Conservatoir Beslag: Upaya Hukum Eksepsional yang Butuh Kehati-hatian
Fokus

Conservatoir Beslag: Upaya Hukum Eksepsional yang Butuh Kehati-hatian

Enam belas tahun lalu, ketika hendak menulis buku serial hukum acara perdata, M. Yahya Harahap memutuskan untuk memulai dari masalah conservatoir beslag atau sita jaminan. Mantan hakim agung yang sangat produktif menulis ini bukan tidak sadar atas pilihannya.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
<i>Conservatoir Beslag:</i> Upaya Hukum Eksepsional yang Butuh Kehati-hatian
Hukumonline

Alasan dia mendahulukan conservatoir beslag dapat dibaca dalam bukunya Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan yang sudah dicetak ulang. "Kesengajaan mendahulukan pembahasan conservatoir beslag, saya dasarkan atas kenyataan pengalaman, betapa tidak tertibnya praktek penerapan conservatoir beslag dalam kehidupan peradilan," tulis Yahya Harahap.

 

Enam belas tahun sudah berlalu, sinyalemen Yahya Harahap tetap menjadi kenyataan. Kisruh penetapan sita jaminan kali ini datang dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Atas permintaan kuasa hukum pengusaha Tomy Winata, trio majelis hakim Mabruq Nur, Surya Darma Belo dan Rustam Idris menetapkan sita jaminan atas rumah budayawan Goenawan Mohamad.

 

Penyitaan rumah Goenawan rupanya berbuntut panjang. Sumber hukumonline mengungkapkan bahwa kisruh penyitaan itu telah membuat 'gerah' petinggi Mahkamah Agung. Tanggapan dan komentar bernada miring berdatangan dari segala penjuru, mulai dari partai politik hingga mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Tetapi Ketua MA Bagir Manan sudah membantahnya.

 

Toh, tudingan miring terlanjur dialamatkan ke majelis hakim. Sita jaminan yang mereka tetapkan dinilai mengandung kelemahan. Dari empat gugatan yang diajukan Tomy Winata terhadap Tempo dan jajarannya, semua mengajukan permohonan sita. Tetapi hanya PN Jakarta Timur yang mengabulkan, sebelum putusan akhir dijatuhkan. Empat hari setelah penetapan sita jaminan keluar --termasuk dua hari libur-- juru sita PN Jakarta Timur sudah menyambangi rumah Goenawan di bilangan Jakarta Timur.

 

Selanjutnya, sita jaminan PN Jakarta Timur seolah mengubah nasib ketiga hakim yang memeriksa perkara tersebut. Mabruq Nur bukan saja dicopot dari posisinya selaku Humas pengadilan, tetapi juga dari susunan majelis. Posisinya digantikan oleh Zainal Abidin Sangaji. Nasib yang sama menimpa Surya Darma Belo, yang digantikan oleh hakim Samsul Bahri. Petinggi MA dan Ketua PN Jakarta Timur membantah pergantian itu ada kaitannya dengan perkara. 

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, kisruh penetapan sita jaminan juga terjadi sebulan sebelumnya. Kejadiannya, ketika PN Jakarta Selatan meletakkan sita terhadap Gedung Aspac di Jalan Rasuna Said Kuningan. Sita atas gedung seharga Rp200 miliar itu dimintakan PT Mitra Bangun Griya karena berseteru dengan BPPN selaku 'pemilik' gedung.

 

Masalahnya, MA sudah mengeluarkan surat edaran (SEMA No. 2/2003) yang menyatakan bahwa seluruh aset BPPN adalah milik negara. Menurut ketentuan tersebut, Pengadilan Negeri tidak bisa sembarangan meletakkan sita jaminan terhadap aset negara. Izin MA wajib diperoleh terlebih dahulu.

 

Tetapi, aturan itu diterobos PN Jakarta Selatan. I Wayan Rena Wardana, ketua majelis hakim yang meletakkan sita, punya jawaban tersendiri atas keputusannya. "Alasan MA itu kan bersifat umum, sedangkan kasus yang kami hadapi bersifat khusus," ujarnya kepada wartawan.

 

Tindakan Wayan Rena tak urung mengundang protes. Salah satunya datang dari kantor Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Kantor Menko menyesalkan peletakan sita dan menilai tindakan itu bertentangan dengan hukum.

 

Eksepsional

Mari lupakan buntut kisruh yang timbul akibat penetapan sita jaminan itu pada kasus-kasus di atas. Mendudukkan sita jaminan pada proporsi yang sebenarnya jauh lebih penting bagi pemahaman semua pihak. Secara konseptual, peletakan sita jaminan bukanlah perkara gampang, yang bisa seenaknya diputuskan hakim. Sita jaminan merupakan tindakan hukum yang diambil pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan.

 

Gambaran betapa istimewanya sita jaminan juga tampak saat juru sita PN Jakarta Timur mendatangi rumah Goenawan di Jalan Tanah Mas II-B No. 19 Kayu Putih, Jakarta Timur, 29 September lalu. Kebetulan, mantan Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Marsillam Simanjuntak era Gus Dur ikut menyaksikan prosesi penyitaan.

 

"Kalau yang disita rumah atau tanahnya, maka kalian harus membawa sertifikatnya. Kalau tidak, dari mana kamu tahu tanah dan bangunan ini sah milik tergugat? Sampaikan ini kepada hakim: sita jaminan itu istimewa," tukas Marsillam kepada juru sita PN Jakarta Timur. 

 

Yahya Harahap, dalam bukunya, tegas menyebutkan bahwa sita jaminan merupakan tindakan hukum yang sangat eksepsional. Artinya, pengabulan sita jaminan merupakan tindakan hukum pengecualian, yang penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala pertimbangan yang hati-hati. "Tidak boleh diterapkan secara serampangan tanpa alasan yang kuat, yang tidak didukung oleh fakta yang mendasar," tulis Yahya Harahap.

 

Sayangnya, lanjut Yahya, banyak hakim yang kurang menyadari sifat eksepsional dari sita jaminan. Undang-Undang memberi wewenang kepada hakim meletakkan sita, tetapi unsur eksepsionalnya sering tidak diperhatikan.

 

Ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada sejak zaman Belanda, HIR (Herziene Indonesische Reglement), tidak banyak mengatur soal sita jaminan. Yang dijadikan acuan pokok adalah pasal 227, sebuah pasal yang terdiri dari lima ayat.

 

Menurut ketentuan ini, sebelum menetapkan sita, hakim harus benar-benar memastikan (i) adanya persangkaan yang beralasan (ii) tergugat akan menggelapkan barang-barangnya (iii) dengan maksud menjauhkan barang-barang itu dari kepentingan tergugat (iv) sebelum putusan berkekuatan hukum tetap.

 

Wewenang hakim

Lalu, siapakah yang berwenang menilai adanya persangkaan yang beralasan itu? Siapakah yang menilai Goenawan Mohamad, misalnya, akan mengalihkan rumahnya ke pihak ketiga? Hal ini penting untuk menentukan posisi hakim dalam mencari fakta yang digunakan untuk mendukung adanya persangkaan bahwa tergugat akan mengalihkan hartanya.

 

Yahya Harahap punya jawaban tegas atas pertanyaan itu: hakim-lah yang berwenang dan berhak, bukan penggugat. Memang, tergugat punya hak mengajukan fakta tentang adanya persangkaan itu, tetapi penilaian akhirnya terletak di tangan majelis hakim.

 

Meskipun demikian, hakim sedapat mungkin melepaskan diri dari teori dan penerapan formil hukum acara. Dugaan tergugat mengalihkan hartanya harus diuji hakim melalui sejumlah fakta dan petunjuk. Menurut Yahya, tanpa fakta atau petunjuk, permohonan sita harus ditolak hakim. Dan yang pasti, fakta dan petunjuk itu harus benar-benar masuk akal.

 

Dalam kasus penyitaan terhadap rumah Goenawan Mohamad, tim kuasa hukum penggugat meminta sita jaminan dengan argumen tersendiri. Yaitu 'agar gugatan penggugat tidak menjadi sia-sia (ilusionis) serta dikhawatirkan adanya upaya para tergugat melepaskan diri dari kewajibannya untuk membayar ganti kerugian yang diputuskan oleh pengadilan' (poin ke-24 dalam gugatan sebelum revisi). 

 

Uniknya, dalam berkas gugatan awal, penggugat tidak menyinggung sama sekali sita terhadap rumah Goenawan di Jalan Tanah Mas II-B. Yang ada adalah permohonan sita atas sebidang tanah berikut bangunan di atasnya di Jalan Pramuka Sari III No. 15 Rawamangun, dan kantor harian Koran Tempo. Tetapi gugatan itu kemudian dicabut dan direvisi.

 

Tiga surat edaran

MA sendiri tampaknya sudah sering dipusingkan urusan sita jaminan ini. Tengok saja pertimbangan keluarnya Surat Edaran No. 5/1975, yang  ditandatangani Ketua MA Oemar Seno Adji. MA harus mengeluarkan surat edaran baru karena "masih terdapat kesalahan-kesalahan mengenai penerapan lembaga sita jaminan, baik yang berhubungan dengan syarat-syarat yang diberikan oleh undang-undang maupun dalam cara pelaksanaannya".

 

Betapa tidak, MA sudah dua kali mengeluarkan surat petunjuk untuk mengatur hal yang sama, yaitu SEMA tertanggal 7 November 1954 dan surat tertanggal 21 November 1955.

 

Dalam Surat Edaran No. 5/1975, MA kembali mengingatkan agar hakim berhati-hati dalam meletakkan sita jaminan, dan jangan mengabaikan syarat-syarat yang ditentukan pasal 227 HIR/261 RBg.

 

Pada bagian akhir SEMA No. 5/1975, Ketua MA Oemar Seno Adji menulis sebuah harapan: "Diharapkan bahwa di kemudian hari dengan adanya surat edaran ini tidak akan terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan". 

 

Sayang, harapan almarhum Oemar Seno Adji itu tidak menjadi kenyataan. Wewenang mutlak hakim sepertinya mengalahkan semua harapan dan acuan yang ada di surat-surat edaran Mahkamah Agung.

Tags: