Pengadilan Haruskan Kapolri Minta Maaf secara Terbuka
Kasus Tempo:

Pengadilan Haruskan Kapolri Minta Maaf secara Terbuka

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Kapolri, Kapolda Metro Jaya, Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolsek Menteng bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus penyerbuan kantor majalah Tempo. Konsekuensinya, mereka disuruh minta maaf secara terbuka.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
 Pengadilan Haruskan Kapolri Minta Maaf secara Terbuka
Hukumonline

 

Dalam persidangan, polisi sebenarnya sudah berargumen bahwa sebelum aksi penyerbuan, sudah ada sejumlah polisi di depan kantor majalah Tempo. Tetapi menurut majelis, meskipun aparat hadir di sana, jumlah massa yang tidak sebanding dengan polisi tidak bisa menghilangkan rasa takut awak Tempo. Apalagi terungkap, bahwa polisi tidak menunjukkan sikap tegas.

 

Buktinya, wartawan Tempo Abdul Manan terluka akibat kekerasan pendemo. Dan itu terjadi di depan batang hidung polisi. Alih-alih mengamankan suasana, Kapolsek Menteng malah seperti melepas tanggung jawab. "Selesaikan dong. Kan Anda yang tahu persoalannya," ujar Kapolsek Menteng menjawab permintaan tolong awak redaksi Tempo, sebagaimana dikutip majelis hakim.  

 

Minta maaf secara terbuka

 

Dalam pandangan majelis, ketidaktegasan polisi bukan hanya terjadi di depan kantor majalah Tempo, tetapi juga di ruang Kasatserse Polres Jakarta Pusat. Ironisnya, kata majelis, polisi tidak tegas dan pengamanan tidak memadai pun terjadi di kantor tergugat. Sikap demikian, dalam konsep onrechmatigedaad, bertentangan dengan kewajiban hakiki polisi, juga tidak sesuai dengan azas kepatutan.

 

Oleh karena itu, majelis hakim menyatakan Kapolri dan jajarannya harus meminta maaf secara terbuka. Cuma, tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara dan di mana permintaan maaf itu dituangkan. Sebelumnya, penggugat meminta agar permintaan maaf disampaikan lewat lima media cetak, lima stasiun televisi dan lima radio.

 

Menanggapi putusan majelis, kuasa hukum Kapolri dan tergugat lain menyatakan banding. "Keputusan ini belum final, kami menyatakan banding," ujar Rudy Hariyanto, salah seorang pengacara Kapolri. Ia mempersoalkan kenapa putusan atas perkara David A Miauw dan Teddy Uban tidak dipertimbangkan majelis hakim.

 

Legal standing AJI

 

Pada bagian awal petitumnya, majelis hakim mempertimbangkan keberatan kuasa hukum Kapolri atas hak gugat Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Menurut para tergugat, AJI sama sekali tidak punya kualitas untuk mengajukan gugatan secara legal standing. Sebab, undang-undang baru mengakui legal standing di bidang konsumen dan lingkungan hidup. 

 

Kuasa hukum Kapolri berdalih bahwa AJI tidak mempunyai kepentingan hukum (special interest) atas kasus penyerangan Tempo. Namun argumen ini dibantah majelis hakim. Meskipun tidak ada undang-undang yang secara langsung memberi hak gugat kepada AJI, tetapi perkembangan hukum di masyarakat memungkinkan legal standing itu diperluas. Jadi, bukan hanya terbatas pada konsumen, lingkungan dan kehutanan.

 

Di bidang pers, misalnya, AJI sudah dikenal sebagai organisasi yang banyak dan konsisten memperjuangkan kebebasan pers. Hal itu diperkuat ketentuan dalam AD/ART organisasi ini. Oleh karena itu, majelis berpendapat AJI mempunyai standing untuk menggugat kasus-kasus yang berkenaan dengan pers. Asalkan, gugatan itu bukan menyangkut ganti rugi, melainkan sebatas upaya pencegahan.

 

Soal special interest, majelis menganggap apa yang diperjuangkan AJI bukan hanya kepentingan pers semata-mata, tetapi juga masalah-masalah yang berdimensi publik. Dengan putusan ini, PN Jakarta Pusat semakin meneguhkan posisi AJI sebagai organisasi pers yang punya hak gugat organisasi. Putusan serupa sebelumnya dikeluarkan PN Jakarta Pusat dalam perkara AJI melawan Gubernur DKI, Walikota Jakarta Timur, Dinas Tramtib Jakarta Timur dan Dapot Manihuruk. 

Amar tersebut diputuskan majelis hakim pimpinan Iskandar Tjakke --bersama Andi Samsan Nganro dan Andriani Nurdin-- dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin siang (6/10). Menurut majelis, Kapolri dan jajarannya tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.

 

Dalam pertimbangannya, majelis menganggap sikap polisi yang pasif dan tidak tegas menindak demonstran yang menyerbu kantor majalah Tempo pada Maret lalu sudah termasuk pengertian perbuatan melawan hukum. Demikian pula, kepasifan polisi di kantor Kapolres Jakarta Pusat saat David A Miauw diduga melakukan kekerasan terhadap Pemred Tempo Bambang Harymurti (Tapi dalam perkara lain, PN Jakarta Pusat menyatakan kekerasan itu tidak terbukti sehingga membebaskan David A Miauw).

Tags: