Mohammad Yamin: Mencari Semangat Anti Korupsi pada Sosok Adhyaksa
Utama

Mohammad Yamin: Mencari Semangat Anti Korupsi pada Sosok Adhyaksa

Seperti halnya hakim dan pengacara, saat ini jaksa juga dianggap sebagai salah satu profesi yang dekat dengan suap, korupsi, dan kolusi. Banyak jaksa bergaya hidup mewah walaupun bergaji pas-pasan. Karena itu, ketika Mohammad Yamin, seorang jaksa, menerima Bung Hatta Award, banyak yang penasaran dengan sosoknya.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Mohammad Yamin: Mencari Semangat Anti Korupsi pada Sosok Adhyaksa
Hukumonline

 

Sepintas, tidak terlihat ada yang istimewa dengan pria kelahiran 14 Desember 1944 ini. Jika Anda bertanya apa kiatnya untuk tetap hidup sederhana di tengah sebagian koleganya yang bergaya hidup mewah, Anda juga akan mendapat jawaban sederhana. "Sebagai umat beragama, saya tidak ingin menghidupi istri dan anak-anak saya dari barang-barang yang tidak halal. Karena itu, tidak perlu berbuat dosa untuk sekedar memenuhi keinginan hidup lebih baik seperti orang lain". 

 

Kesempatan untuk menjadi kaya dan bergaya hidup mewah bukan tidak ada. Yamin mengakui, jika ia mau menerima suap, peluang yang tersedia sangat besar dan hal itu tidak sulit. Maklum, tawaran-tawaran yang menghampiri seorang jaksa cukup banyak. Mereka yang terlibat perkara tentu akan berusaha keras untuk lolos atau mengurangi hukuman.

 

Pria yang memulai kariernya sebagai jaksa pada 1966 ini mengaku bahwa dirinya tidak luput dari tawaran semacam itu. Pernah, suatu ketika seorang pengusaha yang terlilit perkara di kejaksaan mendatanginya, tentu untuk memuluskan urusan yang sedang melilit sang pengusaha. Apalagi posisi Yamin sebagai penyidik perkara itu sangat menentukan. Tetapi Yamin sudah punya sikap tegas: menolak.

 

Tidak mempan mendekati Yamin, pengusaha Sulawesi Selatan tersangka kasus korupsi itu merayu keluarganya. Sang pengusaha mengongkosi paman Yamin dari Sulawesi Selatan untuk datang ke Jakarta dan menginap di hotel mewah sampai satu bulan lebih. Tugas untuk sang paman jelas, mempengaruhi Yamin agar membantu si tersangka.

 

Godaan lain datang dari sesama korps adhyaksa. Pihak yang berperkara kerap meminta jaksa lain untuk membujuk Yamin agar bersedia membantu tersangka. Sekali lagi, dia menolak.

 

Sikap demikian bukan tanpa ekses. Tudingan miring dari sesama kolega atau orang lain kerap menerpa Yamin. Ia dinilai sok jujur, sikap yang muncul karena dituduh sudah punya banyak tabungan. Mendengar tudingan itu, Yamin berusaha mengambil hikmahnya. Ia percaya tidak semua jaksa berprilaku jelek, dan tidak sependapat kalau disebut suap menyuap sebagai hal yang biasa di lingkungan kejaksaan. Toh, ia menyerahkan penilaian itu kepada masyarakat. "Biarlah masyarakat menilai," ujarnya.

 

Ingin menjadi jaksa

Lahir di Palopo, Sulawesi Selatan pada 14 Desember 1944, Yamin sudah harus menjadi yatim ketika baru berusia dua tahun. Yamin kemudian dibesarkan oleh ibu dan paman-pamannya dalam suasana sederhana. Secara berseloroh, Yamin mengatakan masa kecilnya yang miskin membuat dirinya terbiasa hidup sederhana. Toh, tidak ada kata penyesalan yang keluar. "Saya sudah bersyukur dengan keadaan seperti saat ini," katanya.

 

Dalam perbincangan dengan hukumonline suatu sore di kantornya di kawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan, pekan pertama Oktober 2003, cerita panjang yang mengantarkan dirinya menjadi jaksa mengalir satu plot ke plot lain.

 

Begitulah. Keinginan menjadi jaksa tumbuh ketika Yamin masih duduk di bangku SMP. Saat itu, Yamin kecil selalu melewati gedung pengadilan jika hendak berangkat dan pulang sekolah. Kadang, saat jam pelajaran kosong, Yamin mampir ke pengadilan dan menonton sidang. Saat itu ia kerap berpikir, alangkah hebatnya seorang jaksa, gagah mengenakan seragam dan dapat menuntut orang jahat.

 

Karena itu, lulus SMP Yamin masuk ke Sekolah Hakim dan Djaksa (SHD). Saat itu, dengan menempuh SHD selama empat tahun, seseorang sudah bisa menjadi jaksa atau hakim. Lulus dari SHD pada 1965, ia  mulai bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Soppeng. Belakangan, ada persyaratan untuk menjadi jaksa harus bergelar sarjana. Karena itu, Yamin masuk ke Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin program ekstensi.

 

Masa kuliah dijalani Yamin selama hampir 12 tahun. Selain menjadi jaksa, ia juga aktif di surat kabar KAMI dan organisasi mahasiswa, sehingga  jarang masuk ruang kuliah. Sampai akhirnya Dekan mengancam akan men-drop out Yamin  jika ia tidak segera menyelesaikan kuliah. Ancaman itu membuahkan hasil, Yamin akhirnya lulus pada 1980. Saat masih kuliah pula, ia menikah dengan salah seorang kerabatnya karena dijodohkan oleh neneknya. Perkawinan itu membuahkan lima orang anak.

 

Hanya setahun di Soppeng, pada 1967 Yamin dipindahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Setelah itu, ia ditempatkan di Kejaksaan Negeri Ujungpandang  selama sepuluh tahun (1975-1985). Saat bekerja di sinilah, Yamin merasa banyak belajar dari almarhum Baharudin Lopa. Waktu itu, Lopa yang menjabat sebagai jaksa tinggi di Sulawesi Selatan sedang gencar menangani perkara-perkara korupsi. Yamin beruntung dipercaya untuk menangani dan berdiskusi mengenai kasus-kasus korupsi dengan almarhum.

 

Kenangan bersama (Alm) Baharuddin Lopa

Salah satu perkara korupsi besar yang ditangani Lopa saat itu adalah perkara yang melibatkan pengusaha besar Sulsel, Tony Gozal.  Tony dikenal sebagai pengusaha yang memiliki hubungan dekat dengan Keluarga Cendana dan sejumlah pejabat penting di Jakarta. Tetapi Lopa tidak gentar. Ia menyeret Tony ke meja hijau dan mendakwa pengusaha itu korupsi uang negara sebesar Rp4 miliar.

 

Yamin mengenang, saat itu dirinya sedang mengikuti kursus bahasa Inggris di Jakarta karena akan ikut pelatihan di Australia selama lima bulan. Almarhum Lopa agaknya menaruh kepercayaan kepada Yamin. Buktinya, ia memanggil Yamin pulang  ke Ujungpandang untuk memeriksa Tony Gozal. Bisa jadi, Lopa tidak mau Tony diperiksa oleh jaksa lain.

 

Usai pemberkasan perkara, Yamin berangkat ke Australia. Ia pulang ke Tanah Air sehari sebelum perkara tersebut diputus. Majelis hakim "menyambut" Yamin dengan vonis bebas terhadap Tony Gozal. Oleh Lopa, Yamin diperintahkan untuk menyusun memori kasasi yang akan diajukan ke Mahkamah Agung. Belakangan, kasasi itu diterima dan Tony dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Tony kemudian mengajukan PK dan hukumannya turun menjadi lima tahun penjara.

 

Pengalaman menangani perkara Tony Gozal itu tampaknya begitu membekas di hati Yamin dan Lopa. Buktinya, perkara itu dijadikan sebagai contoh kasus dalam buku mereka berjudul "Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 berikut Pembahasannya serta Penerapannya dalam Praktek".

 

Ada cerita yang selalu diingat oleh Yamin ketika ia bersama Lopa berangkat dari Jakarta ke Bandung, menemui penerbit buku mereka. Kebetulan, Lopa  yang saat itu merupakan Dirjen Lembaga Pemasyarakatan sedang ada urusan dinas di Bandung. Mereka pergi mengendarai mobil dinas Lopa, sebuah L 300 yang sudah tua. Di jalan, mesin mobil  ngebul sehingga harus disiram air agar dapat berjalan.

 

Yamin secara terus terang mengaku mengidolakan Lopa. Di mata Yamin, mantan menteri kehakiman dan jaksa agung itu memberikan teladan melalui perilaku. Tanpa harus banyak omong, orang mengikutinya karena melihat apa yang dilakukan Lopa. Lopa adalah sosok yang sangat gigih dalam menangani perkara dan tidak mudah menyerah. Walau bergelar profesor dan doktor, Lopa tidak segan-segan mengajak yuniornya berdiskusi dan mau bertanya pada mereka.

 

Ketika Lopa menjadi Jaksa Agung, ada suatu kisah yang menggambarkan kepercayaan Lopa terhadap Yamin. Saat itu, Lopa sering memanggil semua tim yang menangani perkara korupsi dan menggelar rapat di kantornya pada malam hari. Ketika dibuat surat perintah penyidikan perkara korupsi dengan terdakwa Nurdin Halid, Yamin yang saat itu Kasubdit Penyidikan Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Khusus tidak masuk dalam tim penyidik karena sedang bertugas ke Palembang.

 

Dalam rapat itu, Lopa bertanya mengenai perkembangan kasus Nurdin Halid. Dijawab oleh ketua tim pemeriksa bahwa Nurdin Halid akan segera diperiksa. Kontan Lopa meminta agar yang memeriksa Nurdin Halid adalah Yamin. Malam itu juga, surat perintah penyidikan yang ditandatangani oleh Jampidsus langsung diubah untuk memasukkan nama Yamin.

 

Walau disidik sejak tahun 2001, perintah Jampidsus untuk melakukan pemberkasan perkara itu baru muncul beberapa bulan lalu. Ditanya mengapa penanganan perkara tersebut memakan waktu lama, Yamin hanya mengatakan banyak lika-liku yang alot dalam penanganan perkara itu, termasuk usaha-usaha pihak yang terlibat untuk mempengaruhi penanganan perkara. Meski demikian, Yamin tetap berpegang teguh pada asas praduga tidak bersalah. Selama perbincangan dengan hukumonline ia selalu menyebut inisial nama terdakwa yang tersangkut suatu perkara.

 

Dalam perjalanan kariernya sebagai jaksa, Yamin pernah bertugas menangani kasus Bapindo, satu kasus korupsi yang membuat geger dunia perbankan nasional pada dekade 90-an.  Saat itu, Januari 1994, Yamin baru saja masuk ke bagian pidana khusus di Gedung Bulat Kejaksaan Agung. Ada satu hal yang selalu dikenang Yamin saat menangani perkara dengan terdakwa (alm) Maman Suparman, Wakil Kepala Bapindo Cabang Jakarta, itu. Dalam menangani kasus ini, Yamin bisa membuktikan bahwa Maman menerima suap dari Edi Tanzil.

 

Meski Maman telah dijerat dengan dakwaan merugikan keuangan negara karena mengucurkan kredit pada Edi Tanzil, Yamin masih belum puas. Ia yakin pasti ada sesuatu hal sehingga Maman mau mengucurkan kredit senilai Rp 800 juta lebih kepada adik Hendra Rahardja itu. Apalagi ada pejabat yang tidak begitu penting perannya dalam pengucuran kredit itu menerima Rp 50 juta dari Edi Tanzil yang bisa dibuktikan dengan adanya cek.

 

Namun karena tidak ada bukti apapun yang menunjukkan bahwa Maman menerima suap, Yamin memutuskan untuk memeriksa kekayaan Maman. Ternyata pendapatan Maman, walau termasuk mark up, hanya Rp109 juta. Padahal, saat gencarnya pengucuran kredit pada Edi, Maman membeli rumah seharga Rp450 juta dan direnovasi dengan biaya Rp50 juta.

 

Di persidangan, Maman menyatakan lupa dari mana uang itu berasal. Untuk dapat menjerat Maman, Yamin pun menggunakan pasal 18 Undang-Undang No. 3/1971. Jika  terdakwa tidak bisa menjelaskan dari mana hartanya yang tidak sebanding dengan penghasilannya yang sah, memperkuat bukti lain bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi. Pasal ini sebelumnya tidak pernah digunakan oleh orang lain. Usaha Yamin untuk membuktikan adanya penyuapan, diakuinya terinspirasi oleh kursus yang diikutinya di Hongkong yang diselenggarakan oleh Independent Commission Against Corruption (ICAC). 

 

Kapusdiklat bukan tempat buangan

Di tengah gencarnya penyidikan terhadap pengusaha Nurdin Halid, Mohammad Yamin diangkat menjadi Kepala Pusdiklat Kejaksaan. Pengangkatan yang terkesan tiba-tiba itu memunculkan isu tak sedap bahwa Yamin sengaja 'dibuang' ke bagian diklat karena terlalu bersemangat menyidik sang pengusaha.

 

Kepada hukumonline, Yamin membantah isu perpindahannya ke Pusdiklat terkait dengan perkara Nurdin. Buktinya, meskipun sudah diangkat jadi Kapusdiklat, ia tetap menjadi anggota tim penyidik kasus itu.

 

Yamin punya argumen untuk menepis isu miring tersebut. Suatu hari Jaksa Agung MA Rahman memberi tahu langsung bahwa ia akan dipromosi. Sebagai anggota korps adhyaksa, Yamin berprinsip bahwa kemanapun dipindahkan, harus dilaksanakan. Tapi, kalau ia boleh memilih, ada dua pos yang ia inginkan, pertama adalah sebagai Kapusdiklat, jika pejabat lama sudah pensiun. Kedua, sebagai inspektur di bidang pengawasan. Akhirnya, posisi pertama yang dipercayakan kepadanya.

 

Pada dasarnya, bertugas di Pusdiklat tetap menjalankan tugas mulia. Melalui lembaga ini siapa pun bisa membangun kader adhyaksa ke depan dan memperbaiki mutu aparat kejaksaan. Ini untuk menepis anggapan bahwa Pusdiklat dianggap sebagai pendidikan formal semata. Semua yang masuk Pusdiklat, pasti lulus, tidak ada saringan yang ketat. Justru inilah yang menjadi obsesi Yamin, membuka jalan pendidikan dan pelatihan jaksa sehingga menjadi  jaksa yang handal. 

 

Yamin menabrak mitos bahwa semua jaksa yang masuk pendidikan di Pusdiklat pasti lolos. Yamin membuat keputusan tidak populer ketika memutuskan tidak meluluskan 18 peserta diklat Pendidikan Persiapan Jaksa (PPJ) pada 2002. Delapan orang tidak diluluskan karena bermasalah dan sepuluh orang dinyatakan tidak mampu secara akademis. Hal yang sama dia lakukan pada diklat PPJ periode 2003. Ada tujuh orang peserta yang dinyatakan tidak lulus.

 

Selain itu, Yamin juga memperpanjang masa diklat pembentukan jaksa yang semula empat bulan, menjadi enam bulan.  Sedangkan diklat teknis yang biasanya satu bulan, diperpanjang menjadi dua bulan.

 

Dalam soal disiplin, Yamin berusaha untuk selalu datang lebih pagi dari seluruh pegawai Pusdiklat. Walaupun jam kerjanya jam 7.30 WIB, sebelum jam enam pagi Yamin sudah berangkat dari rumahnya di Pejompongan. Biasanya, ia berolahraga jalan pagi di sekeliling kompleks Pusdiklat. Yamin berprinsip, ia harus disiplin agar pegawai Pusdiklat ikut disiplin. "Jika pegawai Pusdiklat tidak disiplin, tentu mereka yang mengikuti pendidikan akan mencontoh para pendidiknya yang tidak disiplin," begitu argumen Yamin.

 

Sebagai Kapusdiklat, Yamin berharap agar penghargaan yang diterimanya dapat memotivasi anak didiknya di Pusdiklat. Antara lain, sebagai  penegak hukum, mereka tidak boleh melanggar hukum. "Kalau kita menuntut koruptor, kita jangan korupsi. Itu kan mudah sebenarnya, simpel saja," ujarnya.

 

Apa yang dikemukakan oleh Yamin memang merupakan hal yang terdengar simpel.  Tetapi untuk melaksanakannya butuh komitmen bersama, bukan hanya dari jaksa, untuk memberantas korupsi di negeri keenam terkorup di dunia ini. Komitmen, itu kuncinya!

Yamin, bersama tiga tokoh lain, menerima penghargaan anti korupsi itu di Gedung Serbaguna Senayan, penghujung September lalu. Mereka dinilai memiliki semangat, kepedulian dan konsistensi memberantas korupsi di Tanah Air.

 

Semangat dan kepedulian itulah yang kini coba ia tularkan, bukan saja kepada para jaksa senior, tetapi juga kepada calon-calon adhyaksa baru. Sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kejaksaan, Yamin memang diserahi tugas menyiapkan dan mendidik jaksa-jaksa baru.

Tags: