Perjalanan RUU PKB
Fenomena RUU Paling Berdarah dalam Sejarah Indonesia
Fokus

Perjalanan RUU PKB
Fenomena RUU Paling Berdarah dalam Sejarah Indonesia

Kapan kita mau belajar dari pengalaman? Pertanyaan itu yang pertama kali muncul setelah mengumpulkan banyak bahan untuk analisis RUU (Rancangan Undang Undang) PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya). Betapa seringnya bangsa ini terjebak pada situasi darurat atau yang sengaja didaruratkan untuk melanggengkan kekuasaan. Sesungguhnya istilah ini tidak asing bagi kita. Dan dengan sedikit merunut sejarah, kita pasti akan terperangah.

Oleh:
zaenal
Bacaan 2 Menit
<font size='1' color='#FF0000'><b>Perjalanan RUU PKB</b></font><BR>Fenomena RUU Paling Berdarah dalam Sejarah Indonesia
Hukumonline

Berawal dari gejolak politik di masa pemerintahan Soekarno. Pada 14 Maret 1957, Soekarno memberlakukan keadaan darurat perang. Keputusan ini didasarkan pada UU SOB (De Regeling op de staat van Oorlog en Beled) Belanda. Kemudian pada 1957, Soekarno bersama Jenderal A.H. Nasution (penguasa militer saat itu), merumuskan UU Keadaan Bahaya.

Pada 1959 UU itu diubah menjadi Perpu No. 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya. Tahun 1961, peraturan pemerintah itu kembali ditetapkan menjadi UU. Hingga Mei 1963, UU ini banyak memberikan kekuasaan kepada pihak militer dan penguasa. Buktinya selama enam tahun pemberlakuan SOB, pada Desember 1959 KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) mengambil alih semua perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia. Setahun kemudian, pengambilalihan tersebut disahkan lewat UU Nasionalisasi.

Hanya militer? Tidak juga. Soekarno misalnya lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengganti UUDS dengan UUD 1945. Bahkan, pada masa itu Soekarno berani membubarkan lembaga legislatif dan menggantikannya dengan Front Nasional, MPRS, dan DPRGR.

Soekarno juga membredel partai politik yang dianggap tidak sepaham dengannya. Masyumi, PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan Murba dibredel. Tidak hanya itu, pers pun kena getahnya. Dengan dalih SOB, perusahaan penerbitan  setiap saat dapat dituntut ke pengadilan. Sepanjang tahun 1957 saja, tidak kurang 33 penerbitan mengalami nasib sama dengan 3 parpol di atas. Mochtar Lubis (Pemimpin Redaksi Indonesia Raya) mejadi martir di zamannya, karena dinilai menghina pejabat negara Roeslan Abdulgani.

Tindakan subversi

Kondisi SOB berakhir 1 Mei 1963. Tetapi pemerintah menciptakan aturan baru yaitu UU No. 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan Tindakan Subversi. UU ini bukannya mengurangi UU Keadaan Bahaya tapi justru semakin menguatkan daya represi penguasa. Lalu UU tentang Pemberantasan Tindakan Subversi ini yang digandrungi Soeharto untuk memberantas siapa saja yang berseberangan dengannya. Kelaliman penguasa terulang kembali.

Soeharto, penguasa rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun, sering kali menggunakan UU tentang Pemberantasan Tindakan Subversi ini untuk mereka yang berseberangan dengannya. Sebut saja Malari, kasus tanah untuk rakyat, Golput, Santa Cruz, atau 27 Juli yang menjadikan PRD (Partai rakyat Demokratik) sebagai tersangka. Pasal-pasal dalam UU ini sering kali melar untuk dapat menjerat dan melilit siapa saja yang mencoba melawan Soeharto.

Di masa pemerintahan B.J. Habibie, UU Pemberantasan Tindakan Subversi dicabut. Dan dimulailah era pencabutan UU No. 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya yang akan diganti dengan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: