Komisi Kebenaran, Mengapa Diperlukan?
Ifdhal Kasim*

Komisi Kebenaran, Mengapa Diperlukan?

Salah satu masalah pelik dan dilematis yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat transisi adalah menjawab tuntutan masyarakat atas kejahatan hak asasi manusia (gross violation of human rights) yang terjadi di bawah rezim sebelumnya. Apakah memilih jalan penghukuman, memaafkan atau melupakan?

Bacaan 2 Menit
Komisi Kebenaran, Mengapa Diperlukan?
Hukumonline

Mereka yang menjadi korbannya hingga saat ini masih terus menagih pertanggungjawaban dari negara. Makanya pemerintah saat ini, yang terpilih secara demokratis, berkewajiban melunaskan tanggung jawab yang belum ditunaikan oleh rejim sebelumnya itu, dengan mengadakan menginvestigasi, memeriksanya ke pengadilan, dan menghukumnya kalau (pelakunya) terbukti bersalah.

Kewajiban menangani kejahatan hak asasi manusia di masa lalu ini disebut dengan state duty to remember, yakni kewajiban negara untuk mengingat, bahwa pada kurun waktu tertentu, ia telah melakukan pelanggaran atas hak-hak warganya. Dengan memenuhi kewajiban ini sebenarnya negara dengan demikian telah memenuhi hak para korban untuk mengetahui (victim's right to know).

Dalam konteks menagih pertanggungjawaban masa lalu dan penataan norma bagi masa depan inilah KKR kita perlukan. Kita memerlukan penataan kembali tata moral' dan tata keadilan setelah dihancurkan di masa otoriterian tersebut. Pengadilan pidana tampak memiliki keterbatasan untuk mencapai tujuan ini, karena ia memang tidak didesain untuk tujuan tersebut. Tetapi bukan berarti KKR akan berfungsi sebagai pengganti pengadilan pidana. Bukan. Keduanya didesain dengan tujuan berbeda, tetapi keduanya bisa saling melengkapi (complementary). Apa yang tidak dapat dilakukan KKR dapat dilakukan oleh pengadilan pidana, dan begitu juga sebaliknya. Makanya kedua institusi ini tidak perlu dipertentangkan.   

Urgensinya bagi Indonesia

Dalam latar belakang seperti diuraikan di muka tampak menjadi urgen bagi Indonesia untuk segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Urgensinya bukan hanya untuk menjaga stabilitas demokrasi yang masih labil di masa transisi ini, tetapi juga memenuhi keadilan kepada masyarakat yang telah diberangus hak-haknya, terutama hak-hak korban. Dengan KKR,  kepastian mengenai apa yang menimpa mereka, untuk kepentingan apa itu dilakukan, sifat kejahatan itu, dan institusi-institusi yang terlibat potensial akan diperoleh. 

Makanya diperlukan pemeriksaan kembali serangkaian pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi pada kurun waktu rejim sebelumnya itu. Bukan saja karena pelanggaran-pelanggaran ini disangkal oleh rejim Orde Baru, tetapi juga karena pelanggaran ini telah menyebabkan polarisasi yang tajam di dalam masyarakat. Misalnya dengan membangun permusuhan antara masyarakat dengan membuat stigma seperti ekstrim kiri, ekstrim kanan, anti-Pancasila, dan seterusnya.

Masyarakat yang terkena stigma ini terkucilkan, dan seringkali menjadi sasaran kambing hitam bilamana terjadi aksi massa menentang suatu policy pemerintah ketika itu. Sebut saja kasus pembangunan waduk Kedungombo, Jawa Tengah, tahun 1985. Masyarakat yang menentangnya segera dituduh komunis dan anti-Pancasila, yang menyebab Makanya pemulihan hak-hak mereka yang menjadi korban dengan demikian menjadi sangat urgen. Selain sebagai bagian dari usaha umum memulihkan kembali tatanan hukum dan moral yang telah diruntuhkan oleh  rejim sebelumnya. 

Serangkaian pelanggaran dikatakan di atas di antaranya, yang sangat populer dalam masyarakat, adalah: (i) pembunuhan massal 1965-1967 (di berbagai daerah di Indonesia); (ii) pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983); (iii) pembunuhan misterius (1983-1986, pembunuhan terhadap kaum kriminal di berbagai kota); (iv) pembantaian kaum Muslim Tanjungpriok (Jakarta, 1984); (v) penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap aktifis-aktifis politik Islam (kelompok Usro' 1985-1988, terutama di daerah Jawa); (vi) pembantaian kelompok Warsidi yang dituduh mendirikan Negara Islam Indonesia (Lampung, 1989); (vii) penyiksaan dan pembunuhan terhadap Jema'at HKBP (1992-1993); (viii) pembantaian kelompok Muslim Haur Koneng, Majalengka, Jawa Barat (1993); (ix) pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993); (x) operasi militer di Aceh II (1989-1998); (xi) pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995); dan seterusnya.

Saat itu, pelanggaran-pelanggaran ini, dibenarkan atas nama pembangunan dan stabilitas politik. Yang berani mempersoalkan hal ini akan menghadapi resiko dituduh PKI atau ekstrim kanan.

Mengungkapkan kembali kebenaran atas pelanggaran berat hak asasi manusia yang disangkal di bawah Orde Baru itu dengan demikian menjadi bagian yang penting dalam usaha membangun kembali tatanan moral, hukum, dan penyembuhan (healing) dari pengalaman traumatik di masa lalu tersebut. Di sinilah arti penting Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yakni membangun kembali tatanan moral dan tatanan keadilan setelah suatu masa penghancuran. 

Dikatakan pelik dan dilematis, karena di satu sisi ia harus mempertahankan eksistensi dirinya yang masih rawan, di sisi yang lain ia harus memenuhi rasa keadilan masyarakat. Situasi pelik dan dilematis ini sebenarnya melukiskan kerapuhan kebanyakan dari pemerintah transisional yang baru mengambilalih kekuasaan dari kediktatoran. Mengatasi situasi pelik ini, banyak dari pemerintah transisi kemudian memilih apa yang disebut Uskup Agung Desmond Tutu sebagai jalan ketiga, yakni mengkrompomikan antara jalan pengadilan seperti Nuremberg (pengadilan terhadap penjahat perang, setelah berakhirnya Perang Dunia II) dengan amnesti massal atau secara nasional melupakannya (national amnesia). Wujudnya adalah dengan mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disingkat KKR).

Sejak kemunculannya yang pertama di Argentina dan Uganda pada pertengahan 1980-an, hingga sekarang kurang lebih dari dua puluh negara telah memilih jalan ketiga tersebut. Bagi masyarakat-masyarakat transisi, pembentukan KKR dilihat sebagai jalan keluar yang memadai guna menagih pertanggungjawaban atas kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu.

Selain dapat menjaga stabilitas demokrasi yang masih rawan, juga karena ia (KKR) memiliki kemampuan yang lebih besar di banding peradilan pidana dalam hal mendapatkan catatan yang lebih lengkap mengenai pelanggaran yang terjadi di masa lalu. Dengan memberikan tempat pertama pada korban bercerita, KKR dapat memberikan dukungan yang jauh lebih besar bagi korban untuk mengembalikan kembali harga diri mereka yang telah dirampas.

KKR, seperti dikatakan Martha Minow, dapat membantu memberikan konteks pada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah narasi nasional tentang pengakuan, pertanggungjawaban dan nilai-nilai kemasyarakatan. Dapat dikatakan, pilihan terhadap KKR lebih didasarkan pada keinginan untuk merekontruksi tatanan moral dan nilai-nilai yang telah diberangus pada masa rejim otoriter sebelumnya. 

Jalan yang dipilih oleh masyarakat-masyarakat transisi seperti ditunjukkan di atas tampak relevan bagi Indonesia. Sebagai masyarakat yang juga baru keluar dari kekuasaan otoriterian, Indonesia juga mau-tidak-mau harus menangani masa lalunya yang kelam itu, yakni berupa serangkaian pelanggaran berat hak asasi manusia di bawah rejim sebelumnya (Orde Baru). Mulai dari tahun 1965 hingga Mei 1998.

Tags: