Mengupas 'Ijtihad' Kontroversial Mahkamah Konstitusi
Fokus

Mengupas 'Ijtihad' Kontroversial Mahkamah Konstitusi

Di penghujung 2003, Mahkamah Konstitusi memberikan hadiah tahun baru yang bukan saja manis, namun juga sangat berharga bagi seluruh masyarakat Indonesia. Mahkamah Konstitusi mencoba mengukir preseden melalui putusan pertamanya yang meruntuhkan tirani Pasal 50 Undang-undang No.24/2003.

Oleh:
Amr/Mys
Bacaan 2 Menit
Mengupas 'Ijtihad' Kontroversial Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

Seperti telah ditulis sebelumnya, Ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie pernah menyebut permohonan judicial review yang diajukan oleh Machri sebagai perkara yang "agak khusus", mengingat obyek perkara tidak masuk ke dalam persyaratan yang diatur dalam Pasal 50 UU No.24/2003. (Lebih jauh baca: Pasal Gocap Bisa Menodai Wibawa Mahkamah Konstitusi).

Sekadar mengingatkan, Pasal 50 Undang-undang No.24/2003 berbunyi, "Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945". Artinya, yang bisa diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah 19 Oktober 1999 (penjelasan Pasal 50). Padahal, undang-undang yang diuji oleh MK ini adalah Undang-undang No.14/1985.

Bagaimanapun, putusan tersebut bukanlah merupakan putusan yang dapat diambil dengan mudah oleh majelis hakim MK. Seperti dituturkan oleh Jimly, terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh tiga dari sembilan hakim MK. Hakim Laica Marzuki, Hakim Achmad Rustandi, dan Hakim Natabaya berpendapat bahwa MK tidak berwenang memeriksa perkara judicial review UU No.14/1985 itu.

Sedangkan, enam hakim lainnya -- Jimly, Maruarar, Dewa Gede Palguna, Muktie Fadjar, Haryono, dan Sudarsono – berpendapat bahwa MK berwenang menguji dan memeriksa permohonan perkara tersebut. Keenam hakim MK tersebut beralasan bahwa sepanjang menyangkut kewenangan, MK harus bertitik tolak dari apa yang diwenangkan oleh UUD 1945.

"Oleh karena itu, sesuai dengan sumpah jabatan, hakim konstitusi untuk menjalankan segala peraturan menurut Undang-undang Dasar. Artinya, Mahkamah Konstitusi dalam masalah berwenang atau tidak, dengan mengenyampingkan ketentuan Pasal 50 UU No.24/2003, Mahkamah Konstitusi menyatakan berwenang memeriksa perkara 004," jelas Jimly saat konferensi pers di gedung DPR/MPR (30/12). Dalam register perkara MK, perkara yang diajukan Machri bernomor 004/PUU-I/2003.

Pelik dan menantang

Perkara 004 boleh dikatakan sebagai perkara yang cukup pelik sekaligus menantang bagi MK sebagai institusi baru dan dengan sejumlah "software" yang juga masih gress. Oleh karena itu, berbagai argumen hukum dalam putusan MK atas perkara ini tidak cuma bermanfaat bagi para hakim MK semata, namun juga bagi pendidikan hukum masyarakat pada umumnya.

Seperti telah disebutkan di awal tulisan, putusan MK atas perkara 004 adalah menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Menariknya, satu-satunya hal yang membuat permohonan tersebut tidak dapat diterima adalah karena obyek permohonan, UU No.14/1985, yang sudah tidak berlaku lagi. Hal itu terkait dengan telah disetujuinya RUU Perubahan UU No.14/1985 oleh rapat paripurna DPR pada 18 Desember.

Penting untuk dicatat bahwa sebelum putusan dijatuhkan, saat pemeriksaan persidangan perkara 004 pada 12 Desember silam, Ketua MK pernah mengatakan bahwa MK akan mempertimbangkan tiga alternatif putusan. Pertama, majelis akan menyatakan bahwa permohonan tersebut di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika alternatif pertama yang dipilih, maka putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

Alternatif kedua, permohonan bisa diterima karena termasuk dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, Mahkamah menganggap bahwa legal standing pemohon tidak kuat. Artinya, harus bisa dibuktikan apakah pemohon dirugikan secara langsung. Bila alternatif kedua yang dipilih, maka putusannya menyatakan permohonan ditolak.

Dan terakhir, alternatif ketiga, adalah permohonan diterima dan pemohon dianggap mempunyai legal standing yang kuat. (Lebih jauh baca: MK Pertimbangkan Tiga Alternatif Terhadap Judicial Review UU Mahkamah Agung).

Melihat dari ketiga alternatif tersebut berarti putusan MK atas perkara 004 sama sekali di luar tiga skenario yang telah dirancang MK sendiri. Namun, agaknya itu belum tentu berarti MK atau pihak pemohon tidak mengetahui bahwa UU No.14/1985 tengah dalam proses legislative review di DPR. Hanya saja, semua pihak tidak dapat memprediksi kapan RUU Perubahan UU No.14/1985 akan selesai dibahas dan disetujui oleh DPR.

Oleh karena itulah, MK dalam putusan menyatakan bahwa ketentuan mengenai syarat untuk diangkat sebagai Hakim Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf (g) UU No.14/1985 tidak bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 28 I ayat (2). Sekadar mengingatkan, Pasal 7 ayat (1) huruf (g) UU No.14/1985 adalah pasal yang dipermasalahkan oleh Machri.

Saat ditemui hukumonline di persidangan MK, Machri mengatakan bahwa dirinya merasa dirugikan oleh ketentuan dalam UU No 14 Tahun 1985 tersebut. Khususnya, oleh ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf (g) tentang syarat-syarat administratif calon hakim agung.

Menurut Machri, ketentuan dalam pasal tersebut sangat diskriminatif terhadap hakim karir. Misalnya, untuk menjadi seorang calon hakim agung, seorang hakim karir harus terlebih dahulu berpengalaman sekurang-kurangnya 5 tahun sebagai kepala Pengadilan Tinggi (PT), atau 10 tahun sebagai hakim di PT.

Machri juga membandingkan profesionalitas seorang calon hakim agung karir dan non karir. Menurutnya, seorang calon non karir dengan pengalaman 15 tahun belum tentu seprofesional hakim yang berpengalaman 15 tahun. Karena itu, Machri memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan dalam Pasal 7 tidak berlaku.

Alasan hukum yang mendasari permohonan Machri itu rupanya tidak dipandang sebelah mata oleh majelis hakim MK. Buktinya, legal standing Machri sebagai pemohon dikabulkan oleh majelis hakim MK. Meski kemudian permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK, namun harusnya Machri patut bersyukur. Karena, bagaimanapun, Pasal 7 UU No.14/1985 yang selama ini bagaikan kerikil di kaki para hakim karir sudah tinggal sejarah.

Tanda tanya

Kendati demikian, masalah tersebut tetap mengundang sejumlah tanda tanya. Misalnya, apakah dengan adanya persetujuan DPR terhadap RUU Perubahan UU No.18/1985 berarti UU No.14/1985 otomatis menjadi tidak berlaku? Bukankah dalam hal ini yang seharusnya menjadi patokan MK adalah pengesahan dari Presiden dan bukan persetujuan DPR?

Pertanyaan-pertanyaan di atas rupanya telah diantisipasi oleh MK. Ketua MK menjelaskan, menurut Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, setiap RUU yang belum mendapat persetujuan Presiden maka dalam waktu 30 hari sejak disetujui DPR, RUU tersebut berlaku sebagai undang-undang. Menurut Jimly, setelah disahkan dalam rapat paripurna, RUU tentang Perubahan UU No.14/1985 sudah sah secara materiil dan tinggal menunggu pengesahan secara formil.

"Sambil menunggu pengesahan, MK berpendapat bahwa undang-undang tersebut secara materiil sudah tidak dapat berubah. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf (g) yang didalilkan pemohon sudah tidak ada lagi. Jadi, pokok alasan pemohon sudah hilang. Sehingga tanpa mempersoalkan dikabulkan atau tidak maka Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan ini sudah tidak relevan lagi untuk diputus," papar Jimly.

Kita telah melihat lebih dari cukup bahwa dalam tiap masalah hukum yang mereka jumpai majelis hakim MK selalu merujuk kepada ketentuan UUD 1945. Termasuk ketika mereka berhadap-hadapan dengan tembok besar yang dibangun oleh Pasal 50 UU No.24/2003 yang mencoba membatasi kewenangan yang telah diberikan oleh UUD 1945.

Setiap produk perundang-undangan sudah seharusnya dibuat sesuai dengan ketentuan UUD 1945 sebagai hukum dasar. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 50 UU No.24/2003 tidak semestinya mengatur lain dari yang digariskan oleh ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945; "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar…".

Tafsir Pasal 50

Putusan MK yang terbilang berani tersebut langsung ditanggapi secara serius oleh Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Sewaktu pelantikan Sekjen MK, Jum'at (2/02) lalu, Yusril pun mengecam putusan itu. Menurut dia, pasal 50 UU No.24/2003 tidak dapat ditafsirkan lain kecuali undang-undang yang dapat diuji adalah undang-undang yang dibuat sebelum perubahan UUD 1945 pada 1999. Ia juga mengatakan, daripada MK melanggar Pasal 50 sebaiknya MK terlebih dahulu menguji sendiri pasal tersebut.

Sebaliknya, pengamat hukum dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin, sangat mendukung keputusan MK untuk menerobos Pasal 50 UU No.24/2003. Hal itu, menurut Firmansyah, menunjukan bahwa MK selalu bersandar kepada ketentuan UUD 1945 dan tidak kepada undang-undang. "Itu satu langkah yang bagus dan progresif," cetusnya.

Firmansyah juga berpendapat bahwa dengan putusan tersebut berarti MK telah melakukan judicial review terhadap dirinya sendiri. Ia juga berharap dengan cara seperti itu akan menjadi preseden yang baik buat proses pengajuan permohonan judicial review selanjutnya.

"Saya kira itu perlu dilakukan juga untuk permohonan yang lain bila ada, meskipun undang-undang yang diajukan itu dibuat sebelum perubahan Undang-undang Dasar dilakukan," kata Firmansyah.

Lebih jauh, Firmansyah menyatakan bahwa KRHN menaruh harapan besar kepada MK untuk melakukan pembaharuan hukum di Indonesia. Dengan adanya peran MK untuk menjaga konstitusi, ujarnya, hal itu akan memastikan bahwa konstitusi tidak dengan mudah diselewengkan. Dengan demikian, telah memberikan jaminan hak-hak warga negara untuk bisa diakui.

"Jadi ketika konstitusi sebagai hukum tertinggi dan ada MK untuk menjaga konstitusi itu, maka dari prinsip dan sistem semacam ini kita percaya dan berharap, apalagi putusan semacam itu sudah berani dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, akan menempatkan Mahkamah Konstitusi menjadi menjadi lembaga kekuasaan kehakiman yang betul-betul terpercaya dan berwibawa," cetus Firmansyah.

Selama MK menjunjung tinggi konstitusi dan mampu menjaga kewibawaannya sehingga dengan begitu menjadi lembaga tumpuan harapan bagi masyarakat, warna merah putih, simbol kesucian dan keberanian, tetap pantas digunakan MK. Namun, jika MK telah mengabaikan hukum dan konstitusi, menceraikan kepercayaan masyarakat, sehingga dengan begitu merendahkan wibawanya sendiri, tidak ada warna lain yang layak dipakai MK selain hitam sebagai simbol kematian.

Merah putih yang menjadi warna resmi Mahkamah Konstitusi (MK) agaknya tidak sekadar dijadikan simbol oleh para hakim konstitusi. Hakim-hakim MK yang berjumlah sembilan orang tak membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukkan bukti dari sumpah yang mereka ucapkan sebagai penjaga konstitusi RI UUD 1945.

Kesetiaan akan sumpah jabatan itulah yang dicoba untuk ditunjukkan oleh MK saat mengeluarkan putusan pada 30 Desember 2003. Putusan tersebut menjawab permohonan pengujian Undang-undang No.14/1985 tentang Mahkamah Agung yang diajukan oleh seorang hakim asal Padang Machri Hendra ke MK.

Melalui putusan tersebut, MK melakukan terobosan hukum untuk mengenyampingkan ketentuan Pasal 50 UU No.24/2003. Terobosan hukum itu bukanlah terletak pada isi amar putusan terhadap permohonan judical review UU No.14/1985 yang menyatakan bahwa "permohonan tidak dapat diterima" (niet ontvankelijk verklaard), melainkan pada "ijtihad" MK untuk melanjutkan pemeriksaan atas permohonan tersebut.

Tags: