selesai. Jadi kalau sekarang persoalan PKLN dipersalahkan kepada para tergugat, tentu tidak fair," papar Feizal.

Bahkan, untuk memperkuat selesainya masalah PKLN ini, para kreditur juga telah meminta jaminan DJI. Misalnya saja, dalam kontrak DJI menjamin masalah PKLN sudah selesai. Sehingga pada Pasal  7 sub (A) paragraf 13 Note Purchase Agreement (NPA) disebutkan bahwa DJI menyatakan telah memenuhi semua syarat ketentuan Keputusan Presiden (Keppres) No. 39/1991. Termasuk, soal penyerahan dan pemberitahuan serta pelaporan kepada TOCL dan Bank Indonesia (BI) sehubungan dengan perjanjian ini, surat promes dan dokumen jaminannya.

Nah, Faisal mengatakan, kalau memang pengadilan menganggap perjanjian itu melanggar hukum, karena bertentangan dengan Keppres 31/1991 maka yang dipersalahkan bukan kreditor tapi DJI, atau kedua-duanya (DJI dan krediturnya). "Tanggung jawab pelanggaran itu ada pada dua-duanya. Itu pun seandainya konstruksi berpikir hakim kita anggap benar," tegas Feizal.

Namun yang mengherankan lagi, lanjut Feizal, mengapa pengadilan Indonesia bisa-bisanya menyatakan berwenang memeriksa perkara yang diajukan DJI. Padahal, segala perjanjian yang tercantum pada Transferable Loan Facility Agreement secara tegas menyebut tunduk pada ketentuan hukum negara Singapura.

Dalam putusannya, majelis hakim PN Jaksel sama sekali tidak mempertimbangkan soal masalah kompetensi. Bahkan tidak satupun bukti maupun pertimbangan hukum yang diajukan para tergugat yang dipertimbangkan majelis. "Saya enggak tahu apa yang terjadi. Tapi, yang pasti semua pertimbangan hakim adalah apa yang diajukan penggugat," ungkapnya.

Selain persoalan pembatalan perjanjian, putusan majelis hakim lanjut Feizal juga tidak memberikan ketegasan mengenai konsekuensi atas pembatalan perjanjian. Dalam putusannya, majelis hakim hanya menyatakan tidak sah serta tidak berkekuatan hukum perjanjian Transferable Loan Agreement beserta semua perjanjian/ dan dokumen terkait.

Padahal, kalau pengadilan menyatakan perjanjian dianggap tidak sah, seharusnya  pengadilan juga memerintahkan mengembalikan semua pada keadaan semula. Artinya, perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan uang yang telah dipinjamkan para kreditor harus dikembalikan DJI.

Hal senada juga diungkapkan corporate lawyer dari Hadinoto, Hadiputranto and Partner (HHP), Daniel Ginting. Menurut Daniel, seharusnya kalau memang pengadilan membatalkan perjanjian yang dibuat kreditur dengan DJI, maka pengadilan seharusnya memerintahkan kedua belah pihak mengembalikan keadaan seperti semula. Artinya, DJI harus mengembalikan uang yang dipinjamnya. "Karena faktanya DJI pinjam uang. Buktinya, ya gedung BEJ itu," ucap Daniel.

Hotman Paris dikonfirmasi soal pengembalian kembali hutang DJI, tidak banyak memberikan komentar. Ia hanya mengatakan bahwa putusan pengadilan tidak pernah memerintahkan DJI tidak harus membayar hutangnya. "Tapi kalau sekarang ditanya apakah DJI harus mengembalikan hutangnya, ya tanya sama DJI," kilahnya.

Pelanggaran administratif

Sebelum kasus DJI muncul, persoalan pinjaman komersial luar negeri memang banyak mendapat sorotan banyak pihak. Khususnya, menyangkut peran pemerintah  dalam menentukan sejauh mana penegakan Keppres No. 31/1991 dari setiap pinjaman luar negeri. Apakah pelanggaran terhadap Keppres No. 31/1991 secara otomatis membatalkan perjanjian hutang piutang yang telah ada?

Prof. D. Sidik Suraputra, Guru Besar Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI, dalam sebuah tulisannya di majalah Hukum dan Pembangunan menyatakan, keberadaan Keppres No. 31/1991 sebenarnya ditujukan hanya untuk mengkoordinasikan pengelolaan pinjaman luar negeri. Hal ini penting untuk mengawasi agar tidak kerawanan posisi neraca pembayaran.

Namun, menilik lebih jauh Keppres No. 31/199, yang merupakan perangkat hukum yang menggantikan Keppres 59/1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri, sama sekali tidak memberikan ketegasan sanksi terhadap pelanggaran atas Keppres. Sehingga sanksi yang ada, terkesan hanyalah berupa sanksi administrasi.

Misalkan saja, pelanggaran terhadap kewajiban pelaporan para peminjam dana luar negeri kepada Badan Analisa Keuangan dan Moneter Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Menurut Sidik, tidak ada sanksi yang keras dan tegas terhadap pelanggaran kewajiban pelaporan tersebut.

Begitu juga terhadap pelanggaran keputusan ketua PKLN, seorang praktisi hukum transaksi internasional yang berkantor di bilangan Sudirman mengatakan bahwa pelanggaran terhadap keputusan ketua PKLN, sama derajatnya dengan pelanggaran kewajiban pelaporan terhadap pinjaman dana-dana luar negeri.

Sehingga, Hafzan Taher, pengacara dari kantor Soemadipradja and Taher kepada  hukumonline, pernah menandaskan bahwa pelanggaran terhadap keputusan ketua PKLN hanyalah pelanggaran administrasi, dan tidak menyebabkan pembatalan perjanjian.

Soal pelanggaran terhadap ketentuan pinjaman luar negeri, sudah ada tiga keputusan Mahkamah Agung (MA). Pada perkara Charterd Bank Singapore Vs. Lim Poh Hock , Eddy Rahman dan Ngo Pit Cheong, dari tingkat Pengadilan Negeri sampai keputusan MA memutuskan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pinjaman luar negeri dinyatakan batal demi hukum. Sehingga perjanjian hutang piutang dan turunannya dinyatakan batal.

Namun dalam perkara PT. Starlight Thermoplas Vs. Bank Amerika, San Fransisko, maupun pada perkara PT. Indokaya Motor Vs. Marubeni Corporation, MA menyatakan bahwa pelanggaran ketentuan pinjaman luar negeri hanyalah bersifat administrasi, sedangkan terhadap perjanjian hutang piutangnya sendiri tidak ada akibat hukum.

Hal yang lumrah

Perkara DJI dan para krediturnya yang berlangsung hampir dua tahun. Perang keduanya mulai memanas dan akhirnya berlanjut ke meja hijau, tatkala para kreditur langsung menguasai dan mengambil uang yang ada dalam rekening jaminan  (escrow account). Para kreditur berdalih, karena sejak Oktober 1998, DJI tak kunjung juga membayar cicilan hutang beserta bunganya (default), mereka berhak untuk mengeksekusi rekening tersebut.

Segera, sejak mereka menguasai rekening jaminan, para kreditur langsung menggunakan sejumlah rekening DJI di The Hong Kong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC). Selama periode 21 Desember 1999 sampai 3 Oktober 2001, para tergugat menggunakan dana yang ada dalam escrow account sebagai bentuk cicilan DJI atas kewajiban hutangnya.

Langkah kreditur inilah yang dikecam oleh DJI. Menurut Hotman, tindakan itu tak dapat dibenarkan lantaran sejumlah rekening bank itu milik mereka. Dana yang ada dalam rekening itu, menurut Hotman, hanya sebagai jaminan, bukan alat pembayaran. Dan DJI bukalah debitur mereka," ujar pengacara spesialis kepailitan ini.

Dia menambahkan, akibat kreditur mengeksekusi escrow account secara semena-mena, DJI mengalami kerugian. Akibat penggunaan dan penguasaan dana DJI di HSBC itu, lanjut Hotman, kliennya tak dapat membayar segala kebutuhannya.

Jangankan untuk maintenance gedung, bahkan untuk membayar pajak, para kreditur pun tidak memberi izin. Ujung-ujungnya, DJI harus menanggung beban keterlambatan bayar pajak sebesar US$ 3,39 juta. Sehingga, total kerugian mencapai US$49,849,827 juta.

Namun Feizal menegaskan, kasus ini sebenarnya sederhana. Menurut dia, lumrah kalau orang tidak membayar hutang yah ditagih. Dan karena DJI itu sudah memberikan jaminan terhadap hutang Eastglobe, maka ketika hutang jatuh tempo, para kreditur bisa menagih kepada DJI. "Nah karena sekarang uang pinjaman sudah menjadi gedung, maka seyogyanya gedungnya itu dibalik nama saja menjadi milik kreditur," tukas Feizal.

Kasus DJI Vs. 58 krediturnya, sebenarnya berawal dari pemberian pinjaman sindikasi dari 42 lembaga keuangan internasional. Diantara kreditur itu tercatat Bank of Taiwan, Bank BNI Cabang Taiwan, Peace Bank of Korea, Far Eastern International Bank, Bank of Overseas China, Daedong Bank Limited, dan Bank Artha Graha.

Sekitar tahun 1994, mereka melihat suku bunga rupiah amat tinggi. Maka, untuk membangun proyek gedung Bursa Efek Jakarta, mereka menawarkan pinjaman kepada DJI sebesar US$ 180 juta.

Tapi sayang, para kreditur yang sudah membayangkan keuntungan dari pinjaman hutang, malah ketimbang pulung. Pengadilan akhirnya membatalkan seluruh perjanjian, serta menghukum para kreditor mengembalikan uang kepada DJI di rekening escrouw account-nya. Inilah kesaktian DJI menekuk para kreditornya.

Hukumonline juga telah memperoleh konfirmasi, terhadap putusan PN Jaksel, para kuasa hukum kreditur sudah mengajukan upaya hukum banding  pada 5 September lalu. Jadi sekarang kita tunggu saja babak lanjutan perseteruan perkara DJI di Pengadilan Tinggi. Siapa nanti yang lebih sakti?

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memutuskan untuk mengabulkan hampir seluruh gugatan PT. Danareksa Jakarta International (DJI) terhadap 58 kreditor asingnya. Termasuk, mengabulkan petitum DJI dengan membatalkan seluruh perjanjian hutang piutang (transferable loan Facility Agreement) beserta perjanjian turunannya.

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim yang diketuai Bachtiar AMS, mengemukakan, pengadilan membatalkan perjanjian tersebut karena bertentangan secara hukum dan tidak ada kejelasan. Selain itu, majelis menuding ada persekongkolan yang dibuat para kreditur ketika membuat perjanjian dengan cara melakukan perbuatan melawan hukum.

Persekongkolan melawan hukum yang dimaksud majelis adalah, lahirnya perjanjian sindikasi yang bertentangan dengan peraturan di Indonesia, yaitu Keppres No. 39/1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Luar Negeri. Pasalnya, DJI hanya diperkenankan memperoleh pinjaman komersial luar negeri sebesar US$20 juta. Tapi, kenyataannya uang yang dipinjamkan oleh kreditur-kreditur DJI untuk membangun Gedung Bursa Efek Jakarta , besarnya US$180 juta.

Tags: