Tugas Berat Mengadili Pelanggaran Pemilu
Fokus

Tugas Berat Mengadili Pelanggaran Pemilu

Pengadilan perkara pidana pemilu 2004 harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas. Lalu, hukum acara apa yang akan dipakai?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Tugas Berat Mengadili Pelanggaran Pemilu
Hukumonline

Tugas Pak Azirman ke depan memang akan semakin berat, terutama menyambut Pemilu 2004, kata Jamintel Basrief Arif, saat memberikan kata sambutan dalam acara pisah sambut itu.

Basrief pasti bukan sedang menakut-nakuti bawahannya. Bagaimanapun, sebagai pejabat Direktur Sosial Politik, Azirman-lah yang bertanggung jawab mewakili kejaksaan dalam urusan tetek bengek pemilu. Masalahnya, persoalan pemilu sangat rawan konflik dan pelanggaran hukum. Sementara, seperti dia akui sendiri, Azirman adalah pejabat baru yang minus pengalaman di Ibukota. Karirnya sebagai jaksa lebih banyak dihabiskan di berbagai daerah.

Tentu saja, Azirman tidak bisa terlalu larut dalam persoalan itu. Dalam dua pekan terakhir, ia harus sudah intens mengikuti rapat-rapat dengan Kepolisian dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Hasilnya, pekan lalu (29/10) Kejaksaan ikut menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Mabes Polri dan Panwaslu.

Ketiga institusi itu membuat kesepakatan mengenai berbagai hal seputar peradilan perkara-perkara Pemilihan Umum. Katakanlah semacam petunjuk dan pelaksanaan (juklak) alias pedoman peradilan pemilu.  Isi kesepakatan itu akan dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB).

Menurut Didik Supriyanto, anggota Panwaslu, salah satu butir yang diatur dalam SKB adalah pelaksanaan proses penyelesaian sengketa dan tindak pidana Pemilu, termasuk melalui pengadilan.

MA pun tak ketinggalan

Kalau SKB mengatur pengadilan Pemilu, mengapa Mahkamah Agung (MA) selaku lembaga peradilan tertinggi tidak diikutkan dalam kesepakatan? Menurut cerita Didik, semula MA diundang untuk terlibat. Tetapi lembaga negara di bawah pimpinan Bagir Manan itu menolak.

Agar tidak ada intervensi terhadap proses pengadilannya kelak, ujar Didik memberi alasan. Sehingga, dalam pembicaraan terakhir hingga penandatanganan MoU, MA sengaja tidak dilibatkan lagi.

Toh, tidak ikut menandatangani MoU, bukan berarti MA tidak perduli. Buktinya, sehari kemudian (30/10) Bagir Manan juga mengumumkan bahwa MA juga sedang mempersiapkan Juklak pengadilan pemilu. Bahkan, Steering Committee-nya juga sudah dibentuk dan Bagir Manan langsung bertindak sebagai ketua.

Pro kontra hukum acara

Bagir menjelaskan, hanya pelanggaran pemilu yang bersifat pidana saja yang akan dibawa ke pengadilan. Sementara, sengketa hasil Pemilu menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.

Yang menjadi masalah, kata Bagir, adalah hukum acara yang akan dipakai. Ucapan Bagir ini berbeda dengan penjelasan Kapuspenkum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman sebelumnya. Menurut Kemas, proses peradilan Pemilu tetap menggunakan KUHAP sebagai acuan. Penjelasan Kemas sesuai bunyi pasal 131 Undang-Undang No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Tetapi, kata Bagir, kalau hukum acara  biasa yang dipakai, itu berarti menggunakan sistem majelis hakim. Dengan sistem, ini dikhawatirkan penyelesaian perkara Pemilu akan memakan waktu lama. Bagir justeru berpendapat bahwa kasus pidana pemilu diselesaikan oleh hakim tunggal agar dapat diselesaikan dengan cepat.

Memang ada penyebutan KUHAP, tetapi menurut Bagir, harus ada terobosan untuk bisa melaksanakan peradilan yang cepat. Kami harapkan pengadilan tidak menjadi penghambat proses Pemilu, kata Bagir.

Waktu terbatas

Harapan Bagir agar peradilan tidak menghambat Pemilu bukan tanpa dasar. Pelanggaran Pemilu baik yang berupa sengketa maupun pidana harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Undang-Undang No. 12/2003 sudah memberi batasan yang tegas.

Sesuai ketentuan pasal 127 UU No.12/2003, lembaga yang bertugas menerima semua laporan  pelanggaran Pemilu adalah Panwaslu. Laporan bisa disampaikan secara lisan maupun tertulis.  Laporan sudah harus disampaikan paling lambat 7 hari sejak peristiwa pelanggaran Pemilu terjadi.

Panwas juga sudah harus membuat keputusan paling lambat 7 hari sejak menerima laporan. Kecuali, jika dirasakan penting untuk meminta keterangan tambahan dari pelapor. Dalam kondisi seperti ini, Panwas diberi waktu 14 hari untuk mengambil keputusan.

Kalau laporan itu bersifat sengketa maka yang bertugas menyelesaikan adalah Panwas dalam waktu paling lama 14 hari sejak pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan. Kalau mengandung unsur pidana, Panwas langsung menyerahkan ke penyidik Polri. Jika ditemukan cukup bukti, penyidik akan meneruskannya ke penuntut.

Proses penyidikan, menurut ketentuan pasal 131 Undang-Undang No. 12/2003, sudah harus selesai dalam waktu 30 hari terhitung laporan dari Panwas masuk. Jika berkas penyidikan sudah selesai (P-21), paling lama 7 hari berkas tersebut harus diserahkan ke jaksa penuntut. Dalam waktu 14 hari, berkas tersebut harus dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut.

Di pengadilan, ada dua jenis waktu yang dipakai. Untuk tingkat pengadilan negeri, putusan sudah ada paling lama 21 hari, dan di tingkat banding, maksimal memakan waktu 14 hari. Patut dicatat bahwa pelanggaran pemilu tidak mengenal sistem kasasi. Untuk pelanggaran pemilu yang ancaman hukumannya di bawah 18 bulan, pengadilan negeri (PN) merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Jika ancamannya lebih dari 18 bulan, bisa diajukan banding ke pengadilan tinggi (PT), sebagai putusan terakhir dan mengikat.

SEMA No. 1/1999

Menurut Ketua MA Bagir Manan, dalam waktu dekat lembaga yang dia pimpin akan mengeluarkan Juklak dalam bentuk surat edaran. Kelak, itulah yang menjadi acuan bagi hakim-hakim yang akan menangani dan mengadili perkara pemilu.

Sebenarnya, berdasarkan penelusuran hukumonline, lembaga tertinggi dunia peradilan itu sudah pernah mengeluarkan sebuah surat edaran menyangkut Pemilu, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 1999. SEMA yang dikeluarkan pada 17 Maret 1999 itu ditujukan kepada para Ketua PN dan Ketua PT seluruh Indonesia.

Ada empat poin penting yang tertuang dalam SEMA yang ditandatangani Sarwata, Ketua MA saat itu. Pertama, agar para hakim memberikan prioritas terhadap perkara-perkara Pemilu, tetapi dengan tetap memperhatikan azas sederhana, cepat dan biaya ringan. Terkait dengan penyelesaian perkara Pemilu 2004 nanti, menarik untuk menunggu bagaimana aturan MA soal biaya perkara pemilu.

Kedua, perlunya dibentuk majelis khusus dimana anggotanya bukan hakim yang telah ditunjuk sebagai anggota Panwas. Ketentuan ini terkait dengan banyaknya hakim yang menjadi anggota Panwas, baik di Pusat maupun di daerah, pada Pemilu 1999.

Ketiga, menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan, terutama yang berkaitan dengan eksekusi pengosongan. MA tampaknya khawatir eksekusi putusan pengadilan akan berdampak menimbulkan kerawanan yang dapat mengganggu Pemilu. Penangguhan eksekusi itu mulai berlaku sejak masa kampanye hingga selesainya tahap penetapan hasil pemilu.

Keempat, penyebarluasan isi SEMA kepada seluruh hakim di Indonesia agar ketentuan-ketentuan tersebut diketahui secara luas. Para Ketua PN dan PT juga diwajibkan untuk menjelaskan maksud SEMA kepada para hakim di lingkungan kerja masing-masing.

Yang jelas, Pemilu 2004 sudah menjelang, tinggal hitungan bulan. Pemilu 2004 jelas berbeda dengan 1999. Penanganan perkara pelanggaran Pemilu 2004 harus jauh lebih baik dari lima tahun lalu.

Azirman agaknya sudah membayangkan tugas berat di depan mata. Saat acara pisah sambut di Sasana Pradana Kejaksaan Agung, awal Oktober lalu, mantan Kajati Bengkulu itu nyaris tak menyunggingkan senyum seperti lazimnya pejabat baru yang baru dipromosi.

Azirman memang baru saja dilantik menjadi Direktur Sosial Politik, sebuah jabatan eselon dua di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen. Ia menggantikan pejabat lama di tengah persiapan pemilu yang mulai memanas.

Halaman Selanjutnya:
Tags: