Efektifitas Undang-undang Pengelolaan Zakat dan Hubungannya dengan Pajak Penghasilan
Fatahillah AS*

Efektifitas Undang-undang Pengelolaan Zakat dan Hubungannya dengan Pajak Penghasilan

Zakat sebagai sebagai salah satu rukun Islam mempunyai ciri khas yang berbeda karena zakat tidak hanya berdimensi vertikal seperti rukun Islam lainnya– yaitu hubungan ibadah kepada Allah SWT – tetapi juga berdimensi horizontal yaitu hubungan ibadah terhadap sesama manusia.

Bacaan 2 Menit
Efektifitas Undang-undang Pengelolaan Zakat dan Hubungannya dengan Pajak Penghasilan
Hukumonline

Perlukah Kewajiban Zakat Diatur Dengan UU ?

Dalam perjalanannya, perdebatan publik mewarnai proses penyusunan UUPZ. Sebagian berpendapat, UUPZ perlu dibentuk, tapi di sisi lain ada juga yang menganggap tidak perlu. Mereka yang tak setuju menyatakan bahwa zakat adalah masalah keimanan dengan Allah SWT semata (dimensi vertikal). Karena itu, pemerintah tak perlu campur tangan dan membiarkan masyarakat saja yang mengaturnya.  Memang, konsekuensi dari UUPZ adalah mempositifkan hal-hal yang tadinya hanya bersifat normatif. Pihak yang menentang menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam karena itu kewajiban zakat tidak perlu diatur dengan sebuah undang-undang.

Sementara, pihak yang mendukung dibentuknya UUPZ menyatakan,  meski prinsip-prinsip zakat dibahas dalam Al-Qur'an, tapi implementasinya di suatu negara perlu diatur dalam undang-undang tersendiri. Tujuannya, agar pengelolaan zakat bisa lebih transparan dan profesional. KH. Ali Yafie berpendapat, berlakunya UUPZ akan mendorong para muzakki (wajib zakat) untuk mengeluarkan zakatnya. Menurutnya, adalah sebuah ironi memang, jika umat Islam yang merupakan 87 persen dari total penduduk Indonesia itu tak memiliki Undang-undang Zakat. Padahal, di negara lain, bahkan Singapura sekalipun yang jumlah muslimnya cuma 15 persen jumlah penduduk atau sekitar 450 ribu jiwa saja UU Zakat itu telah hadir.

Kalau kita menengok sejarah Islam, memang negara ikut berperan dalam menegakkan kewajiban zakat.  Pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq – seorang pemimpin negara yang terkenal akan kelemah lembutannya – bahkan langsung memutuskan memerangi suatu kaum yang membangkang untuk membayar zakat. Beliau berpendapat, kalau suatu kaum sudah berani melalaikan kewajiban membayar zakat yang merupakan salah satu fundamen Islam, maka mereka akan berani melalaikan kewajiban lainnya.

Terobosan membentuk UUPZ adalah langkah yang perlu didukung agar pengelolaan zakat dapat dikontrol dan pengelolaannya lebih efektif dan transparan.  Namun memang, UUPZ perlu untuk selalu dikaji dan dikritisi hingga dapat diperbaiki kelemahan-kelemahannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah membuat peraturan-peraturan pelaksanaanya agar UUPZ ini dapat dilaksanakan dengan baik (law in action).

Argumentasi tersebut diatas juga didukung oleh adanya beberapa hal positif yang terjadi setelah ditetapkannya undang-undang tersebut antara lain tumbuhnya kesadaran dari masyarakat kita terutama yang memiliki pekerjaan tetap, seperti para pegawai dalam berbagai level untuk mengeluarkan zakat atau infak dari gaji atau penghasilannya. Hal ini jarang terjadi pada masa sebelumnya.

Kemudian, tumbuhnya kesadaran dari para muzakki untuk menyalurkan zakat melalui Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mereka percayai, yaitu BAZ dan LAZ yang profesional, amanah, transparan, dan dikelola secara profesional, amanah, transparan, dan dikelola secara full-time oleh suatu team work yang solid dan tangguh. Implikasi dari poin kedua di atas, BAZ dan LAZ dapat mendayagunakan dana zakat, infak, dan sedekah tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat konsumtif dan insidental, tetapi juga bersifat produktif dan jangka panjang.

Terobosan dan kelemahan

Hal yang menjadi kelemahan mendasar dari UUPZ ini adalah tidak adanya sanksi hukum bagi para wajib zakat. Padahal, sanksi adalah salah satu unsur norma hukum yang membedakannya dengan norma lain, dan akan membuat UUPZ mempunyai kekuatan yang mengikat dan memaksa.  Ketiadaan sanksi hanya membuat UUPZ hanya bersifat anjuran atau himbauan saja bagi para wajib zakat.

Sanksi dalam UUPZ ini hanya terdapat pada pasal 21 yang menyebutkan setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat dan mencatat dengan tidak benar harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 13 dalam undang-undang, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

Kemudian, diatur pula pada Pasal 21(c), setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kalau kita lihat bunyi pasal di atas, jelas disebutkan bahwa sanksi tersebut hanya dikenakan kepada pengelola zakat (amil), sama sekali tidak menyebut sanksi bagi para pelanggar kewajiban membayar zakat (muzakki).  Hal ini diperparah lagi dengan masalah yurisdiksi, karena UUPZ tidak menyebutkan pengadilan manakah yang berhak untuk mengadili, apakah pengadilan negeri atau pengadilan agama ?

Namun memang harus diakui, akan sulit sekali untuk menerapkan sanksi hukum bagi para pelanggar wajib zakat.  Selain Indonesia bukan negara Islam, masyarakat Indonesia juga terbiasa untuk membayar zakatnya secara informal kepada orang yang mereka percayai (kepada kyai mereka atau masjid sekitar). Jadi akan sulit untuk memaksa mereka untuk membayar melalui BAZIS.

Suatu teroboson hukum yang sangat menarik untuk dikaji dalam UUPZ ini adalah adanya pasal yang menyatakan bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba atau pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud perundang-perundangan yang berlaku ini adalah UU Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000.  Jadi, seorang muslim wajib zakat yang telah menunaikan kewajibannya diberikan insentif berupa pengurangan dari kewajiban pajak penghasilannya.

Namun dalam realitanya hal ini belum bisa dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksanaannya.  Oleh karena itu pihak Departemen Agama perlu segera bekerjasama dengan Dirjen Pajak untuk membuat juklak peraturan ini.

Dimensi horizontal ini mempunyai efek yang luas : secara sosial diharapkan  dapat membangun masyarakat madani atas dasar silaturahmi, dan secara ekonomi menurut Mustaq Ahmad adalah sumber utama kas negara dan sekaligus merupakan sokoguru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan al-Qur'an.  Indonesia, dengan memiliki 180 juta penduduk yang mayoritas muslim, tentunya mempunyai potensi zakat yang luar biasa yang bisa mengangkat perekonomian rakyat. 

Sebagai perbandingan, Malaysia melalui Pusat Pungutan Zakat, dari 3 juta jiwa penduduk dapat mengumpulkan sekitar Rp150 miliar, Kemudian, Singapura melalui Majelis Ugama Singapura, dari 450.000 penduduk dapat mengumpulkan sekitar Rp55 miliar. Sementara, Indonesia melalui Badan Amil Zakat Infak Sadaqah, dari 180 juta penduduknya hanya mengumpulkan sekitar Rp 217 milyar.

Dari data di atas, terlihat bahwa potensi zakat yang berhasil digali di Indonesia masih sangat kecil.  Inilah salah satu alasan dikeluarkannya Undang Undang No.38/1998 tentang Pengelolaan Zakat (selanjutnya disebut UUPZ), agar pengelolaan zakat dapat lebih efektif dan transparan.  Namun, sejak diundangkannya peraturan ini, sudah banyak isu kontroversial di dalamnya.  Dalam artikel ini penulis mencoba menganalisa beberapa isu yang berkaitan dengan efektifitas implementasi UUPZ.

Tags: