Kasus Sipadan-Ligitan Capai Anti-Klimaks di Senayan
Fokus

Kasus Sipadan-Ligitan Capai Anti-Klimaks di Senayan

Kasus hilangnya dua pulau Sipadan-Ligitan mencapai titik anti klimaksnya di sidang paripurna DPR. Ketika dua pulau itu lepas mereka menggebu-gebu mengajukan hak interpelasi, tapi setelah ditanggapi Pemerintah, para anggota dewan malah cuek.

Oleh:
Tri/Amr
Bacaan 2 Menit
Kasus Sipadan-Ligitan Capai Anti-Klimaks di Senayan
Hukumonline

 

Namun para anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna Dewan menjelang masa reses persidangan kedua pada Jum'at, 19 Desember 2003, tidak terlalu menyimak penjelasan Menlu tentang lepasnya Sepadan-Ligitan. Berdasarkan pengamatan hukumonline, kebanyakan para anggota dewan yang hadir malah asyik ngobrol dan keluar masuk ruang sidang paripurna.

 

Padahal sebelumnya, Hak Interpelasi diperjuangkan dengan gigih. Dalam voting, selisih suara yang memperjuangkan hak interpelasi (hak untuk meminta keterangan) menang tipis. Anggota yang menyetujui hak interpelasi berjumlah 117 orang, yang menolak 105 orang dan abstain 1 orang. Ada empat fraksi yang gencar menuntut agar hak interpelasi dilanjutkan adalah Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-PB), F-Reformasi, F-PBB dan F-PDU.

 

Menurut seorang pengusul, Effendi Choirie, yang ditemui sidang paripurna mengatakan bahwa penjelasan pemerintah tentang kalahnya Indonesia memperjuangkan Sipadan dan Ligitan sudah kehilangan momentum. Tapi yang membuat Choirie kecewa, mengapa penjelasan pemerintah soal Sipadan-Ligitan lagi-lagi oleh Menlu, dan bukan Presiden.     

 

Mendengar penjelasan Menlu soal Sipadan-Ligitan, memang terkesan tidak ada yang baru. Namun kalau menilik lebih jauh, penjelasan Menlu seakan-akan kehilangan Sipadan-Ligitan tidak meninggalkan kekecewaan yang mendalam. "Kita kan adu untung membawa kasus Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional," tutur Wirayuda dalam penjelasannya. 

 

Menlu sendiri memandang lepasnya Sipadan-Ligitan, tidak perlu merasa kehilangan. Hal ini mengingat Sipadan-Ligitan tidak pernah masuk wilayah Indonesia. Berdasarkan Undang-undang No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960, Indonesia tidak pernah memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia.

 

Pertimbangan emosional

Menjadi pertanyaan, kalau memang sejak awal kita tidak pernah mengklaim Sipadan-Ligitan  masuk ke wilayah teritorial, mengapa kita harus mengeluarkan effort yang luar biasa untuk memperjuangkannya? Bayangkan saja untuk memperjuangkan  Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit.

 

Yang lebih mengkhawatirkan dari penjelasan Menlu, penilaian beliau terhadap opini yang terbentuk bahwa kita (baca : rakyat) begitu emosional kehilangan Sipadan-Ligitan hanya semata dilandaskan pertimbangan emosional. Ia menegaskan bahwa soal adanya kerugian yang dialami Indonesia, menurutnya, adalah asumsi yang salah. Sebenarnya yang hilang bukan kerugian, tetapi opportunity lost

 

Padahal, kalau kita mencermati, dan ini seharusnya menjadi perhatian dewan selaku wakil rakyat. Kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia.  Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.

 

Berdasarkan hasil pencatatan Dinas Hidro-Oceanografi TNI AL per Januari 2003, ada sekitar 10 pulau terluar Indonesia yang berpotensi menjadi sengketa dengan negara tetangga berbatasan. Hal ini tentu menjadi warning, mengingat hilangnya dua pulau bisa menjadi bumerang kalau kita bisa kehilangan atas pulau-pulau lainnya.

 

Daftar Pulau terluar yang berpotensi menimbulkan sengketa

No.

Nama Pulau

Titik Dasar

Penduduk

Perbatasan

1.

P. Rondo

TD. 177

X

India

2.

P. Berhala

TD. 184

X

Malaysia

3.

P. Nipa

TD. 190 & 190 A

X

Singapura

4.

P. Sekatung

TD. 130B

X

Vietnam

5.

P. Marore

TD. 055

V

Philipina

6.

P. Miangas

TD. 056

V

Philipina

7.

P. Fani

TD. 066

X

Palau

8.

P. Fanildo/Mapia

TD. 072

X

Palau

9.

P. Bras/Mapia

TD. 072A

V

Palau

10.

P. Batek

 

X

Timur Leste

Sumber : Dinas Hidro-Oceanografi TNI AL per Januari 2003

Catatan : X = tidak berpenduduk, dan V = Berpenduduk

 

Atas persetujuan DPR

Sebenarnya, satu-satunya inti dari 'pembelaaan' dari Menlu di hadapan para wakil rakyat adalah bahwa penyelesaian melalui proses hukum di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) bukanlah keputusan dari pemerintahan Presiden Megawati. "Proses hukum di Mahkamah merupakan suatu keputusan politik yang dibuat pada tahun 1997 oleh Presiden Soeharto atau pemerintah Orde Baru," tegas Menlu.

 

Keputusan pemerintahan Soeharto untuk beralih dari jalur diplomasi ke jalur hukum kala itu diambil dengan mempertimbangkan rekomendasi hasil pertemuan wakil Khusus/Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim setelah empat kali mengadakan pertemuan intensif (1995-1996).

 

Kedua wakil khusus tersebut berkesimpulan bahwa mereka tidak melihat solusi lain kecuali menyerahkannya kepada suatu panel hakim internasional yang netral dan berwibawa. Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhammad kemudian menyetujui rekomendasi itu.

 

Selanjutnya, keputusan kedua kepala pemerintahan itu ditindak-lanjuti oleh tim perunding tingkat Menlu yang kemudian merampungkan Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute Between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignity over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, pada 13 Mei 1997. perjanjian ini kemudian diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 49 Tahun 1997.

 

Menlu Wirajuda juga menggarisbawahi bahwa persetujuan bagi pengajuan perkara di Mahkamah Internasional telah diajukan dan mendapat persetujuan dari DPR waktu itu pada 31 Desember 1997 melalui Amanat Presiden No.R.11/Prd/PU/XII/1997. "Menurut catatan pemerintah, Dewan tidak pernah mengajukan keberatan terhadap opsi penyelesaian melalui Mahkamah Internasional sebagaimana yang diputuskan oleh Presiden Soeharto," cetus Menlu.

 

Menlu melanjutkan bahwa tiga pemerintahan sesudah Presiden Soeharto dalam tiga tahun berikutnya melanjutkan penanganan perkara kasus P. Sipadan-Ligitan ini, tidak hanya karena konsistensi kebijakan pemerintah tetapi juga karena komitmen berdasarkan Special Agreement 1997 yang mengikat negara.

 

Miskin ahli hukum internasional

Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali. Salah satunya adalah memperkuat dan memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional. Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial Affairs Deplu, Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum internasional.

 

"Setahu saya di Indonesia belum begitu banyak ahli hukum publik internasional, apalagi hukum publik laut internasional. Kelemahan kita kan di situ," tegas Havas.

 

Apa yang di kemukakan, Havas soal minimnya ahli hukum internasional sedikit banyak menjawab persoalan mengapa kita selalu menjadi pecundang di kancah pergaulan internasional. Berbeda sekali dengan Malaysia, untuk memperjuangkan P. Sipadan dan Ligitan, tidak kurang para ahli lokal mereka sangat diberdayakan.

 

Namun, tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak percaya diri. Salah seorang pengajar hukum internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, sangat menyayangkan adanya rasa tidak percaya diri dari pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan pengacara-pengacara Indonesia dalam membantu para lawyer asing.

 

"Orang-orang asing itu mungkin pandai dalam mengartikulasikan dalam bahasa Inggris. Tetapi, untuk bisa mendapatkan raw materials dan menterjemahkan itu dalam bentuk argumentasi sebenarnya tidak bisa lawyer asing itu sendiri. Harus ada semacam jembatan antara informasi pejabat-pejabat Indonesia yang di-absorb oleh lawyer Indonesia dan kemudian mengkomunikasikan itu ke lawyer asing," ujar Hikmahanto.

 

Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense of belonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata.

 

Havas mengakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk berlaga di Mahkamah Internasional.

 

"Pengacara kita belum ada skillnya kalau untuk berperkara di ICJ. Di ICJ kan very complicated," tutur Havas. Demikian pula dengan pakar hukum publik internasional, di mata Havas, hingga kini belum ada yang bisa menandingi kualitas pakar dari Deplu seperti Prof. Hasyim Djalal atau Prof. Mochtar Kusumaatmadja.

 

'Mafia peradilan' di ICJ

Lebih jauh, Havas menjelaskan bahwa tidak sembarang pengacara yang bisa berpraktek di Mahkamah Internasional. Malah karena demikian sedikitnya pengacara yang menguasai hukum publik internasional, maka di Mahkamah Internasional terciptalah 'mafia peradilan'. Namun, kata Havas, istilah mafia peradilan di Mahkamah Internasional konotasinya sungguh berbeda dengan yang menjamur di Indonesia.

 

"Mafia peradilan di ICJ konteksnya tidak dalam negatif. Dalam artian, karena ahli-ahli hukum internasional yang biasa berperkara di ICJ dalam konteks hukum publik itu tidak banyak. Jadi orangnya itu-itu saja. Jadi, kalau anda lihat dari keputusan-keputusan pengadilan dari berbagai kasus ambillah sepuluh tahun terakhir, even 20 tahun terakhir, orangnya pun itu-itu saja," cetus Havas.

 

Pilihan pemerintah Indonesia waktu itu jatuh kepada law firm Frere & Chomely yang berbasis di Paris, Perancis. "Kami pilih dengan berbagai macam kriteria. Pengalaman mereka di sana, pengalaman kemenangan kasus mereka di sana, berapa banyak mereka menangani kasus hukum laut, kemudian costnya mahal atau tidak, lalu berapa lawyers yang didedicate untuk setiap kasus kita," ungkap Havas.

 

Dengan berbagai pertimbangan itu, alhasil skuad pengacara Indonesia di forum Mahkamah Internasional waktu itu dimonopoli oleh pengacara dan profesor-profesor asing. Padahal, di sisi lain, kubu Malaysia masih percaya diri untuk memanfaatkan ahli-ahli hukum mereka sendiri.

 

Tabel: Persandingan advokat dan pakar pihak Indonesia dan Malaysia pada sengketa Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional

 

Advocates

Counsels

Indonesia

       Alain Pellet, Professor at the University of Paris X-Nanterre, Member and former Chairman of the International Law Commission,

       Alfred H. A. Soons, Professor of Public International Law, Utrecht University,

       Sir Arthur Watts, K.C.M.G., Q.C., Member of the English Bar, Member of the Institute of International Law.

       Mr. Rodman R. Bundy, advocat � la Cour d'appel de Paris, Member of the New York Bar, FrereCholmeley/Eversheds, Paris,

       Ms Loretta Malintoppi, advocat � la Cour d'appel de Paris, Member of the Rome Bar, Frere Cholmeley/Eversheds, Paris.

       Charles Claypoole, Solicitor of the Supreme Court of England and Wales, Frere Cholmeley/Eversheds, Paris,

       Mathias Forteau, Lecturer and Researcher at the University of Paris X-Nanterre, Researcher at CEDIN Paris X (Nanterre).

       Plus, tim yang terdiri dari 26 orang sebagai penasihat umum dan penasihat teknis.

Malaysia

          Sir Elihu Lauterpacht, Q.C., C.B.E., Honorary Professor of International Law, University of Cambridge, Member of the Institut de Droit International,

          Jean-Pierre Cot, Emeritus Professor, University of Paris-I (Panth�on-Sorbonne), Former Minister.

          Mr. James Crawford, S.C., F.B.A., Whewell Professor of International Law, University of Cambridge, Member of the English and Australian Bars, Member of the Institute of International Law,

          Nico Schrijver, Professor of International Law, Free University, Amsterdam and Institute of Social Studies, The Hague; Member of the Permanent Court of Arbitration.

          Dato' Zaitun Zawiyah Puteh, Solicitor-General of Malaysia,

          Halima Hj. Nawab Khan, Senior Legal Officer, Sabah State Attorney-General's Chambers,

          Athmat Hassan, Legal Officer, Sabah State Attorney-General's Chambers,

          Farahana Rabidin, Federal Counsel, Attorney-General's Chambers.

          Plus, tim yang terdiri dari 11 orang  penasihat umum dan penasihat teknis.

Sumber: The Star Online

Bagaimanapun, lepasnya Sipadan-Ligitan dalam kaitannya dengan masalah pengisian konsep negara Kepulauan, telah mengingatkan kembali kepada pemerintah maupun masyarakat Indonesia pada umumnya akan pentingnya pengurusan pulau-pulau tersebut. Pasalnya selama ini seakan kita lupa betapa berartinya praktek pendudukan efektif terhadap pulau-pulau tersebut.

 

Putusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia atas kepemilikan Sipadan- Ligitan, sekali menegaskan betapa pentingnya praktek pendudukan efektif terhadap pulau-pulau yang dianggap tak bertuan. Walaupun dalam sengketa tersebut, pada awalnya para pihak menunjukkan bukti-bukti tertulis berupa catatan sejarah, perjanjian-perjanjian, dan lain-lain. Namun dengan alasan ketidakjelasan dokumen-dekumen tersebut, Mahkamah Internasional mengesampingkannya.

 

Dalam putusannya, Mahkamah Internasional yang memeriksa perkara perebutan Sipadan-Ligitan menyatakan bahwa Malaysia, walaupun dalam jumlah sedikit, terbukti telah melaksanakan pendudukan efektif terhadap pulau-pulau tersebut.

 

Inilah mungkin, secercah pencerahan terhadap bangsa yang tidak tertutup kemungkinan kehilangan integritas atas negara kesatuan kalau tidak cepat belajar terhadap bahaya yang ada di depan mata. Sedangkan terhadap dewan, seharusnya tidak menjadi patah semangat mempertanyakan keseriusan pemerintah mempertahankan nasib wilayah bangsa, meski penjelasan hanya dijawab seorang menteri.

 

Dan terakhir, para anggota Dewan juga mesti jujur kepada masyarakat dan meyakinkan bahwa hak interpelasi soal Sipadan-Ligitan bukan sekadar bertujuan untuk menjatuhkan pemerintah yang menjadi lawan politiknya atau sebagai komoditas politik menjelang pemilu.

 

Boks: Putusan Mahkamah dan Pokok-pokok Pertimbangannya

Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional

1.       Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.

2.       Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4� 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.

3.       Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.

i.   Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

ii.  Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :

a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.

b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;

c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan

d. Pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan

Sumber: Departemen Luar Negeri

 

Pemerintah yang diwakili Menteri Luar Negeri (Menlu) Hasan Wirayuda dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Pertahanan dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang paripurna berharap bisa menjelaskan sepenuhnya apa yang menjadi keinginan para anggota dewan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: