Pasal Gocap Bisa Menodai Wibawa Mahkamah Konstitusi
Fokus

Pasal Gocap Bisa Menodai Wibawa Mahkamah Konstitusi

Satu dari 14 perkara pertama Mahkamah Konstitusi adalah permohonan uji materiil Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI terhadap UUD 1945. Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, menyebutnya sebagai perkara yang "agak khusus". Kenapa?

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Pasal <i>Gocap</i> Bisa Menodai Wibawa Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

 

Sekadar mengingatkan, Pasal 50 Undang-undang No.24/2003 berbunyi, "Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

 

Kemudian dalam penjelasan Pasal 50 Undang-undang No.24/2003 disebutkan bahwa, "Yang dimaksud dengan 'setelah perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945' adalah perubahan pertama Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 2003".

 

Namun, ada beberapa fakta lain terkait dengan permohonan judicial review Undang-undang No.14/1985 ini. Pertama, permohonan tersebut pertama kali diajukan pada 5 Februari 2003, saat kewenangan Mahkamah Konstitusi masih dilaksanakan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 dan Perma No.2/2002. Sehingga, dasar hukum yang dipakai oleh pemohon masih menggunakan dua ketentuan di atas.

 

Kedua, saat diajukan ke MA, permohonan tersebut sebetulnya sudah tidak comply dengan Perma No.2/2002. Pasalnya, berdasarkan Perma No.2/2002, judicial review undang-undang terhadap UUD diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak undang-undang tersebut disahkan.

 

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara di atas, majelis hakim Mahkamah Konstitusi memberi kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya agar sesuai dengan Undang-undang No.24/2003.

 

Melanggar Konstitusi

Terlepas dari ada-tidaknya perkara permohonan judicial review Undang-undang No.14/1985, Pasal 50 Undang-undang No.24/2003 memang merupakan satu masalah tersendiri. Tidak berlebihan kiranya, jika dikatakan bahwa Pasal 50 tersebut bisa menodai kewibawaan Mahkamah Konstitusi di kemudian hari.

 

Mengenai Pasal 50 Undang-undang No.24/2003, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti berpendapat bahwa pasal tersebut secara jelas bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih lagi, bertentangan dengan semangat adanya Mahkamah Konstitusi, yaitu untuk melakukan checks and balances.

 

"Menurut saya, Pasal 50 Undang-undang Mahkamah Konstitusi melanggar Pasal 24C UUD karena sudah memberikan batasan yang berlebihan di luar konstitusi. Kenapa? Karena konstitusi tidak memberikan batasan apapun untuk pengujian undang-undang. Padahal, ini (Mahkamah Konstitusi-red) bentuk yang paling telanjang dari trias politica, bagaimana cabang kekuasaan kehakiman bisa mengecek kekuasaan legislatif " jelas Bivitri kepada hukumonline.

 

Bivitri mengatakan, secara teoritis, DPR dan Pemerintah sebagai pembuat undang-undang tidak punya wewenang apapun untuk "menterjemahkan" konstitusi secara berbeda. "Apalagi pembatasannya bersifat substansial sehingga mengurangi hak-hak warga negara untuk mengajukan permohonan uji undang-undang yang telah diberikan dalam konstitusi," tandasnya.

 

Pandangan seperti yang diungkapkan Bivitri tampaknya tidak berlebihan. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 24C ayat (1) yang tidak menetapkan batasan apapun terhadap hak dan kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa judicial review, serta hak konstitusional warga negara untuk mengajukan judicial review undang-undang manapun terhadap UUD 1945.

 

Secara gamblang dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, …".

 

Lebih jauh, Bivitri mempertanyakan alasan di balik pembatasan pengajuan judicial review hanya bagi undang-undang yang diundangkan setelah amandemen pertama konstitusi. Ia menilai, pemerintah maupun DPR tidak mempunyai alasan yang bisa dipertanggungjawabkan di balik pembatasan hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi terkait dengan judicial review tersebut.

 

"Di sini jadi bisa muncul pertanyaan, apakah semangatnya mau melindungi produk-produk Orde Baru? Atau, sekadar alasan teknis supaya Mahkamah Konstitusi jadi tidak terlalu banyak pekerjaan? Saya tidak bisa melihat alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk periode pembatasan ini sehingga saya punya kecurigaan politik," urai Bivitri.

 

Terlebih lagi, Bivitri melihat bahwa Pasal 50 justeru bertentangan dengan semangat Undang-undang No.24/2003 sebagaimana dijabarkan dalam Penjelasan Umum-nya: "Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi".

 

"Jadi, di sana ada semangat 'koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi' Bukankah sudah banyak studi yg menyatakan bahwa 'tafsir ganda' itu justru banyak terjadi di masa Orde Baru ke belakang karena lembaga-lembaga negara dan sistem ketatanegaraan mandul total karena totalitarianisme," cetus Bivitri.

 

Keprihatinan senada juga diungkapkan oleh advokat senior Arief T. Surowidjojo. Pembatasan pengajuan judicial review oleh Pasal 50, menurut Arief, bisa menimbulkan dampak yang buruk terhadap dunia usaha. Pasalnya, justeru produk hukum peninggalan Orde Baru lah yang banyak merugikan kepentingan rakyat banyak,termasuk dunia usaha.

 

"Sehingga Mahkamah Konstitusi tidak dapat menjangkau kebijakan publik yang tercantum dalam undang-undang yang diberlakukan masa pemerintahan Orde Baru atau bahkan di saat masih carut marutnya reformasi. Padahal, justru di periode tersebutlah mungkin terjadi banyak pengeluaran kebijakan publik yang bertentangan dengan kepentingan publik," papar Arief dalam artikelnya yang dimuat di hukumonline. (Lebih jauh baca: "Mahkamah Konstitusi dan Dunia Usaha").

 

Penolakan terhadap bunyi Pasal 50 itu, sebetulnya sudah muncul dari Fraksi PDI-P saat pengambilan keputusan RUU Mahkamah Konstitusi antara DPR dan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM pada 6 Agustus 2003.

 

Waktu itu, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan, landasan yang dikemukakan oleh pemerintah -- terkait dengan pembatasan judicial review -- adalah bahwa selama berlakunya UUD 1945, baik pada periode pertama maupun periode setelah Dekrit Presiden tahun 1959, UUD 1945 sama sekali tidak mengakui keberadaan Mahkamah Konstitusi.

 

Lebih dari itu, Yusril menambahkan, UUD 1945 juga tidak mengakui institusi manapun yang berwenang melakukan review atau ujian terhadap undang-undang jika dihadapkan kepada UUD. "Baru ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 kita mengakui keberadaan Mahkamah Konstitusi dan mengakui keberadaan kewenangan dari lembaga itu untuk melakukan pengujian terhadap UU," tegasnya. (Selengkapnya baca: "KRHN: Ini Mahkamah Konstitusi Bunuh Diri").

 

Interpretasi Hakim

Sementara itu, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin, memandang Pasal 50 sebagai upaya untuk menghalang-halangi masyarakat dalam memperoleh keadilan. Padahal, sebagai institusi baru, Mahkamah Konstitusi diharapkan oleh masyarakat dapat membawa cahaya penegakan hukum yang selama ini diimpikan.

 

Namun, kendala tersebut bukan berarti jalan keadilan melalui Mahkamah Konstitusi berujung pada jalan buntu. "Beberapa hakim konstitusi berpandangan cukup progresif melihat bahwa konteks judicial review itu memang tidak ada batasan sama sekali. Jadi, amat bergantung dari UUD. Tinggal bagaimana kemudian para hakim ini menempatkan Pasal 50 itu dalam konteks UUD-nya," kata Firman kepada hukumonline.

 

Sebagai pengawal konstitusi, ucap Firman, para hakim konstitusi seharusnya lebih mengedepankan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD ketimbang ketentuan undang-undang. Apalagi, jika ketentuan yang diatur dalam undang-undang bertentangan dengan UUD.

 

"Kalau bagi saya melihatnya bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution, rujukannya adalah rujukan konstitusi, bukan undang-undang. Undang-undang itukan yang menjadi objek untuk di-review, diselidiki, dan dikaji oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan bagaimana ketentuannya atau norma atau prinsip dalam konstitusi, " demikian menurut Firmansyah.

 

Jadi, menurut Firmansyah, lebih baik para hakim Mahkamah Konstitusi mengacu kepada ketentuan Pasal 24C UUD 1945, karena Pasal 50 Undang-undang No.24/2003 jelas-jelas bertentangan dengan UUD. "Dan, secara tidak langsung para hakim itu telah melakukan judicial review terhadap dirinya sendiri ketika melakukan proses-proses itu," cetusnya.

 

Dengan demikian, Firmansyah menambahkan, sikap yang akan diambil majelis hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara judicial review Undang-undang No.14/1985 seperti disebutkan diatas, bisa sangat menentukan bagi masyarakat pencari keadilan.

 

Ia berpendapat, jika majelis hakim Mahkamah Konstitusi akhirnya melanjutkan pemeriksaan permohonan judicial review tersebut – dengan asumsi bahwa semua persyaratan permohonan maupun legal standing pemohon terpenuhi --  maka hal tersebut dapat menjadi preseden yang baik. Dan yang lebih penting lagi, kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai sang pengawal konstitusi akan tetap terjaga.

Jika dibandingkan dengan tiga belas perkara permohonan judicial review lainnya, barangkali permohonan judicial review Undang-undang No.14/1985 itu dapat dikatakan kurang populer. Masyarakat atau pers lebih tertarik dengan judicial review terhadap Undang-undang Ketenagalistrikan, Undang-undang Minyak dan Gas Bumi, atau Undang-undang Penyiaran yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat luas.

 

Yang membuat perkara yang diajukan hakim Pengadilan Negeri Padang, Machri Hendra, itu menjadi "agak khusus", bukanlah materi dari permohonannya. Yang dipermasalahkan oleh Machri adalah prosedur bagi hakim dari jalur karier dan non karier untuk menjadi hakim agung. Ia menilai prosedur yang diatur dalam Undang-undang No.14/1985 tidak adil bagi hakim dari jalur karier. Bukan hal yang baru, tentu saja.

 

Akan tetapi, jika permohonan sang hakim itu dihubungkan dengan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU No.24 Tahun 2003), lain lagi ceritanya. Jika melihat ketentuan Pasal 50 Undang-undang No.24/2003, permohonan judicial review sang hakim bisa otomatis gugur. Alasannya, berdasarkan pasal itu Mahkamah Konstitusi hanya menerima judical review undang-undang yang lahir sebelum 19 Oktober 1999.

Tags: