Untuk Memperjelas Hubungan dengan BPN, IPPAT Usulkan RUU PPAT
Utama

Untuk Memperjelas Hubungan dengan BPN, IPPAT Usulkan RUU PPAT

Mencermati kondisi obyektif yang ada, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah memandang perlu keberadaan undang-undang yang mengatur profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah. Melalui undang-undang itu, kelak PPAT akan dikembalikan pada proporsi yang sebenarnya.

Oleh:
Tri
Bacaan 2 Menit
Untuk Memperjelas Hubungan dengan BPN, IPPAT Usulkan RUU PPAT
Hukumonline

Pernyataan bernada harapan itu terungkap dalam Kongres ketiga Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) di Hotel Horizon, kawasan Ancol Jakarta, Selasa (23/09). "Fungsi PPAT sebenarnya hanyalah pejabat pembuat akta otentik sebagai alat bukti di persidangan. Dan itu akan menjadi rekomendasi kami dalam Kongres IPPAT yang ketiga," ujar Ketua Umum IPPAT Wawan Setiawan kepada hukumonline.

Untuk memuluskan rencana tersebut, Wawan mengaku sudah menyerahkan draf RUU PPAT ke berbagai lembaga negara. "Kami sudah menyerahkan rancangannya kepada  Komisi II DPR, Presiden. Bahkan kami sudah menyerahkan secara simbolis kepada Wapres Hamzah Haz," papar Wawan.

 

Dalam RUU tersebut, Wawan menjelaskan, nantinya pengertian PPAT akan diperjelas. Hal ini penting, mengingat sering terjadi masalah antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan PPAT. Masalah itu timbul antara lain karena adanya oknum-oknum BPN yang memandang jabatan PPAT itu sebagai bagian dari BPN.

 

"Apa dikira pekerjaan PPAT itu bagian dari unit pendaftaran BPN? PPAT dan BPN itu lain. PPAT itu bicara hubungan hukum horisontal antara para pihak. Sedangkan BPN menyangkut hubungan horisontal antara orang dengan tanahnya," jelas Wawan.  

 

Ditanya apakah keberadaan RUU PPAT akan berbenturan dengan RUU Notaris, yang juga diajukan Ikatan Notaris Indonesia (INI) ke DPR, Wawan menegaskan bahwa hal itu tidak menjadi masalah. Ia menjelaskan bahwa PPAT secara inheren bersatu dengan notaris.

 

Dua masalah PPAT

Pada kesempatan yang sama, Ketuai Dewan Kehormatan Pusat (DKH) IPPAT Anasrul Jambi juga membeberkan laporan pertanggungjawabannya. Dalam laporannya itu, Anasrul  mengklasifikasikan permasalahan PPAT yang timbul ke dalam dua kelompok besar.

 

Kelompok pertama, permasalahan yang ditimbulkan karena kurangnya pengetahuan sejumlah oknum PPAT dalam menjalankan tugas. Menurut Asrul, persoalan ini banyak disebabkan karena ketidakcukupan waktu para PPAT untuk mengikuti kerja praktek (magang) di kantor Notaris/PPAT.

 

Anasrul mencontohkan, masalah larangan penggunaan kuasa mutlak sesuai dengan Instruksi Mendagri No. 14 tahun 1982 yang tidak banyak dipahami. Dalam suratnya tersebut, Mendagri melarang adanya surat kuasa yang berisi berbagai macam tindakan hukum, setelah adanya penolakan BPN atas akta jual beli tersebut.

 

Sedangkan kelompok kedua, permasalahan yang timbul karena memang segaja dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan. Misalnya saja, banyak PPAT yang menyelenggarakan jual beli tanah dan bangunan meminjam nama rekan PPAT. Sehingga seakan-akan PPAT yang bersangkutan adalah PPAT yang mempunyai wilayah kerja dimana letak tanah itu berada.

 

Namun keruwetan timbul ketika ada masalah hukum. Dalam laporannya Anasrul sudah memberi dalil bahwa baik PPAT maupun yang meminjam nama dan yang menyelenggarakan akta jual beli, mereka dapat dikenakan tuntutan pidana sesuai dengan pasal 266 KUHP, yaitu memberikan keterangan palsu ke dalam akta, dengan ancaman maksimum tujuh tahun penjara.

 

Berdasarkan data BPN sudah tercatat sekitar 6000 orang PPAT yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebanyak 2000 PPAT tercatat sebagai anggota IPPAT. Selain notaris, pejabat lain yang juga tercatat sebagai  PPAT adalah camat.

Tags: