Prioritas Rekonstruksi Hukum Nasional
Tajuk

Prioritas Rekonstruksi Hukum Nasional

Perdebatan tak kunjung habis teori-teori sosial tentang peran hukum dalam perubahan masyarakat tidak seharusnya menghasilkan keraguan tentang keharusan melakukan perubahan mendasar atas sistem hukum dan pranata hukum untuk mengatur dan menunjang kehidupan masyarakat modern yang harus demokratis, transparan, dan berkeadilan. Karenanya, tidak menjadi penting benar apakah hukum yang mengatur perubahan masyarakat sebagaimana diteorikan oleh Roscoe Pond, atau hukum mengikuti dengan rajin dari belakang perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Prioritas Rekonstruksi Hukum Nasional
Hukumonline

Pada akhirnya, bila sistem hukum dan pranata peradilan dibutuhkan untuk  menyelesaikan perbedaan nilai atau konflik  kepentingan, dia sudah ada di sana siap untuk beraksi atau digunakan oleh pencari keadilan dengan nilai-nilai kekiniannya yang diterima mayoritas anggota masyarakat melalui sistem perwakilan dan debat publik yang luas.

Yang menjadi perhatian utama kita di Indonesia selama ini, sekaligus juga yang menjadi kelemahan kita adalah adalah bagaimana menentukan prioritas perubahan hukum nasional dan institusi hukum kita.  Pada zaman Orla dan Orba, prioritas utama lebih ditujukan pada penyesuaian hukum Belanda dan hukum adat dengan nilai-nilai Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Di sela-sela usaha tersebut, banyak lahir kebijakan publik yang menekankan perlindungan kelanggengan penguasa dan sekelompok tertentu yang berada dalam sistem perlindungan penguasa.

Soekarno begitu banyak nuansa politiknya dalam melahirkan kebijakan-kebijakan publiknya. Soeharto begitu kental nuansa KKN-nya dalam kebijakan-kebijakan publiknya. Masa Habibie begitu singkat, sehingga sulit untuk mengenangnya dalam melahirkan kebijakan publik yang penting. Benar bahwa masa pemerintahan Habibie terlihat begitu produktif dalam melakukan perubahan hukum secara besar-besaran bila dilihat dari jumlah dan substansi peraturan yang dilahirkan dalam waktu singkat. Di masa inilah kebebasan pers mencapai awal dari proses demokratisasi dan keterbukaan di Indonesia.  Namun, aspek ini lebih dikenang sebagai hasil tuntutan zaman saja karena siapapun yang berkuasa pada waktu itu tidak akan mempunyai opsi lain kecuali memenuhi tuntutan perubahan demikian oleh masyarakat.

Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, prioritas perubahan hukum kita banyak ditentukan oleh tuntutan harmonisasi hukum Indonesia dengan ketentuan-ketentuan WTO Agreement. Intinya adalah bahwa ekonomi harus lebih liberal dan setiap anggota WTO termasuk Indonesia mau tidak mau harus menjadi bagian dari sistem ekonomi dunia yang liberal. Semua anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua anggota seperti juga perlakuannya terhadap pelaku bisnis di negaranya sendiri (national treatment)

Sistem ekonomi yang terbuka, diharapkan bisa memunculkan masyarakat ekonomi yang demokratis. Desakan dunia usaha dan kelas menengah baru yang lahir dari proses ini  diharapkan juga akan melahirkan suatu pemerintahan yang demokratis. Jadi ada semacam teori  konspirasi dunia untuk menekan dilakukannya demokratisasi dari pintu kebijakan ekonomi semua anggota WTO.

Belum lagi  selesai kita merumuskan kebijakan perubahan itu, yang sama sekali tidak memprioritaskan perubahan mendasar di sistim peradilan dan pendidikan hukum kita, Indonesia dilanda krisis ekonomi begitu dahsyat yang menjadikannya seakan mempunyai argumen kuat untuk menunda proses perubahan (penyesuaian) tersebut.

Pemerintahan Gus Dur diakui memberikan kepercayaan akan tumbuhnya proses demokratisasi. Sayangnya, manajemen pemerintahan jauh dari baik, komunikasi dengan elite politik dan masyarakat umum tidak efektif. Sementara pemahaman akan masalah-masalah hukum, apalagi penentuan prioritas rekosntruksi hukum nasional sangat menyedihkan. Padahal semua lembaga yang dikira harus ada untuk menunjang sistim pemerintahan yang demokratis telah dibentuk.

Tags: