Mendesak, Buku Pedoman Bagi Guru Sejarah
Asvi Warman Adam*

Mendesak, Buku Pedoman Bagi Guru Sejarah

Pada masa Orde Baru selama lebih dari 30 tahun, peristiwa 1965 diajarkan menurut versi tunggal. PKI adalah dalang kudeta berdarah tersebut. Namun setelah Soeharto jatuh, bermunculan berbagai versi yang berbeda. Versi tunggal pemerintah itu digugat. Berbagai tulisan ataupun komentar di seminar dan media massa elektronik, menyebabkan masyarakat bingung.

Bacaan 2 Menit
Mendesak, Buku Pedoman Bagi Guru Sejarah
Hukumonline

Semua orang boleh percaya bahwa buku itu akan menjadi panduan sejarah yang komprehensif. Tetapi, menurut hemat saya diperlukan waktu minimal 5 tahun untuk melaksanakannya sampai ke tahap cetak. Lagi pula, yang mendesak hari ini adalah pembahasan mengenai sejarah kontemporer khususnya periode pasca G30S/1965 bukanlah zaman purbakala jutaan tahun silam.

Suplemen masalah sejarah yang kontroversial

Karena pembuatan buku SNI atau buku teks sejarah untuk siswa itu memakan waktu, maka tahun 1999 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono menugaskan MSI untuk menyusun semacam panduan bagi guru sejarah dalam mengajarkan hal-hal yang kontroversial dalam sejarah kontemporer seperti "Lahirnya Pancasila", "Serangan Umum 1 Maret 1949", "Supersemar", "G3OS", "Integrasi Timor Timur".

Belum selesai dibuat oleh MSI, maka tahun 1999, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah sudah mengeluarkan "Pedoman Bahan Ajar Sejarah Bagi Guru SLTP dan SLTA. Setelah bab I Pendahuluan, maka "Serangan Umum 1 Maret 1949" menjadi bab II yang diikuti oleh bab III yang membahas G30S, Supersemar dan Awal Orde Baru". Masalah "Timor Timur" diulas pada bab IV yang merupakan bab terakhir pada pedoman tersebut.

Pembahasan masalah kontroversial Serangan Umum I Maret 1949 itu menjadi lebih kontroversial karena dijelaskan dengan cara kontroversial. Sultan HB IX tidak diakui sebagai konseptor melainkan semuanya itu adalah berkat siasat yang disusun oleh MBAD (Markas Besar Angkatan Darat).

Sebetulnya duduk perkaranya sangat sederhana. Pada era Soeharto dia yang dijadikan konseptor atau motor dari serangan gerilya itu. Tetapi bukti-bukti yang semakin tampak lebih jelas belakangan ini menunjukkan bahwa Sri Sultan XB IX yang menjadi konseptor tindakan tersebut, Soeharto hanya sekedar pelaku lapangan.

Perlu disusun Pedoman Pengajaran Sejarah

Diakui masih ada kendala dalam pelaksanaan bahan pengajaran sejarah di sekolah. Beberapa lembaga menangani masalah ini secara langsung atau tidak langsung. Pada Balitbang Depdiknas terdapat Pusat Kurikulum, Pusat Perbukuan dan Pusat Pengujian.

Seyogianya antar pusat pada badan yang sama ini terjalin koordinasi yang harmonis sehingga pembuatan materi pengajaran sejarah itu bisa berjalan optimal. Selain itu pada Menteri Kebudayaan dan Parawisata terdapat pula Direktorat Sejarah (kini menjadi Asdep Bidang Sejarah Nasional) yang mengelola penyusunan buku SNI (Sejarah Nasional Indonesia) melalui anggaran proyek.

Selain itu tentu di bawah Menteri Pendidikan Nasional terdapat Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah yang pada tahun 1999 telah menerbitkan 'Pedoman Bahan Ajar Sejarah bagi Guru SLTP dan SLTA'. Menurut saya minimal oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas ini dapat disusun Pedoman yang lebih lengkap mengenai aspek kontroversial dalam sejarah Indonesia kontemporer. Hal ini perlu dilakukan secepatnya mengingat tahun 2004 akan mulai diterapkan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi).

Sebaiknya jangan lagi menugaskan para sejarawan yang tahun 1999 lalu menghasilkan pedoman yang ternyata masih kontroversial.

Bagaimana mengatasi kebingungan guru dan siswa ? Bagaimana persoalan yang kontroversial dalam sejarah Indonesia dapat dijelaskan oleh guru kepada siswa di sekolah. Kenyataan, buku yang dipakai sekarang belum berubah. Pada buku I Wayan Badrika, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum, jilid 3 untuk SMU Kelas 3 (Jakarta, Erlangga, 2000) maupun pada buku CST Kansil, IPS Sejarah untuk SLTP kelas 3 (Jakarta, Erlangga, 1999) penjelasan mengenai G30S 1965 belum berubah.

Buku Standar

Pada era Orde Baru, SNI (Sejarah Nasional Indonesia) yang disunting oleh Nugroho Notosusanto yang terdiri dari enam jilid itu dijadikan buku pegangan atau buku "babon". Buku itu dianggap sebagai buku standar sungguh pun seorang sejarawan senior pernah menyebutnya sebagai "buku skandal". Berdasarkan buku SNI itulah dibuat buku teks yang dipergunakan di sekolah dan kurikulum sejarah.

Sejak dua tahun yang lalu telah dimulai upaya penulisan SNI (Sejarah Nasional Indonesia) oleh Direktorat sejarah yang berada di lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Parawisata. Kini Direktorat Sejarah itu menjadi Asdep II bidang Sejarah Nasional pada kementerian yang sama. Penulisan buku itu melibatkan banyak sejarawan dari Aceh sampai Papua, dari Sabang sampai Merauke. Buku itu cukup ambisius, terdiri dari 8 jilid, dari zaman purbakala, sampai jatuhnya Soeharto dan era reformasi tahun tahun 2000.

Jadi periodenya mencakup masa yang sangat panjang, ribuan bahkan jutaan tahun. Buku itu bukan revisi dari SNI lama yang dieditori oleh Nugroho Notosusanto, melainkan sama sekali ditulis baru. Diharapkan akan menjadi a comprehensive history of Indonesia (sejarah Indonesia yang komprehensif).

Menurut pengamatan saya yang dilakukan sekarang baru tahap bongkar pasang anggota tim dan pengumpulan bahan, meskipun sudah ada beberapa orang yang sudah menulis. Buku itu dibuat tanpa adanya TOR  (term of reference) secara umum yang bersifat tertulis. Pada buku SNI tahun 1975 terdapat TOR yang dirancang oleh Prof Sartono Kartodirdjo. Namun itu sekarang tidak dibuat karena dianggap akan menyebabkan para penulis terpaku kepada TOR.

Dengan ini diharapkan para penulis lebih bebas mengungkapkan jalan pikirannya. Tetapi ketiadaan TOR itu akan menyebabkan buku yang delapan jilid itu akan menjadi buku yang tidak jelas benang merahnya. Dengan demikian, sukarlah buku itu dimanfaatkan sebagai buku standar atau buku pegangan dalam bidang pendidikan atau pengajaran sejarah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: