Dalam Revisi KUHP, Hukum Adat Bisa Dijadikan Pidana Pokok
Utama

Dalam Revisi KUHP, Hukum Adat Bisa Dijadikan Pidana Pokok

Revisi KUHP mungkin akan membawa perubahan besar. Hakim tak melulu harus melototi undang-undang lagi. Hukum adat bisa diadopsi sebagai pidana pokok dalam putusan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Dalam Revisi KUHP, Hukum Adat Bisa Dijadikan Pidana Pokok
Hukumonline

 

Ketentuan ini memang menjadi pasal pembuka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian disebutkan, kalau belum ada undang-undang yang mengatur, maka hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan terdakwa.

 

Tetapi nanti, ketentuan legalistik itu akan mengalami perluasan. Selain undang-undang, hakim bisa berpatokan kepada "hukum yang hidup" atau hukum adat. Jadi, kalaupun undang-undang belum mengatur, tetapi sudah diatur hukum adat masyarakat setempat, terdakwa tetap harus divonis. Begitu kira-kira benang merah yang bisa ditarik dari pasal 1 jo pasal 93 revisi atau RUU KUHP yang sudah digodok Departemen Kehakiman & HAM.

 

Asas nullum delictum memang masih tercantum jelas dalam pasal yang sama dalam RUU KUHP. Tetapi pada ayat (3) RUU tegas disebutkan bahwa ketentuan nullum delictum tadi tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat. Meski belum diatur dalam undang-undang tertulis, kalau hukum adat sudah mengaturnya, maka menurut RUU KUHP, seseorang tetap patut dipidana. Jika kondisinya demikian, menurut ayat (4) berlaku ketentuan pasal 93 RUU.

 

Pasal 93 RUU KUHP selengkapnya berbunyi:

 

(1)   Dalam putusan dapat ditetapkan kewajiban adat setempat yang harus dilakukan oleh terpidana:

(2)   Pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (3);

(3)   Kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk  pidana denda, jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana;

(4)   Pidana pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat berupa pidana ganti kerugian.

 

Patut dicatat bahwa pidana denda kategori I adalah hukuman denda senilai Rp150 ribu.

 

Perlu diperjelas

Adanya 'pengakuan' terhadap hukum adat ini dalam RUU KUHP tampaknya belum begitu banyak diketahui. Ricardo Simarmata, Pjs Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), mengaku belum mengetahui ketentuan tersebut. Tetapi ia menanggapi secara antusias pengakuan terhadap hukum adat. "Berarti itu suatu kemajuan," ujar Ricardo kepada hukumonline.

 

Ricardo berencana menggalang kekuatan teman-temannya, terutama mereka yang selama ini tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, untuk memberikan dukungan. Apalagi sejak dekade 50-an, praktis peradilan desa dan peradilan adat sudah dihapuskan. Meskipun di lapangan, misalnya di Irian Jaya, hukum masih harus berkompromi dengan adat masyarakat setempat.

 

Oleh karena itu menurut Ricardo, masih ada yang harus diperjelas dari ketentuan pasal 1 dan pasal 93 RUU KUHP. Tindak pidana apa saja yang boleh diputuskan melalui hukum adat? Apakah semua atau ukurannya sepanjang tidak diatur dalam KUHP? Lalu, yang tak kalah penting, batasan tentang "hukum yang hidup" sebagaimana digunakan dalam revisi?

Praktisi, profesi dan akademisi hukum yang berpikiran legalistik pasti tahu asas hukum ini: "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya". Biasa disebut asas nullum delictum sine praevia lege poenali.

Tags: