Status Jurnalis dalam Konflik Bersenjata
Bhatara Ibnu Reza(*)

Status Jurnalis dalam Konflik Bersenjata

Jurnalis RCTI, Ersa Siregar yang disandera oleh GAM sejak 29 Juni 2003, akhirnya tewas dalam sebuah kontak tembak antara pasukan TNI dari kesatuan marinir dengan GAM di Desa Alue Matang Aron, Kecamatan Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur (29/12/2003).

Bacaan 2 Menit
Status Jurnalis dalam Konflik Bersenjata
Hukumonline

Bermula dari Embedded Journalist

Fenomena jurnalisme perang kembali marak sesaat Pemerintah Indonesia mengumumkan status darurat milier di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang juga sekaligus menandai mulainya operasi militer. Euphoria Amerika Serikat saat menyerang Irak dengan embedded journalist, diikuti pula oleh Pemerintah Indonesia khususnya TNI dengan mengambil kebijakan untuk melibatkan jurnalis selama operasi militer berlangsung dengan memberikan pengetahuan dan pelatihan dasar militer di Pusat Latihan TNI Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat.

Pemberian pelatihan oleh TNI tersebut kemudian menjadi kontroversial sesaat para jurnalis menggunakan seragam loreng lengkap dengan sepatu lars sama dengan pakaian dinas tempur milik TNI. Selain itu, TNI mengharuskan penggunaan seragam tersebut selama melakukan peliputan. Alasan yang dikemukakan oleh TNI adalah, dengan mengenakan seragam tersebut para jurnalis sekaligus sebagai perlindungan oleh TNI  selama melakukan peliputan. 

AJI kemudian mengecam keras penggunaan seragam tempur saat wartawan akan bertugas meliput operasi militer. AJI berpendapat, penggunaan seragam tempur dalam peliputan mengakibatkan para wartawan dianggap sebagai target militer oleh pihak GAM. Selain mengancam jiwa para jurnalis, AJI menilai penggunaan seragam tempur akan mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional karena menjadikan profesi jurnalis tercoreng.

Kemudian muncul pertanyaan tentang status jurnalis selama meliput konflik bersenjata dan bagaimana status jurnalis yang turut serta (embedded  journalist) dengan satuan militer untuk meliput pertempuran. Dalam Pasal 8 UU 40/1999 tentang Pers secara jelas menyatakan bahwa profesi jurnalis mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya.

Namun, apakah hukum humaniter turut juga memberikan jaminan perlindungan bagi jurnalis selama konflik bersenjata terjadi? Apakah mereka mendapatkan perlindungan dari para pihak yang berkonflik dan khusus bagi embedded journalist apakah mereka dapat diperlakuan sebagai kombatan oleh para pihak yang berkonflik? Dan kemudian bagaimana status jurnalis bila ditangkap oleh salah satu pihak yang berkonflik?

Hukum Humaniter sebagai Perlindungan  bagi Jurnalis

Hukum humaniter atau dahulu disebut sebagai hukum-hukum perang (the laws of war) mengatur status dan kedudukan jurnalis selama konflik bersenjata. Jauh sebelum konvensi Palang Merah atau Konvensi Jenewa 1949 lahir, status dan kedudukan jurnalis telah diatur dalam annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Penghormatan Hukum-hukum Perang serta Kebiasaan Perang di Darat (Respecting the Laws and Customs of War on Land) Pasal 13 yang menyatakan: 

Individuals who follow an army without directly belonging to it such as newspaper correspondents and reporters, sulters and contractors, who fall into enemy's hands and whom the latter thinks fit to detain, are entiteld to be treated as prisoners of war, provided they are in possesion of certificate from the military authorities of the army which they are accompanying.

Berangkat dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang jurnalis (dengan istilah: news paper correspondent and reporters), yang jatuh ke tangan salah satu pihak  berkonflik dan ditahan maka dia diperlakukan (treated) sebagai tawanan perang. Jurnalis tersebut bukan dianggap (is) sebagai tawanan perang. Untuk memenuhi syarat diperlakukan sebagai tawanan perang, para jurnalis harus memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh pimpinan angkatan bersenjata yang mereka ikuti.

Lahirnya Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari empat konvensi pasca Perang Dunia Kedua tidak menghilangkan pembahasan soal status dan kedudukan jurnalis. Dalam Pasal 4 Konvensi Ketiga Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang telah ditentukan golongan-golongan yang dianggap sebagai tawanan perang, dimana jurnalis termasuk dalam golongan ke-empat. Pasal 4 bagian A (4) dimana dinyatakan:

Persons who accompany the armed forces without actually being members thereof, such as civilian members of military aircraft crews, war correspondents, supply contractors, members of labour units or of services responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have received authorization, from the armed forces which they accompany, who shall provide them for that purpose with an identity card similar to the annexed model.'

Dalam pasal ini tidak terdapat banyak perbedaan dengan pasal 13 Konvensi IV Den Haag 1907, yaitu masih dipersyaratkan adanya kartu identitas yang dikeluarkan oleh otoritas angkatan perang. Perbedaannya, hanya pada istilah yang semula news corespondents and reporters menjadi war correspondents. Perubahan istilah ini terkait dengan kemajuan teknologi dari media pers.

Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 (1977) tentang Konflik Bersenjata Internasional secara jelas mengatur perlindungan terhadap jurnalis serta status dan kedudukannya. Pasal 79  tentang Measures of Protection of Journalist terdiri dari tiga ayat. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 79 (1) bahwa, Journalist engaged in a dangerous professional mission in areas of armed conflict should be considered as a civilian.... Sehingga jelas sudah bahwa status jurnalis adalah sipil sekalipun ia seorang embedded journalist.

Perlindungan Jurnalis pada Konflik Bersenjata di Aceh

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 pada tahun 1958 dengan UU 59/1958. Dengan kata lain Konvensi Jenewa telah menjadi bagian dari hukum nasional kita. Sedangkan Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa (1977), hingga saat ini belum meratifikasinya. Sehingga yang terjadi adalah bila terjadi konflik bersenjata non- internasional yang berlaku adalah common article 3 Konvensi Jenewa 1949.

Sekalipun Indonesia belum menjadi pihak pada Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 (1977), namun dalam praktiknya masyarakat internasional telah banyak meratifikasi kedua protokol tersebut. Keduanya telah banyak dipakai dalam setiap kali konflik bersenjata terjadi, baik internasional maupun non-internasional. Indonesia tidak dapat melepaskan diri untuk tetap memperhatikan protokol-protokol itu karena keduanya memiliki status sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law).

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini TNI dan Departemen Luar Negeri, khusus bagi jurnalis asing harus memberikan tanda pengenal bagi para jurnalis yang meliput operasi militer. Tanda pengenal itu bukan berupa seragam loreng, tetapi berbentuk surat atau kartu yang menjelaskan bahwa mereka adalah jurnalis yang berstatus sipil serta dilindungi oleh Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949 (1977). Selain itu, isi surat atau kartu tersebut  menyatakan surat atau kartu harus dibawa kemanapun jurnalis itu pergi selama meliput di daerah konflik bersenjata. Bila dirinya ditangkap, kartu itu dapat diserahkan/ditunjukan kepada otoritas atau komandan pihak penahan guna diperlakukan sebagai tawanan perang.

Protokol Tambahan II berlaku pula dalam konflik bersenjata di Aceh. Menurut Hans Pieter Gasser dalam artikelnya berjudul The Protection of Journalist engaged in Dangerous Profesionnal Missions , yang dimuat di jurnal International Review of the Red Cross tahun 1983 menyatakan, jurnalis menikmati dan mendapatkan perlindungan penuh (full protection) baik konflik internasional maupun non internasional. Ditambahkannya, para jurnalis diberikan perlindungan yang sama  dengan rakyat yang tidak turut serta dalam permusuhan atau rakyat sipil.

Jurnalis yang tidak terdaftar masih dimungkinkan untuk dapat meminta status tawanan perang dimana Konvensi Jenewa 1949 memberikan perlindungan terhadap orang tersebut hingga statusnya diputuskan oleh suatu pengadilan yang berwenang. Sedangkan jurnalis yang nyata-nyata turut serta secara aktif dalam permusuhan bila tertangkap atau ditahan, tidak mendapatkan status sebagai tawanan perang. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa jurnalis adalah orang sipil yang dilarang untuk turut aktif dalam permusuhan.

Bila jurnalis statusnya menjadi tawanan perang, maka ia  harus mendapatkan perlakuan yang manusiawi oleh pihak yang menahan. Para tawanan tersebut juga harus diperbolehkan dikunjungi oleh wakil Palang Merah Internasional atau International Committee of the Red Cross (ICRC) dan mereka juga diperbolehkan untuk mengadakan kontak dengan keluarganya.

ICRC sejak tahun 1985 telah membuka layanan hotline service dimana dalam layanan ini ICRC dapat dihubungi oleh para redaktur tempat sang jurnalis bekerja atau organisasi profesi dimana sang jurnalis itu menjadi anggota. ICRC juga berperan dalam melacak jurnalis yang hilang; mencatat segala sesuatu tentang jurnalis yang ditangkap atau ditahan; menyampaikan informasi yang telah diperoleh kepada keluarga jurnalis; organisasi profesinya serta perusahaan tempat dia bekerja dan terakhir adalah meneruskan surat-surat sang jurnalis tersebut kepada keluarganya begitupun sebaliknya.

Penghormatan Terhadap Profesi Jurnalis

Apa yang dilakukan GAM terhadap Ersa Siregar dkk jelas-jelas melanggar hukum humaniter. Alih-alih memberikan perlindungan kepada mereka, malah justeru GAM melakukan penyanderaan. Sedangkan TNI seringkali menyatakan operasi militer mereka lakukan tidak hanya bertujuan untuk membebaskan Ersa Siregar dkk an sich namun juga membebaskan sandera warga sipil yang berjumlah ratusan dari GAM.

Namun bila dibandingkan dengan pembebasan William Nessen, jurnalis freelance asal Amerika Serikat (AS) yang beberapa waktu berada bersama GAM, proses pembebasannya sangat ekslusif dan mulus. Sesaat keluar dari markas GAM, Nessen langsung dijemput oleh para petinggi TNI seperti Kapuspen TNI Mayjen. Sjafrie Sjamsoeddin, Pangkoops TNI (saat itu) Brigjen. Bambang Darmono dan Atase Pertahanan Kedubes AS, Kol. Joseph Judge III.

Jurnalis yang meliput konflik bersenjata adalah pekerjaan dengan risiko tinggi yang setiap orang telah memahaminya, termasuk Ersa Siregar. Namun, risiko bukan menjadi faktor utama ketika jurnalis dihalang-halangi, diintimidasi serta menjadi target dari operasi militer oleh para pihak yang bertikai. Mereka yang terlibat konflik tidak dapat melepaskan diri dari tanggungjawabnya untuk memberikan perlindungan (protection) serta memberikan penghormatan (pay their respect) terhadap profesi jurnalis selama meliput konflik. Pelanggaran terhadap hukum humaniter dan hukum kebiasaan internasional justeru tidak menguntungkan posisi masing-masing pihak yang bertikai.

Satu hal yang terpenting, pemegang otoritas angkatan perang tidak sepantasnya menjadikan jurnalis sebagai bagian dari dirinya yang aktif dalam permusuhan namun mereka harus memberikan perlindungan berupa pemberian akreditasi. Dengan akreditasi inilah para jurnalis akan merasa percaya diri dalam menjalankan profesinya mereka mendapatkan perlindungan dan penghormatan dari kedua belah pihak yang berkonflik.

Kemudian, pemerintah harus sesegara mungkin meratifikasi Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 1949 (1977), serta Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini penting karena hukum adalah bagian dari peradaban, kemajuan hukum menandakan  kemajuan dan tingginya peradaban suatu bangsa.

Sebelumnya, harapan untuk menyelamatkan Ersa Siregar Cs sangat tinggi ketika pada 17 Desember 2003, Rahmatsyah, pengemudi yang turut serta disandera bersamanya berhasil diselamatkan pasukan TNI di kawasan Pante Bayan, Kecamatan Simpang Ulim, Kabupaten  Aceh Timur. Hingga saat ini, kamerawan RCTI, Ferry Santoro beserta dua istri perwira TNI AU yang disandera oleh Panglima Operasi GAM Wilayah Peureulak, Ishak Daud, belum diketahui nasibnya.

Sejak Ersa Siregar dkk disandera, tidak putus-putusnya rekan-rekan sesama jurnalis mendesak Pemerintah RI untuk segera bertindak untuk membebaskan mereka. Bahkan, organisasi profesi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berkali-kali mengirimkan surat protes kepada kedua belah pihak yang bertikai untuk segera mengambil tindakan untuk pembebasan mereka. AJI juga menempuh jalur internasional dengan meminta dua organisasi jurnalis internasional yaitu International Federation Journalist  dan Committee to Protect Journalist  untuk menjadi mediator bagi pembebasan Ersa Siregar dkk.

Menanggapi kematian Ersa Siregar, KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu menyatakan, hal itu adalah risiko dalam tugas sebagai wartawan perang. Diakuinya, tewasnya Ersa Siregar diakibatkan peluru dari satuan TNI dalam tembak menembak selama 20 menit dengan GAM.

Dengan kejadian tragis yang menimpa Ersa Siregar, AJI kembali menuntut pemerintah untuk membentuk tim investigasi independen untuk mencari fakta serta menyelidiki kasus yang sebenarnya terjadi. Selain itu, AJI menuntut agar Pemerintah Indonesia dan GAM untuk segera membebaskan warga sipil lainnya yang hingga kini masih disandera. 

Tags: