Pemohon Judicial Review Undang-undang Advokat Masih akan Ditambah
Utama

Pemohon Judicial Review Undang-undang Advokat Masih akan Ditambah

Ketua Umum Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia mengajak kepada semua pengacara publik di seluruh Indonesia untuk ikut serta menjadi pihak dalam permohonan judicial review Undang-undang Advokat.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Pemohon Judicial Review Undang-undang Advokat Masih akan Ditambah
Hukumonline

 

Sementara ini, sebelas pihak yang tercatat sebagai pemohon uji materiil Undang-undang Advokat adalah APHI, Hotma Timbul, Saor Siagian, Mangapul Silalahi, Piterson Tanos, Jon B. Sipayung, Ester I. Jusuf, Charles Hutabarat, Norma Endawati, Reinhart Parapat, dan Basir Bahuga.

 

Sekadar mengingatkan, APHI serta sepuluh pihak lainnya mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang Advokat terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Dalam permohonannya tersebut, APHI Cs meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan tiga pasal Undang-undang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Adapun ketiga pasal Undang-undang Advokat yang dimohonkan judicial review tersebut adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) huruf d, dan Pasal 32 ayat (3). Kecuali Pasal 32 ayat (3) yang mengatur soal delapan organisasi advokat yang diakui oleh Undang-undang Advokat, dua pasal yang disebut pertama adalah pasal-pasal mengenai persyaratan untuk diangkat menjadi advokat.

 

Dorma menyadari bahwa kini pihaknya berhadap-hadapan langsung dengan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang di dalamnya berhimpun delapan organisasi advokat yang diakui Undang-undang Advokat. Menurut Dorma, Koordinator KKAI Otto Hasibuan telah mengetahui rencana APHI untuk men-judicial review Undang-undang Advokat.

 

Di mata APHI, kebijakan KKAI yang mendahulukan verifikasi advokat ketimbang pembentukan Organisasi Advokat sebagaimana diperintahkan Undang-undang Advokat tidak bisa dipahami. "Soalnya yang ditugaskan Undang-undang adalah pembentukan organisasi yang dua tahun itu. Verifikasi tidak ditugaskan oleh undang-undang," tandas Dorma.

 

Terlebih lagi, dari penjelasan yang diberikan oleh para pimpinan KKAI, Otto dan Denny Kailimang, Dorma menangkap bahwa keduanya belum dapat memastikan ke mana arah pembentukan organisasi Advokat, apakah akan berbentuk wadah tunggal atau federasi.

 

"Hanya dia mengatakan kemungkinan besar akan berbentuk federasi. Tapi, kita keberatan, kalau memang kemungkinan besar, kenapa kawan-kawan KKAI yang sekarang ini, senior-senior kita, kok tidak mengambil sikap lebih dulu memutuskan wadah yang mana yang mau mereka bentuk? Justeru mereka menatapkan masalah verifikasi," tukas Dorma.

 

Mirip Intervensi

Sesuai ketentuan Undang-undang No.24 Tahun 2003, dalam pemeriksaan persidangan majelis hakim konstitusi berwenang memanggil pihak-pihak terkait dengan Undang-undang yang diajukan judicial review. Artinya, selain pihak pemerintah ataupun DPR, Mahkamah Konstitusi bisa memanggil wakil KKAI untuk didengar keterangannya di dalam persidangan.

 

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mengenal upaya hukum yang mirip dengan intervensi dalam persidangan perdata. Upaya hukum tersebut sudah dilakukan oleh Indonesia Media Law and Policy Center (IMPLC) dalam perkara judicial review Undang-undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

 

Lembaga yang diketuai oleh Hinca Panjaitan tersebut telah mengirimkan surat dan meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk dijadikan sebagai pihak dalam judicial review yang diajukan oleh kelompok masyarakat penyiaran. Upaya hukum ini dibenarkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie yang mengatakan akan mengikutsertakan IMPLC dalam pemeriksaan persidangan berikutnya.

 

Menurut Dorma, APHI memiliki tidak kurang dari 150 orang anggota yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Saat ini, kata Dorma, memiliki tiga DPD yaitu di Propinsi Banten, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Selain itu, APHI juga memiliki DPC di lima wilayah DKI Jakarta.

 

Terkait dengan Mahkamah Konstitusi, APHI tercatat sebagai satu dari sejumlah LSM yang menjadi pemohon pertama di persidangan Mahkamah Konstitusi yang diadakan pada 4 November silam. APHI berserta LSM lainnya mengajukan judicial review Undang-undang Ketenagalistrikan (No.20/2002), Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (No.22/2001), serta Undang-undang Surat Utang Negara (No.24/2002).

Dorma H. Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Azasi manusia (APHI), menghimbau kepada para pengacara publik untuk mengambil sikap terhadap Undang-undang Advokat yang merugikan hak konstitusional mereka yang diatur konstitusi.

 

Hal tersebut diungkapkan Dorma kepada hukumonline usai menyerahkan berkas permohonan judicial review Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat ke kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, pada Senin (10/11). "Kami berharap rekan-rekan kami yang lain, para pengacara publik, berani mengambil sikap terhadap Undang-undang Advokat," tegasnya.

 

Terkait dengan waktu tujuh hari yang diberikan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi agar para pemohon melengkapi berkas permohonannya, Dorma mengatakan bahwa pihaknya juga berencana menggunakan waktu tersebut untuk menambah jumlah pemohon dalam permohonan uji materiil. Ia berharap seluruh pengacara publik yang ada di Indonesia bisa ikut dalam permohonan tersebut.

Tags: