Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Bisa Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Utama

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Bisa Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Dalam sosialisasi UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi terungkap sejumlah masalah yang pengaturannya tidak jelas. Mulai dari masalah yang sifatnya teknis, sampai yang mendasar seperti bisa-tidaknya Komisi Pemilihan Umum menjadi pihak dalam Mahkamah Konstitusi

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Bisa Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Hukumonline
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus sengketa hasil pemilihan umum. Pihak mana saja yang bisa menjadi pemohon dalam sengketa tersebut diatur secara jelas dalam pasal 74 ayat (1) UU No.24/2003. Sedangkan, mengenai kapan permohonan tersebut diajukan, menurut pasal 74 ayat (3), adalah paling lambat 3 x 24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional.

Kedudukan KPU dan BI

Sejumlah ketidakjelasan pengaturan lainnya diungkapkan pula oleh narasumber lainnya. Salah satu hakim konstitusi, Prof. H.A.S. Natabaya, mempertanyakan apakah KPU bisa menjadi pihak dalam MK. Pasalnya, menurut Natabaya, hingga kini masih ada perbedaan pendapat diantara ahli hukum tentang apakah KPU dapat digolongkan sebagai lembaga negara sesuai Amandemen UUD 1945.

Menurut Natabaya, lembaga negara yang secara jelas diatur dalam UUD 45 antara lain MPR, DPR, DPD, Presiden/Wapres, BPK, bank sentral, dan Komisi Yudisial. Meski begitu, Natabaya tidak menjelaskan secara tegas apakah dengan demikian berarti Bank Indonesia (BI) dapat menjadi pihak dalam MK.

Terkait dengan UU No.24/2003, kedudukan KPU dan BI dapat dikatakan senasib. Berbeda dengan enam lembaga negara lainnya, nama keduanya tidak disebutkan secara tegas dalam konstitusi. Nama atau eksistensi kedua lembaga itu disebutkan secara tersirat masing-masing dalam Pasal 22E ayat (5) dan Pasal 23D.

Tabel: Kedudukan KPU dan BI dalam UUD 1945 (Amandemen)

Lembaga

Ketentuan dalam UUD 1945

KPU

Pasal 22E

(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

BI

Pasal 23D

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independesinya diatur dengan undang-undang.

                   Sumber: Pusat Data Hukumonline

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM Abdul Gani Abdullah menyampaikan paparan seputar kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 45 (judicial review). Ia menggarisbawahi bahwa judicial review bukan saja meliputi uji materil, tapi juga uji formil.

Gani menjelaskan bahwa implikasi yuridis dari putusan MK yang menyatakan bagian tertentu dari undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 adalah bagian tertentu dari undang-undang tersebut menjadi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sedangkan, jika dalam amar putusan MK menyatakan bahwa prosedur pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan berdasarkan UUD 1945, maka undang-undang tersebut secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketua Tim Verifikasi Partai Politik Departemen Kehakiman dan HAM Oka Mahendra mengatakan bahwa ketentuan mengenai batas waktu pengajuan permohonan tentang hasil pemilu itu menimbulkan kebingungan. Pasalnya, UU No.23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menentukan batas waktu yang berbeda dari yang ditentukan oleh UU No.24/2003.

Oka menyebutkan bahwa di pasal 68 ayat (1) UU No.23/2003 pengajuan keberatan atas penetapan hasil pemilu Presiden/Wapres diajukan dalam waktu tiga hari setelah penetapan hasil pemilu oleh KPU.

"Dalam praktek nanti perbedaan perumusan ini dapat menimbulkan persoalan mengenai batas waktu paling akhir untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi. karena masing-masing ketentuan Undang-undang tersebut akan menghasilkan perhitungan yang berbeda," kata Oka yang berbicara dalam Sosialisasi UU No.24/2003 di gedung Departemen Kehakiman dan HAM (18/09).

Namun, Oka berpendapat bahwa perbedaan ketentuan tersebut bisa diatasi dengan menerapkan asas lex spesialis derogat lex generalis, atau, atas undang-undang yang terbaru (asas lex priori derogat lex posteriori). Selain itu, menurut Oka, dapat juga melalui yurisprudensi yang diciptakan oleh MK.

Terlepas dari perbedaan ketentuan dalam dua undang-undang itu, ternyata masih terdapat ketidakjelasan lagi soal pengajuan keberatan mengenai penetapan hasil pemilu. "Kedua ketentuan Undang-undang tersebut tidak menjelaskan apakah jangka waktu yang ditentukan tersebut merupakan hari kerja," cetus Oka. Demi kepastian hukum, menurut Oka, MK perlu mempertegas hal itu dalam peraturan yang akan dibuat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: