Suap pun Merebak di Pengadilan Talak
Fokus

Suap pun Merebak di Pengadilan Talak

Suap di pengadilan, jelas bukan cerita baru. Bahkan ketua Mahkamah Agung pun telah mengakuinya. Tapi, bagaimana dengan suap di pengadilan agama? Apakah virus akut yang biasa terdapat di pengadilan umum itu juga mewabah di pengadilan yang menyandang kata agama di belakangnya ini?

Oleh:
Inayah Assegaf
Bacaan 2 Menit
Suap pun Merebak di Pengadilan Talak
Hukumonline

 

Walau susunan majelis hakim telah ditentukan, ternyata persidangan perkaranya tidak kunjung dimulai. Lama menunggu, Ibu setengah baya ini pun mendatangi hakim. Ternyata, agar perkara dapat disidangkan, ia harus membayar Rp50 ribu untuk satu hakim, untuk setiap sidang. Karena jumlah hakim ada empat orang, maka setiap sidang ia harus membayar Rp200 ribu.

 

Semakin berlarut-larut sidang, maka biaya yang keluar akan lebih besar lagi. Untuk biaya pemanggilan penggugat, saksi dan lain-lain, ia harus membayar Rp25 ribu untuk setiap surat.

 

Usai sidang, hakim ketua meminta Ibu Dewi membayar Rp600 ribu untuk pembuatan akte cerai. Lama ditunggu, ia tidak kunjung mendapatkan akte itu. Ketika ditanyakan, ternyata ia harus membayar lagi sebesar Rp850 ribu kepada hakim  untuk menebus akte cerai itu.  

 

Sebenarnya, di awal persidangan, Ibu Dewi ditawari untuk membayar di muka seluruh biaya dan tinggal terima beres. Uang muka itu berkisar Rp2,5 juta sampai Rp3 juta. Tapi, karena kondisi keuangannya pas-pasan, ia memilih membayar setiap proses satu demi satu, seperti disebutkan di atas. Jadi, setiap ia mempunyai uang, ia membayar pada hakim untuk memulai sidang, saat punya uang lagi, ia membayar untuk membuat akta cerai. Begitulah berlanjut terus.

 

Koko, anak kandung Ibu Dewi, berseloroh bahwa jika ibunya yang mengurus sendiri dan berpenampilan sangat bersahaja saja harus membayar sebanyak itu, ia tidak bisa membayangkan berapa yang harus dibayar oleh artis terkenal, orang kaya atau mereka yang didampingi pengacara.

 

Dalam SK Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.PA.3/4/K/KU.03.2/900/2002, yang dimuat dalam buku "Publikasi Hak Masyarakat dalam Bidang Identitas", terbitan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), disebutkan bahwa panjar biaya perkara Tingkat I adalah Rp427 ribu (lihat tabe di bawahl).

 

Dalam buku itu disebutkan bahwa saat memasuki proses bercerai di pengadilan, penggugat atau pemohon diharuskan membayar uang panjar biaya perkara pada saat pendaftaran perkara ke Panitera. Panitera akan menulis perincian penggunan biaya yang telah dikeluarkan, misal untuk biaya pemanggilan, administrasi dan lain-lain.

 

Bila pengeluaran lebih besar dari biaya panjar yang telah dibayar, maka penggugat/pemohon harus membayar kekurangannya. Namun, bila pengeluaran lebih kecil dari uang panjar yang dibayar, maka kelebihan pembayaran itu seharusnya dikembalikan pada tahap akhir proses perceraian.

 

"Namun pada prakteknya hal ini jarang terjadi. Bahkan seringkali biaya perkara yang harus anda bayar jauh di atas biaya resmi yang tercantum dalam akta cerai", demikian buku itu. Di situ juga disebutkan bahwa besarnya biaya perkara umumnya memang tidak diumumkan di pengadilan agama. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui berapa biaya yang harus mereka bayar.

 

Roy, pengacara di Jakarta, menyatakan suap terjadi di tingkat panitera maupun hakim. Dari pengalamannya mengurus perceraian kliennya, biaya di Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah yang tertinggi, dibanding pengadilan agama di wilayah lain di Ibukota.   

 

Menurut Roy, membayar hakim bisa dilakukan di awal persidangan, di tengah atau di akhir. Setelah mendaftar, sebelum sidang di mulai, jika ia merasa kondisi perkaranya tidak memungkinkan untuk sesuai prosedur, ia akan mendatangi hakim yang menangani perkara tersebut. "Misalnya, kita tidak punya saksi atau salah satu pihak tidak mau datang, kita ngomong pada hakim, nanti ia akan bantu," ujarnya.

 

Alkisah Roy pernah secara langsung menemui ketua pengadilan dan menjelaskan masalahnya. "Saat itu juga ketua pengadilan itu langsung memanggil panitera dan menyatakan kalau ia yang akan menangani perkara itu," tambahnya.

 

Menurut sarjana hukum lulusan sebuah universitas di Depok ini, hakim tidak menyebut angka yang harus dibayar, tapi ia sudah tahu berapa yang harus ia bayar.  Untuk perkara yang 'normal-normal saja', ia harus membayar Rp500 ribu sampai Rp1 juta. "Itu untuk mempermulus saja dan hanya untuk hakim ketua, belum anggota majelis lain," cetusnya.

 

Misalnya hakim pernah menjanjikan pada Roy bahwa ia akan menghalangi anggota majelis lain menanyakan pertanyaan yang bisa menyudutkan kliennya. Pembayaran dilakukan saat itu juga di ruangan hakim

 

Kalau pembayaran di awal dimaksudkan untuk mempermudah, maka pembayaran di akhir adalah sebagai ucapan terimakasih dan untuk persahabatan ke depan. Sementara pembayaran di tengah dilakukan untuk membujuk hakim. "Misalnya, kita bilang, masuk akal nggak pak, masa dia yang meninggalkan rumah, tapi tetap minta uang mut'ah atau hadhanah. Atau mengatur soal perwalian anak atau harta gono-gini. Kalau harta gono-gini, biasanya mereka minta bagian," kata Roy.

 

Untuk kasus yang tergolong abnormal, kisahnya lain lagi. Misalnya, salah-satu perkara yang ditangani Roy belum lama ini. Saat itu, pasangan yang hendak bercerai, dua-duanya berada di luar negeri dan tidak bisa pulang karena alasan visa.

 

Panitera yang menerima pendaftaran menyatakan bisa mengatur agar perkara itu ditangani oleh ketua pengadilan. Setelah bertemu, ketua pengadilan menyanggupi untuk menyidangkan dan memutus perkara itu, tanpa kehadiran kedua belah pihak.  Roy membayar hakim Rp5 juta dan panitera Rp500 ribu.

 

"Ibaratnya tiket pesawat pulang Rp15 juta, masa lima juta kita nggak ngasih sih," ucapnya. "Kalau nggak bayar, mana mungkin putus, pasti disuruh pulang dulu penggugat dan tergugatnya", tambahnya.

 

Lebih tertutup

Mereka yang mengurus perceraiannya dengan didampingi pengacara dari LBH APIK, tampaknya lebih beruntung. Berdasarkan pengalaman Astuty Liestianingrum, aktivis LBH APIK, selama ia mendampingi 'mitra', hakim ragu untuk meminta uang. Namun, jika kliennya datang sendiri, biasanya mereka diminta untuk membayar lebih dari yang seharusnya.

 

"Untuk membayar biaya pendaftaran saja, mereka diminta membayar Rp400-500 ribu, tapi di kuitansi yang tertera hanya  Rp290 ribu atau Rp300 ribu. Saat mereka minta kuitansi untuk sisanya, tidak dikasih," kata Lies.

 

Berdasarkan pengamatan Lies, hanya Pengadilan Agama Jakarta Utara yang mengumumkan SK Ketua Pengadilan Agama mengenai biaya perkara. Tapi, walau telah diumumkan, biaya yang diminta tetap melebihi biaya yang tercantum dalam pengumuman itu. 

 

Meski tidak pernah mengalami langsung, Lies menyatakan, permainan uang di pengadilan agama kerap terjadi. "Kalau yang cerai itu orang besar, orang yang mempunyai banyak uang, permainan uang itu pasti terjadi," tuturnya.

 

Lies menuturkan cerita mitranya, seorang ibu, yang menyatakan pernah memberi uang pada hakim ketika mengurus perceraian. Ketika datang ke LBH APIK, perkara perceraiannya itu telah selesai. Saat itu, walau merasa posisinya kuat, ibu tadi takut tidak diberi hak perwalian anak, karena ia merasa yakin bahwa suaminya yang pengusaha kaya pasti membayar hakim. Karena takut dikalahkan, maka ia juga membayar pada hakim, untuk memastikan agar ia memperoleh hak perwalian.

 

Karena itu, Lies berpendapat, sama dengan di pengadilan umum, di pengadilan agama juga terjadi suap-menyuap. Hanya saja tidak seterbuka di pengadilan negeri dan jumlahnya tidak sebanyak yang terjadi di pengadilan negeri.

 

Berdasarkan pengaduan masyarakat yang masuk ke Komisi Ombudsman Nasional (KON), selama tiga tahun belakangan, peradilan selalu berada pada urutan teratas. Pada 2001, prosentase terlapor di pengadilan adalah, MA (20 persen), Pengadilan Tinggi (13 persen), Pengadilan Negeri (58 persen), Pengadilan Agama (4 persen) serta Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (5 persen).

 

"Pada tahun 2002, prosentase laporan yang masuk untuk Pengadilan Agama juga 4 persen", ujar  Elisa Luhulima, Asisten Ombudsman di KON.

 

Ini berarti bahwa korupsi memang terjadi juga di pengadilan agama, meski dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan pengadilan umum. Walaupun, jumlah perkara di pengadilan umum jelas lebih banyak ketimbang perkara di pengadilan agama.

 

Tidak Banyak

Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Wahyu Widiana, mengakui adanya hakim dan panitera yang menerima suap. Namun, menurut Wahyu, jumlahnya tidak banyak.  Apalagi, pihaknya bersama Inspektorat Jenderal Departemen Agama terus melakukan pembenahan.

 

Bersama dengan Inspektorat Jenderal, ia telah memberikan sanksi terhadap hakim hakim yang ketahuan menerima suap. "Ada yang tidak boleh sidang, ada yang dari ketua pengadilan, menjadi staf, bahkan dulu-dulu ada yang dipecat, seperti ketua pengadilan agama Ciamis," ujar Wahyu kepada hukumonline.

 

"Bahkan, dulu, ketika Irjennya pak Slamet, setiap bulan diumumkan hasil temuan berikut sanksinya dalam setiap upacara bulanan", tambahnya.

 

Menurut Wahyu, selama ini, Irjen melakukan penemuan dan hasilnya kemudian diserahkan kepada Direktur Pembinaan untuk ditindaklanjuti. Rekomendasi dari Irjen biasanya sudah jelas, misalnya diturunkan pangkatnya, dicopot sebagai ketua, atau dipindahkan.

 

Data persis mengenai jumlah hakim yang telah dikenai sanksi, menurut Wahyu ada di Irjen, sehingga ia tidak mengetahui jumlah pastinya. Jumlahnya pun tidak signifikan. Jumlah kasus suap di pengadilan agama, menurut Wahyu, relatif sedikit dibanding jumlah pengadilan agama yang 343 di seluruh Indonesia. Bahkan belakangan ini, sepanjang ingatan Wahyu, tidak ada hakim yang dicopot dari jabatannya, seperti beberapa tahun lalu.

 

Wahyu menyatakan, laporan yang masuk dari pengacara banyak, namun setelah di cek, ternyata mereka melapor karena perkaranya kalah. Dan biasanya mereka tidak mau membuka jati dirinya. 'Kalau pengacara kan mestinya berani bilang, saya kasih, ini ada buktinya, atau kalau tidak ada bukti kan ada saksi, atau ada indikatornya'.

 

Meski membuktikan adanya suap sangat sulit, Wahyu berpendapat ada indikator yang bisa menjadi patokan. Misalnya, hakim yang berhubungan dengan pengacara di luar sidang, biasanya merupakan indikasi bahwa hakim itu ada main dengan pengacara. Karena itu, Wahyu sangat sepakat dengan Ketua MA, Bagir Manan, yang melarang hakim menerima tamu. "Kalau hakim membicarakan perkara ya di sidang dong", tukasnya. 

 

Di sisi lain, Wahyu merasa mempunyai kendala dalam melakukan pembinaan terhadap hakim. Salah-satu cara untuk menangkal suap adalah hakim tidak boleh bertugas di satu tempat terlalu lama. "Jangan sampai ada yang lima enam tahun di satu tempat. Kalau bisa tiga tahun saja, paling lama empat tahun,"

 

Namun, Depag sering tidak dapat melakukan rotasi. Pasalnya, selama ini pemindahan hakim pengadilan agama dilakukan tanpa biaya negara. Jadi, jika hakim pengadilan agama pindah ke suatu tempat, tidak ada rumah dinas dan tidak ada biaya untuk pindah. Wahyu membandingkan dengan hakim peradilan umum yang mendapat biaya untuk pindah dari negara dan banyak sekali rumah dinas hakim peradilan umum yang tidak dipakai.

 

Menurut dia, kondisi peradilan agama sangat menyedihkan. Jangankan  kendaraan, gedung-gedungnya saja menyedihkan. Padahal, pengadilan agama dan pengadilan umum sama-sama lembaga kekuasaan kehakiman yang eksistensinya disebutkan dalam UUD, tapi di lapangan lain.

 

Soal biaya perkara, Wahyu menyatakan, ia telah meminta agar biaya persidangan dicantumkan di ruang tunggu pengadilan agar transparan. Di banyak pengadilan agama, menurutnya, biaya perkara itu telah dicantumkan, dan kalau tidak ada, Wahyu tidak segan-segan menegur.

 

Bahkan di beberapa tempat, seperti di Kalimantan Selatan, selain memasang biaya perkara, pengadilan agama di sana juga memasang kaligrafi arrosi wal murtasi fin naar; yang menyuap maupun yang disuap sama-sama masuk neraka. Apakah hakim, pengacara dan masyarakat tergerak dengan peringatan itu ? Wallahua'lam.

 

Biaya Proses Berperkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

 

Panjar Biaya Perkara

Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Selatan

Berdasarkan SK. Ketua Pengadilan Jakarta Selatan No. PA.J/ 4/ K/ KU. 03.2/ 900/ 2002

 

 

No.

Uraian

Tarif

Keterangan

 

A.      Panjar Biaya Perkara Tingkat  I

 

 

1.

Biaya pencatatan                                              

Rp 26.000,-

 

2.

Biaya Administrasi

Rp 50.000,-

 

3.

Lain-lain atas perintah ketua

Rp 75.000,-

 

4.

Biaya panggilan penggugat/ pemohon (panggilan 1) 2x Rp 30.000,-

Rp 60.000,-

 

5.

Biaya panggilan tergugat/ termohon (panggilan 2) 3x Rp 30.000,-

Rp 90.000,-

 

6.

Biaya panggilan saksi  (panggilan 3) 2 x Rp 30.000,-

Rp 60.000,-

 

7.

Biaya Materai

Rp   6.000,-

 

8.

Biaya pemberitahuan putusan untuk penggugat & tergugat

Rp 60.000,-

 

 

Jumlah

Rp 427.000,-

 

 

Untuk cerai talak ditambah biaya panggilan

Rp 60.000,-

 

 

Jumlah

Rp 487.000,-

 

 

 

 

 

 

Biaya iklan :

 

 

 

Iklan radio (radio At Thahiriyah)sebanyak 2x

Rp 50.000,-

 

 

Iklan koran (Harian Pelita)

 

 

 

menyesuaikan tarif iklan di media massa sebanyak 2x

 

B.      Panjar biaya banding   

Rp   540.000,-

 

 

C.      Panjar biaya kasasi

Rp   916.000,-

 

 

D.      Panjar biaya Peninjauan Kembali

Rp 2.856.000,-

 

 

 

 

 

                                                     

Jakarta, 3 Juli 2002

Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan

 

 

Ttd

Drs. H. Zainuddin Fajari, S.H

Nip 15499888

 

 

Biaya Proses Berperkara di Pengadilan Agama Jakarta Pusat

 

 

Lampiran     : Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tentang Panjar 

               Biaya Perkara pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat

Nomor         : PA.j/1/Ku.03.2/552.b/2002

Tanggal       : 4 Juli 2002

 

1. Panjar Biaya Perkara Tingkat Pertama

 

No.

Uraian

Biaya

Keterangan

1.        

Biaya pencatatan

Rp. 26.000,-

 

2.        

Biaya administrasi

Rp. 50.000,-

 

3.        

Biaya lain-lain atas perintah Ketua

Rp. 75.000,-

 

4.        

Biaya panggilan Penggugat/Pemohon (2x panggilan)

Rp. 60.000,-

 

5.        

Biaya panggilan Tergugat/Termohon (3x panggilan)

Rp. 90.000,-

 

6.        

Biaya pangilan saksi 2x panggilan sidang (2 orang saksi)

Rp. 60.000,-

 

7.        

Biaya materai

Rp. 6.000,-

 

8.        

Biaya pemberitahuan isi putusan untuk Penggugat dan Tergugat

Rp. 60.000,-

 

 

Jumlah

Rp. 427.000,-

 

 

 

 

 

 

Untuk cerai talak ditambah biaya panggilan ikrar (Pemohon dan Termohon)

Rp. 60.000,-

 

 

Jumlah

Rp. 487.000,-

 

 

 

Sumber: Buku Publikasi Hak Masyarakat dalam Bidang Identitas (PSHK)

 

 

Attachment :

 

Biaya Iklan

 

No.

Uraian

Biaya

1.        

Iklan Radio (2x)

Rp. 50.000,-

2.        

Iklan koran (2x)

Menyesuaikan tarif iklan media massa yang dipergunakan

 

 

2. Panjar Biaya Banding

 

 

No.

Uraian

Biaya

Keterangan

1.        

Biaya yang dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama Jakarta

Rp. 124.000,-

 

2.        

Biaya proses di Pengadilan Agama, meliputi:

 

 

 

a. Biaya pencatatan

Rp. 26.000,-

 

 

b. Biaya penyampaian pemberitahuan banding

Rp. 30.000,-

 

 

c. Biaya penyampaian memori banding

Rp. 30.000,-

 

 

d. Biaya penyampaian kontra memori banding

Rp. 30.000,-

 

 

e. Biaya pemberitahuan inzage kepada Pembanding dan Terbanding

Rp. 60.000,-

 

 

f. Biaya pemberitahuan isi putusan banding kepada Pembanding dan Terbanding

Rp. 60.000,-

 

 

g. Biaya pengiriman Banding melalui pos

Rp. 30.000,-

 

3.        

Biaya pemberkasan meliputi foto copy, penjilidan, dll

Rp. 150.000,-

 

 

Jumlah

Rp. 540.000,-

 

 

3. Panjar Biaya Kasasi

 

No.

Uraian

Biaya

Keterangan

1.        

Biaya yang dikirim ke Mahkamah Agung RI

Rp. 500.000,-

 

2.        

Biaya proses di Pengadilan Agama, meliputi:

 

 

 

a. Biaya pencatatan

Rp. 26.000,-

 

 

b. Biaya pemberitahuan pernyataan kasasi

Rp. 30.000,-

 

 

c. Biaya pemberitahuan memori kasasi

Rp. 30.000,-

 

 

d. Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi

Rp. 30.000,-

 

 

e. Biaya pemberitahuan inzage kepada Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi

Rp. 60.000,-

 

 

f. Biaya pemberitahuan isi putusan banding kepada Pemohon kasasi dan Termohon Kasasi

Rp. 60.000,-

 

 

g. Biaya pengiriman kasasi melalui pos

Rp. 30.000,-

 

3.        

Biaya pemberkasan meliputi foto copy, penjilidan, dll

Rp. 150.000,-

 

 

Jumlah

Rp. 916.000,-

 

 

 

4. Panjar Biaya Peninjauan Kembali

 

No.

Uraian

Biaya

Keterangan

1.        

Biaya yang dikirim ke Mahkamah Agung RI

Rp. 2.500.000,-

 

2.        

Biaya proses di Pengadilan Agama, meliputi:

 

 

 

a. Biaya pencatatan

Rp. 26.000,-

 

 

b. Biaya pemberitahuan dan penjelasan Peninjauan Kembali

Rp. 60.000,-

 

 

c. Biaya pemberitahuan jawaban Peninjauan Kembali

Rp. 30.000,-

 

 

d. Biaya pemberitahuan isi putusan kepada Pemohon dan Termohon Peninjauan Kembali

Rp. 60.000,-

 

 

e. Biaya pengiriman Peninjauan Kembali melalui pos

Rp. 30.000,-

 

3.        

Biaya pemberkasan meliputi foto copy, penjilidan, dll kasasi dan Termohon Kasasi

Rp. 150.000,-

 

 

Jumlah

Rp. 2.856.000,-

 

 

Sumber: Publikasi Hak Masyarakat dalam Bidang Identitas (PSHK)

"Soal suap, di pengadilan umum maupun pengadilan agama sama saja. Bedanya kalau di pengadilan agama nominalnya lebih kecil dan lebih nggak vulgar", demikian komentar  Roy, bukan nama sebenarnya, seorang pengacara yang pernah beberapa kali mengurus perkara di pengadilan agama.

 

Pendapat senada juga dikemukakan ibu Dewi, juga  bukan nama sebenarnya, yang pernah mengurus sendiri perceraiannya di pengadilan agama. Pendapat ini juga diamini oleh Astuty Liestianingrum, aktivis Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) yang sering mendampingi 'mitra' ke pengadilan agama.

 

Mereka tentu tidak asal omong. Simak cerita Ibu Dewi di bawah ini. Beberapa waktu lalu, Ibu Dewi mengurus sendiri gugatan cerainya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Saat mendaftarkan gugatan, ia diminta membayar Rp165.000. Menurut panitera, itu biaya resmi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: