Undang-undang Advokat Dimohonkan Judicial Review
Utama

Undang-undang Advokat Dimohonkan Judicial Review

Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia mendaftarkan permohonan pengujian materiil Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. APHI menilai beberapa pasal Undang-undang Advokat melanggar hak asasi para advokat maupun calon advokat.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Undang-undang Advokat Dimohonkan <i>Judicial Review</i>
Hukumonline

 

Sekadar informasi, dua pasal pertama yang dimintakan judicial review adalah pasal-pasal mengenai syarat untuk menjadi advokat. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Advokat adalah mengenai syarat latar belakang pendidikan hukum untuk menjadi advokat. Kemudian, Pasal 3 ayat (1) huruf d adalah pasal mengenai usia minimal seseorang untuk dapat diangkat menjadi advokat.

 

Sedangkan, Pasal 32 ayat (3) adalah pasal yang memberikan kewenangan kepada delapan organisasi advokat untuk menjalankan tugas dan kewenangan Organisasi Advokat secara bersama-sama, selama Organisasi Advokat belum terbentuk. Kedelapan organisasi itu adalah Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI.

 

Dorma mengatakan bahwa pasal-pasal tersebut telah melanggar hak-hak konstitusional para pemohon yang diatur dalam UUD 1945. Khusus mengenai Pasal 32 ayat (3), Dorma menilai bahwa pasal tersebut membatasi hak-hak konstitusional warga negara untuk berorganisasi yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

 

Kemudian, Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-undang Advokat dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Dorma, Pasal 3 ayat (1) huruf d melanggar kepentingan konstitusional para calon advokat karena membatasi hak-hak calon advokat yang usianya masih di bawah 25 tahun.

 

"Kita beranggapan Undang-undang itu telah melanggar hak konstitusi kita, termasuk juga para calon advokat," ucap Dorma. Ia mengatakan setidaknya terdapat tiga orang non advokat yang ikut menandatangani judicial review Undang-undang Advokat.

 

Dalam kesempatan yang sama, Dorma juga mengatakan bahwa keputusan APHI mengajukan judicial review Undang-undang Advokat tersebut terkait dengan kandasnya pendekatan Koalisi Advokat Publik dan Hak Asasi Manusia (KAP-HAM) kepada pimpinan KKAI beberapa waktu lalu.

 

Ahmad Fadlil mengatakan bahwa berkas permohonan judicial review Undang-undang Advokat baru akan didaftar di buku penerimaan berkas. Menurutnya, pihak pemohon masih harus melengkapi permohonan dengan bukti-bukti pendukung sebelum permohonan tersebut dicatat dalam buku register perkara. Pemohon diberikan waktu tujuh hari untuk melengkapi persyaratan administratif permohonannya.

Penyerahan berkas permohonan uji materiil Undang-undang Advokat kepada kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Ketua Umum Asosiasi Penasehat Hukum Indonesia (APHI), Dorma H. Sinaga dan diterima oleh Wakil Panitera Mahkamah Konstitusi Ahmad Fadlil (10/11). Secara keseluruhan terdapat sebelas pihak, termasuk APHI, yang bertindak selaku pemohon dalam permohonan tersebut.

 

Dorma mengatakan bahwa ada tiga pasal Undang-undang Advokat yang dimintakan judicial review. Ketiga pasal Undang-undang Advokat tersebut adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) huruf d, dan Pasal 32 ayat (3). Dalam permohonannya, APHI meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Tags: