Lotulung: PPAT Profesi Bebas, Bukan Pejabat Publik
Utama

Lotulung: PPAT Profesi Bebas, Bukan Pejabat Publik

Meskipun banyak bersinggungan dengan kepentingan masyarakat dan pemerintah, profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak masuk ke dalam lingkup pejabat publik. Untuk itu, produk yang dihasilkan PPAT, yang berbentuk akta, tidak bisa disengketakan ke dalam peradilan tata usaha negara.

Oleh:
Tri
Bacaan 2 Menit
Lotulung: PPAT Profesi Bebas, Bukan Pejabat Publik
Hukumonline

 

Selain itu, akta jual beli yang dibuat PPAT dilihat secara hukum merupakan akta bilateral, dua pihak. Lain halnya terhadap akta yang diterbitkan oleh pejabat publik, yang selalu bersifat unilateral. "Dari ciri-ciri itu, tidak satu pun kualifikasi pejabat publik melekat di PPAT. Kecuali kompleksitas penamaan PPAT, yang selalu dikonotasikan sebagai pejabat," ucap Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara itu.

 

Koreksi MA

Untuk menindaklanjuti kejelasan posisi PPAT, Paulus menerangkan bahwa rapat kerja Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan untuk melakukan koreksi terhadap berbagai putusan pengadilan. Bahkan MA sendiri sudah menegaskan bahwa PPAT tidak bisa digugat di PTUN.

 

"Tapi PPAT harus juga hati-hati, meskipun  PPAT tidak bisa digugat di PTUN bukan berarti PPAT kebal hukum. PPAT tetap bisa digugat di pengadilan negeri, tentu atas dasar perbuatan melawan hukum," papar Paulus.       

 

Hal senada juga dikemukakan Direktur Perundang-undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani Abdullah. Ia menjelaskan, keberadaan PPAT secara yuridis tidak mempunyai hubungan langsung dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

 

"Secara institusional BPN hanya menyusun kebijakan pertanahan nasional. Sedangkan peran PPAT hanya pemberian bukti otentik dan berakhirnya hubungan hukum antara para pihak dalam transaksi pertanahan," tegas Abdul Gani yang juga menjadi pembicara.

 

Namun soal keberadaan PPAT, Abdul Gani mengatakan, ia lebih setuju kalau keberadaan PPAT diintegrasikan kedalam tugas kenotariatan. Oleh itu, lanjut Abdul Gani, agar lebih tepat dan efisien pemerintah memasukkan peran PPAT ke dalam RUU Jabatan Notaris yang sedang diselesaikan pemerintah. "Ini untuk merespon kondisi empirik yang ada," tuturnya.

 

Ketua Umum IPPAT Wawan Setiawan, menyambut baik inisiatif pemerintah. khususnya menyangkut posisi PPAT. Ia menegaskan bahwa hal ini penting, mengingat sering terjadi masalah antara BPN dan PPAT. Biasanya masalah timbul, karena oknum-oknum BPN memandang jabatan PPAT bagian dari BPN.

 

Menurut Ketua Muda Mahkamah Agung Paulus Effendi Lotulung, salah kaprah kalau PPAT dikatakan sebagai pejabat publik. Ia menjelaskan, tidak ada satupun asas dalam TUN yang bisa mengkualifikasikan PPAT sebagai pejabat publik. "Sesungguhnya PPAT merupakan profesi bebas," ujar Paulus, dalam sebuah diskusi yang digelar Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), di Jakarta, Selasa (23/09).

 

Argumentasi teoritis ini, lanjut Paulus merujuk pada Undang-Undang No. 5/1986 tentang Peradilan TUN. Menurut Undang-Undang, ciri-ciri penguasa hukum publik antara lain memiliki kewenangan memaksa orang lain, ada hubungan hirarki (subordinat). Untuk itu muncul pertanyaan, apakah PPAT mempunyai kewenangan memaksa.

 

Lotulung menjelaskan tugas pokok seorang PPAT adalah menerbitkan akta, misalnya pembuatan akta peralihan jual beli tanah. Penerbitan akta ini merupakan bagian dari rangkaian pendaftaran tanah yang merupakan perbuatan publik. "Tapi membuat akta itu sendiri merupakan suatu perbuatan perdata. Jadi, semuanya tergantung kesediaan para pihak ketika melakukan transaksi jual beli tanah," tuturnya.

 

Ciri pejabat publik lainnya adalah adanya hirarki jabatan.  Paulus tidak melihat adanya hubungan hirarki dalam PPAT. Ia mencontohkan jabatan camat yang juga merangkap sebagai PPAT. Meskipun camat adalah PPAT, tapi ketika camat mengenakan "baju" PPAT, Walikota maupun bupati tidak bisa campur tangan ketika lahir sebuah akta.

Halaman Selanjutnya:
Tags: