Beberapa Kelemahan Ketentuan Pembatalan Putusan Arbitrase
Yana Risdiana*

Beberapa Kelemahan Ketentuan Pembatalan Putusan Arbitrase

Keyakinan yang amat kuat telah berkembang seputar keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase daripada pengadilan. Faktor yang sering disebut-sebut adalah kecepatan proses dan finalitas putusan. Seberapa cepat dan seberapa final dalam kenyataannya perlu dicermati mengingat ketika terjadi kebuntuan tawar-menawar dari para pihak sejak perkara digelar –i.e penunjukkan arbiter—sampai pemenuhan isi putusan (baca: eksekusinya), maka ujung-ujungnya ke pengadilan juga agar para pihak mau patuh.

Bacaan 2 Menit
Beberapa Kelemahan Ketentuan Pembatalan Putusan Arbitrase
Hukumonline
Tulisan ini tidak mengklaim satu-satu kemungkinan campur-tangan pengadilan dalam arbitrase. Wacana dibatasi pada pasca putusan arbitrase dijatuhkan dimana pihak yang kalah (the aggrieved party) bisa menghadang putusan yang final dan mengikat melalui upaya pembatalan. Permasalahan bukan terletak pada mengapa harus ada ketentuan pembatalan oleh pengadilan mengingat tidak ada jaminan atas kesempurnaan proses hukum di arbitrase.
 
Yang agaknya perlu dicermati, apakah pemeriksaan oleh pengadilan akan mengulang kembali pemeriksaan pokok perkara yang telah dipertimbangkan dan diputus oleh arbitrase?

Jika terjadi demikian, maka pengadilan yang memeriksa upaya pembatalan telah berubah fungsinya menjadi pengadilan banding. Selain itu, perlu dilihat sejauh manakah peran pengadilan dalam menentukan nasib putusan arbitrase setelah permohonan pembatalan dikabulkan.

Dalam tulisan ini, Penulis menemukan ambiguitas dalam perumusan ketentuan Pasal 70 dan 72 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Akan dibahas juga mengenai kemungkinan adanya hak para pihak untuk menambah atau melepaskan ketentuan pembatalan sekiranya mereka tidak puas atas ketentuan itu dalam UU Arbitrase.

Ambiguitas dalam Pasal 70

Sedikitnya terdapat dua isu yang menarik dijadikan bahan diskursus dari Pasal 70 UU Arbitrase, yaitu: munculnya ambiguitas dalam rumusan Penjelasan dan ketentuan tersebut tidak realitis melindungi kepentingan Pemohon dalam melaksanakan hak-haknya.

Menurut Pasal 70 UU Arbitrase, alasan-alasan permohonan pembatalan adalah apabila ada  surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Alasan lainnya,  setelah putusan diambi,l ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan pihak lawan.  Alasan terakhir pembatalan, putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Sementara itu, Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase menyatakan: ....Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.

Penjelasan ini di satu sisi menggariskan, Pemohon harus menyertakan bukti putusan pengadilan untuk mendukung alasan Permohonan. Di sisi lain, memperhatikan kata "dapat" dari kalimat …putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan… seolah-olah hakim diberi keleluasaan untuk menggunakan atau tidak menggunakan putusan pengadilan tersebut sebagai dasar pertimbangannya. Jika begitu, apakah hakim diberi peluang untuk memeriksa permohonan yang alasan-alasannya tidak dibuktikan dengan putusan pengadilan?

Jika maksud pembuat UU Arbitrase memang begitu, maka hakim dalam mempertimbangkan alasan-alasan permohonan akan sulit menghindarkan kepada pemeriksaan ulang pokok perkara yang telah dipertimbangkan dalam Putusan Arbitrase. Padahal UU Arbitrase tidak memberi kewenangan kepada hakim untuk memeriksa ulang perkara sebagaimana tersirat dinyatakan oleh Penjelasan Pasal 72 Ayat (2): "....Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan...."

Jadi, yang berhak memeriksa ulang perkara adalah lembaga arbitrase-nya. Itulah sebabnya Bab VII UU Arbitrase menggunakan istilah pembatalan dan bukan banding dimana dalam upaya yang terakhir ini hakim diberi wewenang untuk memeriksa ulang seluruh materi perkara.

Perkara Krakatau Steel

Beberapa permasalahan ini mengemuka dalam perkara PT. Krakatau Steel melawan International Piping Product, Inc. (IPP) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. PT.Krakatau Steel,mengajukan alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase dengan tidak disertai bukti putusan pengadilan. Sesuai Putusan No. 282/Pdt.P/2002/PN.Jak.Sel tanggal 16 Oktober 2002, Hakim mengabulkan seluruh permohonan Pemohon.  

Dalam pertimbangannya, hakim membenarkan alasan-alasan Pemohon yang tidak dibuktikan putusan pengadilan dengan mendasarkan pada argumen bahwa cukup alasan-alasan tersebut dituangkan dalam putusan hakim yang memeriksa perkara permohonan pembatalan tersebut. Hakim menyatakan pula bahwa penjelasan undang-undang tidak mengikat sehingga penyertaan putusan pengadilan yang mendukung alasan-alasan permohonan bukanlah keharusan.

Hakim tidak mendasarkan pertimbangannya dari peluang dalam masalah kata dapat dalam penjelasan Pasal 70 sebagaimana diuraikan di atas, melainkan dari argumen bahwa penjelasan undang-undang tidak mengikat. Argumen ini sangat aneh mengingat azas yang sudah diakui dalam ilmu hukum bahwa antara batang tubuh undang-undang dan penjelasan adalah satu-kesatuan sehingga materi penjelasan pun harus dianggap sebagai norma hukum.

Sementara itu, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan cukup dituangkan dalam putusan hakim yang memeriksa perkara permohonan tersebut sangat menarik dianalisis sejauh mana konsistensinya dengan pendapat hakim sendiri yang menyatakan bahwa dirinya tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara. Kita lihat bagaimana hakim mempertimbangkan unsur-unsur yang didalilkan oleh Pemohon dikaitkan dengan Pasal 70 UU Arbitrase.

Terhadap alasan dokumen palsu, hakim menyimpulkan dengan. kalimat, "....surat-surat tersebut dapat dikatakan dokumen yang dapat dinyatakan palsu. Penggunaan istilah "dapat dinyatakan palsu" berarti baru menduga suatu kepalsuan. Artinya, hakim belum mempertimbangkan apakah sebenarnya dokumen yang diperiksa itu palsu atau tidak sebagaimana tampak dari tidak ada amar putusan yang menyatakan dokumen palsu.

Padahal, Pasal 70 butir (a) UU Arbitrase menggunakan istilah "dinyatakan palsu" yang menunjukkan bahwa perlu ada putusan pengadilan yang menyatakan dokumen tersebut palsu dan bukan dugaan atas kepalsuan agar suatu permohonan dapat dikabulkan.

Mengenai alasan tipu muslihat, hakim pada pokoknya menyatakan bahwa Putusan Arbitrase diambil dari hasil tipu muslihat Termohon (IPP) sewaktu proses penawaran barang kepada Pemohon dimana surat-surat penawaran memuat SWRCH8A, sementara dalam SPA menjadi SWRCH8R.

Padahal, Pasal 70 (c) UU Arbitrase menentukan batasan masalah tipu muslihat yang timbul selama pemeriksaan sengketa dalam persidangan arbitrase, seperti: apakah ada permasalahan dalam proses pengangkatan para arbiter. Sebaliknya, hakim telah mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi di luar masalah pemeriksaan sengketa, yaitu fakta-fakta pada saat berlangsungnya negosiasi.

Masalah selanjutnya, katakanlah bukti putusan pengadilan memang wajib disertakan, apakah Pemohon akan memiliki cukup waktu mempersiapkan bukti putusan tersebut mengingat waktu yang tersedia setelah putusan arbitrase dijatuhkan sampai batas waktu pengajuan permohonan pembatalan adalah kurang dari 60 hari? Hitungan ini merujuk pada jangka waktu 30 hari untuk pendaftaran putusan arbitrase  (vide Pasal 59) ditambah jangka waktu permohonan pembatalan selama 30 hari (vide Pasal 71).

Terhadap persyaratan permohonan pembatalan sesuai Pasal 70(b) mengenai unsur "ditemukan dokumen bersifat menentukan yang disembunyikan lawan", Pemohon harus mengajukan bukti baru (novum). Sidang pengesahan bukti baru, sebagaimana dilakukan dalam upaya permohonan Peninjauan Kembali, dalam prakteknya bisa dilakukan dalam jangka waktu kurang dari dua bulan. Akan tetapi, sekiranya yang akan diajukan sebagai alasan oleh Pemohon adalah Pasal 70(a) mengenai unsur  untuk persidangan perkara pemalsuan dokumen dan tipu-muslihat agaknya tidak ada jaminan bisa dilakukan secepat itu.

Selain itu, katakanlah, kalau novum baru ditemukan setelah dua bulan sejak putusan arbitrase, maka Permohonan akan ditolak hakim dengan alasan melampaui jangka waktu yang ditentukan. Tentu saja keadaan ini akan menyinggung rasa keadilan, karena bisa jadi sekiranya bukti baru tersebut dipertimbangkan akan melahirkan putusan yang berbeda.

Ambiguitas dalam Pasal 72

Pasal 72 UU Arbitrase menyatakan: Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Penjelasannya menyatakan:Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase (cetak miring dari Penulis).

 

Hakim dalam memeriksa perkara Permohonan Pembatalan Arbitrase dibatasi oleh Pasal 70 UU Arbitrase sehingga tidak berwenang untuk memeriksa ulang pokok perkara yang telah dipertimbangkan dan diputus oleh Arbitrase. Tapi, mencermati Pasal 72 Ayat (2) UU Arbitrase, tampaknya akan timbul kesulitan bagi hakim untuk menghindari pemeriksaan kembali pokok perkara.

 

Pertama-tama, masalah frase pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase. Frase ini mengindikasikan, seandainya unsur pembatalan terbukti, maka belum tentu seluruh Putusan Arbitrase dibatalkan. Bagaimana diktum putusan hakim yang membatalkan sebagian Putusan Arbitrase? Dalam hal Putusan Arbitrase mengabulkan tuntutan Penggugat berupa suatu prestasi (i.e memberi, berbuat, atau tidak berbuat sesuai KUHPerdata), maka untuk membatalkan sebagian putusan tersebut, hakim akan menilai pokok perkara di arbitrase, seperti: mengurangi putusan ganti-rugi, biaya, atau denda.

 

Asumsikan para Pemohon pembatalan mengajukan alasan yurisdiksi arbitrase yang keliru atau masalah independensi arbiter Hal-hal ini pun, menurut penulis, hakim tidak diberi wewenang untuk mempertimbangkannya. Masalah yurisdiksi seharusnya sudah diselesaikan dalam arbitrase dimana pihak Tergugat dapat mengajukannya melalui upaya gugatan rekonpensi sesuai Pasal 42 UU Arbitrase.

 

Di Amerika Serikat, dalam perkara Howsam v. Dean Witter Reynolds, Inc (123 S. Ct. 588 (2002), , para pihak sudah sepakat untuk menyelesaiakan sengketa melalui arbitrase. Akan tetapi, sebelum persidangan dimulai, Tergugat dalam forum arbitrase mengajukan permohonan ke pengadilan distrik agar dinyatakan bahwa arbitrase tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Pengadilan menolak permohonan dengan alasan kewenangan untuk menilai arbitrase berwenang mengadili atau tidak, harus diserahkan kepada arbiternya. Pengadilan banding membatalkannya, tetapi Mahkamah Agung mengukuhkan putusan pengadilan distrik.

 

Hal serupa juga berlaku untuk masalah independensi arbiter. Masalah ini seharusnya telah diperiksa secara seksama dalam arbitrase sebagaimana peluangnya diatur dalam Pasal 22 UU Arbitrase. Selain itu, adalah logis jika hakim tidak diperkenankan lagi memeriksa masalah arbiter karena selama arbitrase bersidang, para pihak diberi kesempatan yang luas untuk mempersoalkan independensi arbiter melalui hak ingkar.

 

Katakanlah hak ingkar yang diajukan satu pihak ditolak pihak lawannya atau arbiter yang diingkari tidak mau mengundurkan diri, maka sesuai Pasal 25 UU Arbitrase, pihak yang menggunakan hak ingkarnya dapat menuntut penggantian arbiter ke pengadilan negeri.

 

Oleh karena itu, intervensi pengadilan sesungguhnya telah ada selama persidangan arbitrase berlangsung. Sehingga, amat berlebihan jika setelah putusan Arbitrase diambil timbul intervensi dari pengadilan untuk masalah yang sama.

 

Selanjutnya, masalah lain dalam Pasal 72 Ayat (2) UU Arbitrase adalah frase arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase bisa secara formal seperti lewat Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau arbitrase ad hoc yang khusus dibentuk atas kesepakatan para pihak bersengketa. Sekiranya arbiter yang sama diperintahkan hakim untuk memeriksa kembali perkara, hal ini bisa terjadi jika unsur pembatalan terbukti dimana nantinya arbiter tersebut akan mempertimbangkan unsur tersebut dalam persidangan arbitrase.

 

Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak mengatur apakah hakim (untuk sengketa melalui BANI) diharuskan mengganti arbiter dengan arbiter lain dari lembaga yang sama atau boleh pihak di luar lembaga tersebut? Jika yang terakhir ini dilakukan, apakah tetap lembaga formanya BANI atau berubah menjadi arbitrase ad hoc?

 

Dalam perkara PT. Pura Barutama melawan Perum Percetakan Uang RI, hakim sesuai Putusan Pengadilan Negeri Kudus No. 30/Pdt.P/2002/PN.KDS membatalkan Putusan Arbitrase BANI dan menentukan akibat pembatalan dengan mengangkat arbiter baru untuk memeriksa kembali perkara dimana persidangannya tidak dilakukan di BANI, melainkan di Kudus. Putusan ini amat mengherankan karena hakim telah mengabaikan Perjanjian para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui BANI.

 

Perlu juga dicermati, berkaitan dengan kemungkinan adanya putusan pengadilan yang memerintahkan kepada lembaga arbitrase untuk memeriksa ulang perkara, apakah hasil putusan pemeriksaan ulang tersebut dapat kembali diajukan permohonan pembatalan? UU Arbitrase tidak mengaturnya. Karena ini merupakan celah hukum, maka bisa saja dalam kenyataannya terjadi sehingga memberikan gambaran yang tidak menyenangkan untuk suatu kepastian hukum.

Pesoalan lainnya adalah frase sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Kata lagi menunjukkan bahwa semula perkara tersebut dapat dan telah diselesaikan (artinya diperiksa dan diputus) di lembaga arbitrase, tetapi setelah diperiksa hakim, penyelesaian sengketa harus oleh lembaga lain. Jika tidak arbitrase, apakah berarti pengadilan yang bewenang mengadilinya?  Logikanya, jika hakim hendak menjatuhkan putusan seperti ini, maka harus dibatalkan dulu perjanjian arbitrasenya. Hal ini sulit dilakukan, karena bukankah kewenangan untuk menilai suatu perjanjian arbitrase batal atau tidak merupakan wewenang dari arbiter?

Tags: