Reputasi Megawati dan Subordinasi Hukum
Reza Indragiri Amriel*

Reputasi Megawati dan Subordinasi Hukum

Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr A Syafii Ma'arif, minta agar pemerintah berani menembak mati para koruptor, seperti yang dilakukan Cina. Pernyataan kedua pemimpin organisasi Islam itu menggarisbawahi kembali pentingnya ketegasan dan keberanian Pemerintah dalam memerangi korupsi di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Reputasi Megawati dan Subordinasi Hukum
Hukumonline

Kedua, Megawati juga menilai bahwa,  publik negeri ini tidak sama dengan rakyat Negeri Panda yang –- kurang lebih berbunyi -– ketika pemimpin berkata A, maka hanya ada A dari atas hingga bawah.

Karena disampaikan tanpa merujuk pada teks, dan berasumsi bahwa pernyataan tersebut bukan bagian dari sebuah skenario untuk menangkis sorotan tentang Presiden Megawati yang introvert dan tak secerdas para presiden pendahulunya.

Saya menganalogikan butir pertama dan kedua Megawati di atas sebagai asosiasi bebas. Jika benar demikian adanya, kedua butir pernyataan tersebut dapat disimpulkan sebagai lebih spontan dan lebih orisinal, sehingga lebih identik dengan diri Megawati yang sebenarnya.

Dengan demikian, publik dapat menjadikan kalimat-kalimat yang dinyatakan secara langsung itu sebagai indikator yang lebih signifikan dalam mengukur seberapa jauh cermatan Megawati terhadap problem-problem yang dihadapi negeri Indonesia. Atau, lebih spesifik, melalui pidato impromptu tersebut, gagasan Megawati akan tata hukum di Tanah Air, sekaligus perbandingannya dengan praktek hukum di negara-negara lain, menjadi lebih terbaca.

Sayangnya, pernyataan Megawati di atas tidak merefleksikan sebuah pemikiran yang didahului dengan proses kontemplasi yang memadai. Penolakan terhadap hukuman mati di satu sisi, serta alasan yang melatarbelakangi resistensi tersebut di sisi lain, pada dasarnya tidak memiliki hubungan satu sama lain. Sehingga, alih-alih mendemonstrasikan visi yang elegan dan tegas dalam menata bangunan hukum nasional, Megawati lebih mempertontonkan reaksi defensifnya terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi apabila ia mengambil sebuah tindakan tertentu.

Secara lebih mendalam, dua butir utama pidato Megawati, tergambar sebuah dinamika psikopolitik yang seolah membenarkan kekhawatiran masyarakat selama ini bahwa rezim Megawati hanya merupakan versi baru Orde Baru.

Pernyataan tentang penolakan terhadap hukuman mati merefleksikan sebuah hipotesis tentang kemungkinan nyata yang dapat terjadi. Reaksi pertahanan diri sedemikian rupa terbentuk sebagai gambaran akumulatif akan pengalaman Megawati berhubungan dengan rakyat selama ini. Sedangkan butir kedua, perbandingan antara rakyat Indonesia dan Cina, merupakan sebuah harapan implisit.

Dalam bahasa psikologi, mengaplikasikan Weiner's Atributional Model, butir pertama mengandung makna bahwa tindak-tanduk psikopolitik Megawati selama ini sangat diwarnai oleh atribusi ekternal. Dengan kata lain, Megawati secara samar-samar mengakui betapa dirinya tidak memiliki daya kendali yang adekuat. Padahal, terproyeksi dalam butir kedua, format interaksi yang ideal antara pemimpin dan rakyat seharusnya ditandai oleh atribusi internal, di mana pemimpin mempunyai dominasi yang besar dalam menentukan kehidupan suatu negara.

Keterkaitan antara butir kedua dan butir pertama menghasilkan implikasi psikopolitik yang patut diwaspadai. Dapat dinalar, atribusi internal yang mewujud ke dalam kepatuhan rakyat kepada pemimpin merupakan prasyarat bagi adanya sebuah tindakan yang lebih tegas terhadap para pelanggar hukum. Konkritnya, Megawati baru akan percaya diri dalam mengeluarkan ancaman terhadap para koruptor hanya apabila rakyat benar-benar memberikan dukungan yang solid terhadap kepemimpinannya.

Kepatuhan macam apa yang kiranya diidam-idamkan Megawati?

Dalam konteks demokrasi, dukungan masyarakat tidak mutlak bercirikan keseragaman kata antara pemimpin dan yang dipimpin. Manunggaling kawula gusti idealnya bersumber dari tingkah laku pemimpin yang aspiratif, baik terhadap dukungan maupun kritik yang dilancarkan publik. Tugas pemimpin yang menjunjung komitmen akan demokratisasi bukanlah melatih masyarakat agar berperilaku seragam, melainkan membangkitkan keberdayaan mereka agar dapat menjadi individu-individu yang beragam.

Bertolak belakang dengan itu, Megawati justru menjadikan kepatuhan ala Cina sebagai referensi dalam hal penegakan hukum.

Acuan ke Cina memang bukan murni dari Megawati, melainkan sebagai jawaban argumentatif terhadap pengamat politik (Megawati tidak menyebut nama) yang mendesak Megawati agar mengaplikasikan hukuman berat seperti yang dilakukan di Cina sebagai model ideal untuk memberangus para pelaku korupsi di Indonesia. Kendati demikian, dijadikannya kepatuhan rakyat Cina sebagai bahan berargumentasi hanya memperjelas kelemahan Megawati dalam memahami esensi pesan tentang pentingnya eksekusi mati bagi para koruptor.

Fakta membuktikan bahwa meskipun Cina kerap kali dituding komunitas Barat sebagai negara penindas hak azasi manusia, kecaman itu tidak diarahkan kepada dijatuhkannya vonis mati bagi para ‘tikus negara'.

Dengan mengangkat Cina, ketidaksetujuan Megawati atas hukuman mati bagi para koruptor tak hanya tidak mengena, tetapi bahkan – secara tidak langsung – menegaskan model relasi pemimpin dan rakyat yang diinginkannya. Ringkasnya, kepastian hukum, terlebih bagi para kriminal korupsi, tergantung pada kepatuhan rakyat terhadap Megawati. Selama atribusi eksternal tetap kental, adalah berlebihan untuk mengharapkan adanya keberanian Megawati dalam mengirim para koruptor ke tim algojo.

Penghukum atau Pendidik

Literatur-literatur Barat membedakan perspektif penghukuman ke dalam dua kategori. Pertama, berdasarkan ‘just deserts', hukuman diterapkan berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan seorang kriminal. Terlepas dari latar belakang dilakukannya tindak korupsi, para pelakunya dipandang sama dan dikenakan hukuman yang relatif sama pula.

Perspektif lain, republican menjadikan kebutuhan kriminogenik (criminogenic needs) individu sebagai dasar dalam menentukan jenis hukuman (tepatnya perlakuan) bagi pelaku kejahatan. Kebutuhan kriminogenik merupakan karakteristik individual yang apabila secara optimal dikenai intervensi koreksional akan menurunkan kemungkinan individu menjadi residivis. Tindak korupsi bisa sama, namun republican menuntut adanya penelaahan lebih mendalam tentang sebab-musabab perilaku koruptif para pelaku.

Kontras dengan ‘just deserts' yang menyiratkan nuansa balas dendam, pandangan republican tampak lebih manusiawi karena membantu para kriminal untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan mereka tatkala harus berperilaku lebih adaptif dan memenuhi standar kepatutan.

Dihubungkan dengan tindak kejahatan korupsi, dari kacamata republican, dijatuhkannya hukuman tertentu tidak ditafsirkan sebagai balasan setimpal atas kelakuan si pelanggar hukum, melainkan dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa hukuman tersebut merupakan perlakuan yang tepat bagi otoritas hukum untuk memodifikasi perilaku si koruptor. Pertimbangan hukuman semacam ini lebih mengarah kepada psikologi masyarakat sebagai pendidik daripada semata-mata sebagai penghukum.

Terlihat bahwa ‘just desert' dan republican merupakan dua perspektif yang menempatkan pelaku kejahatan sebagai titik sentralnya. Seandainya isi penolakan Megawati terhadap gagasan tentang vonis mati bagi para koruptor didasarkan pada perdebatan tentang ‘just desert' versus republican, dan bukan untuk menangkal kian derasnya tekanan politik terhadap dirinya sendiri, khalayak agaknya masih dapat menerima argumentasi Megawati tersebut.

Persoalannya, disadari maupun tidak, penolakan Megawati dengan alasan yang sangat defensif menggarisbawahi kenyataan betapa langkah-langkah penegakan hukum rezim Megawati masih belum dapat membebaskan diri dari kompleks inferioritas terhadap politik. Hukum dipraktekkan dengan penekanan pada reputasi politik pihak eksekutif. Politik bersupremasi, dan hukum ditumbalkan demi melindungi citra Megawati.

Orientasi Korban

Menyadari bahwa kesenjangan pemahaman dan kepekaan Megawati atas supremasi hukum nasional, maka adalah penting bagi masyarakat luas untuk menekan rezim Megawati agar menggeser orientasinya dengan lebih memperhatikan nasib para korban pelanggaran hukum. Mereka yang menghadapi kesulitan luar biasa dalam memenuhi kebutuhan hidup mendasar akibat ulah para drakula yang menghisap sumur-sumur kesejahteraan dan keadilan bersama, adalah korban yang seyogianya menjadi sumber semangat penegakan hukum.

Fungsi utilitarian ini kiranya tidak dapat memuaskan keinginan ekstrim-patologis publik agar, misalnya, setiap penjahat korupsi dijatuhi hukuman mati. Namun, hukum yang berorientasi pada korban akan membentuk empat aset psikologis dalam memburu para kriminal korupsi.

Yakni, pertama, kekebalan pada diri penegak hukum untuk tidak larut dalam intimidasi psikopolitik yang dilakukan para koruptor. Kedua, aparat hukum tetap memandang pelaku korupsi sebagai individu rasional yang harus menanggung segala konsekuensi perbuatannya. Ketiga, kemampuan aparat hukum dalam membaca reaksi psikis si pelanggar hukum akan turut mempengaruhi kejernihan berat ringannya vonis yang dijatuhkan. Keempat, sensitivitas penegak hukum terhadap pentingnya rehabilitasi korban dan langkah-langkah yang lebih luas guna mereduksi potensi terjadinya kasus pelanggaran hukum sejenis di waktu mendatang.

Permasalahannya, ada keadaan yang ironi. Berada dalam rentang waktu sekian lama dengan status sebagai pihak yang dikorbankan, ternyata masih belum cukup kuat mempertahankan empati di dalam diri Megawati terhadap orang-orang tertindas. Megawati masih hidup, namun napas kesejiwaan yang dulu pernah ditunjukkannya kepada para korban agaknya kini telah terlanjur mati suri. Wallaahu a'lam.

Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr A Syafii Ma'arif, minta agar pemerintah berani menembak mati para koruptor, seperti yang dilakukan Cina. Pernyataan kedua pemimpin organisasi Islam itu menggarisbawahi kembali pentingnya ketegasan dan keberanian Pemerintah dalam memerangi korupsi di Indonesia.

Permintaan di atas bukan tergolong hal baru. Banyak kalangan telah mengajukan usulan yang sama, setelah menyaksikan ketidakbecusan Pemerintahan Megawati di bidang penegakan hukum.

Publik boleh kecewa, karena justru belum lama ini Presiden Megawati telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan khalayak tentang keseriusan rezim Megawati dalam menindak para pelaku kejahatan korupsi di negeri ini. Tanpa membaca naskah, ada dua poin penting yang diutarakan Megawati berkenaan dengan sikapnya terhadap ide tentang pentingnya eksekusi mati bagi para pelaku korupsi.

Butir pertama, kengganannya untuk menerapkan hukuman seberat-beratnya, termasuk hukuman mati, kepada para koruptor. Alasan Megawati, pernyataan tentang pentingnya vonis mati seperti yang diberlakukan, di Cina hanya akan menjadikan dirinya sebagai sasaran kecaman karena telah melanggar hak azasi manusia.

Tags: