Perjuangan Panjang Mencari Rehabilitasi Diri
Fokus

Perjuangan Panjang Mencari Rehabilitasi Diri

Ketika Hersri Setiawan meluncurkan buku berjudul "Aku Eks Tapol" pada Kamis (23/08) pekan lalu, salah seorang kawannya sesama tapol yang pernah mendekam di Pulau Buru mengajukan protes pada Hersri. Kawan itu, Gorma Hutajulu memprotes judul buku yang Hersri yang mencantumkan kata eks tapol.

Oleh:
Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit
Perjuangan Panjang Mencari Rehabilitasi Diri
Hukumonline

Menurut Gorma,  sampai saat ini, ia masih merasa sebagai tahanan politik (tapol), bukan eks tapol. Pasalnya, saat ini pun para eks tapol masih tidak memiliki hak untuk dipilih, walaupun memiliki hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum.

Sampai saat ini, diskriminasi terhadap eks tapol dan keluarganya memang belum sepenuhnya berakhir. Selain tidak dapat dipilih dalam Pemilihan Umum, para eks tapol juga tidak dapat memperoleh KTP seumur hidup yang lazimnya diberikan pada warga negara berusia di atas 60 tahun. Bagi eks tapol, mereka harus memperpanjang KTP setiap tiga tahun.  Hal ini tertera dalam Kepmendagri N0 24 Tahun 1991.

Diskriminasi yang tak kunjung berakhir inilah yang menjadi salah satu alasan para korban 1965, antara lain eks tapol dan keluarganya, masih terus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan rehabilitasi.

Surat MA

Kalau Presiden Megawati sempat meneliti surat-surat yang diterimanya dalam beberapa bulan terakhir, ia akan menemukan paling tidak tiga buah surat dari tiga lembaga. Isi ketiga surat itu hampir serupa, yaitu meminta Presiden agar merehabilitasi para korban G.30.S.

Surat pertama tertanggal 12 Juni 2003 berasal dari Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. Dalam surat bernomor KMA/403/VI/2003 itu, Bagir menyatakan bahwa MA banyak menerima surat dari berbagai kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai korban orde baru dan mengharapkan untuk memperoleh rehabilitasi.

"Dengan dilandasi keinginan untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan status dan harkat mereka sebagai warga negara yang sama, serta didorong oleh semangat rekonsiliasi bangsa kita, maka Mahkamah Agung dengan ini memberikan pendapat dan mengharapkan kesediaan saudara presiden untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah-langkah konkrit ke arah penyelesaian tuntutan yang sangat diharapkan tersebut," tulis Bagir dalam surat, yang salinanannya diperoleh hukumonline.

Surat ketua MA itu juga melampirkan 10 surat permohonan rehabilitasi dari berbagai kelompok masyarakat korban Orde Baru. Berdasarkan amandemen pertama pasal 14 ayat 1 UUD 1945, presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.  Patut dicatat bahwa sebelum mengirimkan surat ke Presiden, Bagir Manan pernah bertemu dengan para korban, pada 11 Maret 2003.

Surat dari lembaga tertinggi di bidang pengadilan itu mendapat respon positif dari para korban. Gustav Dupe, salah seorang korban, menilai surat MA itu sebagai 'angin baru bagi perjuangan untuk pemulihan atau rehabilitasi hak-hak sipil dan politik'.

Surat berikutnya  berasal dari Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, tertanggal 25 Agustus 2003. Dalam surat itu, Komnas mendorong Presiden Megawati untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah nyata untuk memenuhi tuntutan para korban G 30 S PKI untuk memperoleh rehabilitasi.

Komnas HAM juga mengajukan beberapa pertimbangan mengapa Komnas mendorong pemberian rehabilitasi bagi korban G 30 S PKI. Antara lain, para korban tidak pernah diputus bersalah oleh pengadilan dan sudah terlalu lama menanggung beban penderitaan sebagai akibat perlakuan yang diskriminatif oleh rezim orde baru. Selain itu, anak cucu mereka juga harus menanggung beban dosa politik secara turun menurun, padahal mereka tidak mengetahui sama sekali peristiwa tersebut.

Menurut Komnas, perlakuan diskriminatif serta pembebanan dosa kolektif terhadap keturunan mereka tersebut merupakan tindakan yang tidak adil dan melanggar HAM. Untuk itu, pemerintah harus dengan segera memberikan rehabilitasi dan kompensasi agar mereka dapat menikmati kehidupan mereka dengan tenang dan damai sesuai pasal 3 Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

"Pemberian rehabilitasi terhadap para korban G.30.S tersebut adalah untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan harkat dan martabatnya sebagai warga negara Indonesia yang sama kedudukannya di muka hukum dan pemerintahan, dan dalam rangka terciptanya rekonsiliasi nasional bagi penyelesaian permasalahan HAM," tulis Abdul Hakim dalam surat tersebut.

Surat lain berasal dari DPR-RI, tertanggal 25 Juli 2003, yang meneruskan aspirasi Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965 yang datang ke DPR, meminta DPR mendesak presiden menggunakan hak prerogatifnya untuk melakukan rehabilitasi terhadap korban peristiwa 1965 beserta keluarganya dan memulihkan hak-hak korban dan mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai warga negara yang telah dirampas tanpa melalui proses hukum.

Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965 merupakan gabungan dari 12 organisasi yang memberikan advokasi untuk rehabilitasi terhadap korban tahun 1965.    

Lahirnya surat dari tiga lembaga di atas memang tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para korban yang tergabung dalam beberapa perkumpulan. Misalnya, Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, Tim Advokasi/Rehabilitasi Polri, Forum Komunikasi eks-Menteri Kabinet Dwikora, Korban Penyalahgunaan Surat Perintah 11 Maret 1965, Tim Advokasi untuk Rehabilitasi eks-anggota TNI/AL, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM, Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965,  Yayasan Penelitian Korban pembunuhan 1965-1966, Tim Advokasi Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU) dan lain-lain.

Nani Nurani

Namun, selain upaya rehabilitasi oleh korban yang dilakukan melalui perkumpulan-perkumpulan korban, ada pula upaya yang dilakukan oleh masing-masing individu. Yang paling gres adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Juli 2003 yang mengabulkan gugatan Nani Nurani terhadap Camat Koja, Jakarta Utara.

Majelis hakim PTUN memenangkan  Nani selaku penggugat dan menyatakan tidak benar tindakan yang dilakukan Camat Koja, Jakarta Utara, yang menolak membuatkan KTP seumur hidup bagi Nani hanya karena tuduhan yang bersangkutan terlibat organisasi terlarang.

Majelis berargumen bahwa sesuai fakta yang terungkap di persidangan, hingga kini belum ada satu pun putusan pengadilan yang menyatakan Nani terlibat PKI atau organisasi terlarang lainnya. Hakim mengutip asas hukum: seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan menyatakan demikian.

Nani merupakan seorang eks tapol yang ditangkap dan mulai ditahan pada 21 Desember 1968. Ia baru dilepas tujuh tahun kemudian. Ironisnya, Ny Nani tidak mengetahui sama sekali apa kesalahan yang telah ia lakukan karena tuduhannya tidak pernah diperiksa atau dibuktikan lewat pengadilan.

Ia tersandung cap "kiri" karena pernah berprofesi sebagai penari klasik Sunda dan penyanyi tradisional Cianjuran di Istana Cipanas. Saat itu, ia juga tercatat sebagai pegawai Dinas Kebudayaan Dati II Cianjur.

Tuduhan "kiri" menguat karena Ny Nani ikut menari pada hari ulang tahun PKI pada Juni 1965 di sebuah gedung pertemuan di Cianjur. Padahal menurut Nani, profesi sebagai penari Pemda mewajibkan dirinya harus ikut berpartisipasi jika ada acara-acara resmi, apalagi yang dihadiri tamu dari luar.

Selain itu, para korban masa lalu itu pernah pula mengajukan gugatan terhadap sejumlah instansi pemerintah, antara lain Menko Polkam, Panglima TNI, Kapolri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun gugatan itu kandas di tengah jalan, majelis menolak gugatan penggugat.

Proses hukum

Witaryono S. Reksoprodjo, Koordinator Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965, berpendapat bahwa proses rehabilitasi tidak hanya penting bagi korban melainkan juga merupakan proses awal untuk rekonsiliasi. Rehabilitasi bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan diskriminasi yang masih terjadi.

Menurutnya, perlakuan diskriminasi timbul akibat masih banyaknya aturan, bahkan undang-undang, yang sangat diskriminatif. "Dalam UU Pemilu yang baru, korban 65 boleh memilih tapi tidak boleh dipilih. Jadi hanya menjadi komoditas politik, orang boleh milih tapi tidak bisa dipilih. Kemudian ada aturan Mendagri yang tidak membolehkan korban 65 jadi pengacara. Itu masih berlaku dan belum dicabut," tukas Witaryono.

Belum lagi perlakuan terhadap keluarga para korban, terutama di daerah. Anak korban tidak boleh menjadi tentara atau Pegawai Negeri Sipil. Persoalan diskriminasi ini, menurut Witaryono, bisa selesai jika dikeluarkan rehabilitasi terhadap para korban.

Tuntutan terhadap rehabilitasi biasanya juga dibarengi dengan tuntutan agar peristiwa tahun 1965 dibuka secara gamblang.  Esther Indahyani Jusuf, aktivis yang pernah membantu Yayasan Penelitian Korban 1965 menyatakan proses rehabilitasi tidak dapat dilakukan tanpa membongkar fakta yang terjadi pada peristiwa 1965 (Lihat Penggalian Korban '65 untuk Ungkapkan Fakta).

"Proses itu tidak bisa lompat, proses  harus tetap ada penyelidikan atas peristiwanya untuk menentukan bagaimana positanya (kasus posisi-red). Sehingga dari positanya, melalui proses hukum baru bisa ditentukan apa yang bisa direhabilitasi atau tidak," ujar Esther.

Rehabilitasi tanpa adanya proses hukum, menurut Esther merupakan proses yang lompat. "Mana  bisa melakukan rehabilitasi kalau kita sendiri tidak tahu apa yang harus direhabilitasi. Misalkan seorang mau direhabilitasi karena pernah dituduh melakukan pencurian, ternyata ia tidak melakukan pencurian, tapi bagaimana kita bisa menyatakan ternyata ia tidak mencuri. Tapi ia dianiaya karena telah melakukan suatu pencurian," lanjutnya.

Tergantung Presiden

Sementara, sejarawan dari LIPI, Asvi Warman Adam menilai surat dari MA kepada Presiden Megawati merupakan suatu hal yang sangat signifikan untuk proses rehabilitasi. Dengan adanya surat MA itu, kini terserah pada Presiden Megawati apakah mau memberikan rehabilitasi atau tidak. Apalagi MPR telah memberikan mandat untuk melakukan rehabilitasi terhadap Presiden Soekarno dan tokoh nasional lainnya.

Bahwa Presiden Megawati sampai saat ini belum juga menindaklanjuti surat dari MA, Asvi menduga Mega mempertimbangkan bahwa pemberian rehabilitasi pada korban 1965 akan mengecilkan hati kalangan Islam, misalnya.  Atau kalangan militer yang masih menyimpan ketakutan mereka akan diadili karena melanggar HAM.  

Asvi menyatakan ada dua hal menyangkut rehabilitasi, yaitu rehabilitasi nama baik dan rehabilitasi yang menyangkut kompensasi. Yang paling penting, menurutnya, adalah rehabilitasi nama baik. Soal kompensasi, ganti rugi dan semacamnya, itu bisa diperhitungkan kemudian, jika keuangan negara sudah mengijinkan.

Apa yang dikatakan Hersri, mungkin bisa menjadi gambaran. Lelaki yang menghabiskan waktu tujuh tahun di Pulau Buru ini mengatakan pemberian ganti rugi miliaran pun baginya tidak berarti. "Buat saya, pembodohan pada masyarakat Indonesia ini yang tidak bisa dimaafkan".

Ketika Hersri Setiawan meluncurkan buku berjudul "Aku Eks Tapol" pada Kamis (23/08) pekan lalu, salah seorang kawannya sesama tapol yang pernah mendekam di Pulau Buru mengajukan protes pada Hersri. Kawan itu, Gorma Hutajulu memprotes judul buku yang Hersri yang mencantumkan kata eks tapol.
Halaman Selanjutnya:
Tags: