Pelaksanaan Undang-Undang PPHI dan Tantangannya
Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, SH, MH(*)

Pelaksanaan Undang-Undang PPHI dan Tantangannya

Betapapun harmonisnya suatu hubungan kerja antara buruh dan pengusaha, namun terjadinya perselisihan perburuhan tidak mudah untuk dihindari. Oleh karena itu seperangkat hukum yang mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan menempati posisi yang strategis.

Bacaan 2 Menit
Pelaksanaan Undang-Undang PPHI dan Tantangannya
Hukumonline

Berangkat dari tujuan yang hendak dicapai oleh UU PPHI tersebut, menunjukkan bahwa UU PPHI ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah, untuk menggantikan peraturan perundang-undangan lama yang dianggap tidak dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah.

Jika demikian adanya, timbul pertanyaaan bagi kita, benarkah UU PPHI tersebut dapat mendorong terwujudnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah, sebagai pengganti peraturan perundang-undangan yang lama?

Tidak menjamin PPHI secara tepat

Penggunaan konsep peristilahan yang salah dan tidak cermat sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum UU PPHI memberikan petunjuk bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UU PPHI ini tidak akan pernah dapat dilaksanakan secara tepat. Ada beberapa argumentasi.

Pertama, perumusan istilah atau konsep Perselisihan Hubungan Industrial tidak tepat.  Menurut Pasal 1 ayat (1) perselisihan hubungan industrial adalah Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Timbul pertanyaan di sini apakah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dapat mengakibatkan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja/serikat pekerja? Para pihak yang yang berselisih dalam rumusan pasal 1 ayat (1) tersebut di atas membingungkan. Sebab, di satu pihak hanya pengusaha/gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja yang menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial, di lain pihak perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, yang para pihaknya adalah serikat pekerja dengan serikat pekerja, dikategorisasikan sebagai salah satu perselisihan yang menimbulkan perselisihan hubungan industrial.

Kedua, penggunaan istilah ‘mediasi' (pasal 1 ayat 11) dan ‘konsiliasi' (pasal 1 ayat 13) tidak tepat dan tidak benar. Dalam UU PPHI, pengertian mediasi disamakan dengan konsiliasi. Kemudian mediasi diperankan oleh pegawai instansi pemerintah, sedangkan konsiliasi diperankan oleh swasta (bukan pegawai instansi pemerintah). Hal ini tidak sejalan dengan konsep Mediasi dan Konsiliasi itu sendiri. Mediasi tidak dapat disamakan dengan konsiliasi, karena bentuk penyelesaian perselisihan perburuhan melalui mediasi adalah perjanjian antara para pihak yang berselisih, sedangkan  bentuk penyelesaian perselisihan perburuhan melalui Konsiliasi adalah putusan yang bersifat anjuran dari konsiliator.

Oleh karena itu mediasi maupun konsiliasi dapat diperankan oleh pegawai instasi pemerintah ataupun pihak swasta (non pemerintah). Mediasi bukanlah monopoli pemerintah, dan konsiliasi bukan monopoli pihak swasta (non-pemerintah).

Ketiga, kewenangan konsiliator dan arbiter dibatasi. Dalam UU PPHI mediator dan hakim Pengadilan Hubungan Industrial diberi kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan PHK, perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja. Sedangkan konsiliator hanya diberi kewenangan penyelesaian perselisihan PHK, perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja. Sementara arbiter hanya berwenang menyelesaikan perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Timbul pertanyaan disini apakah arbiter dianggap tidak mampu menyelesaikan perselisihan hak dan perselisihan PHK?  Hal ini tentu tidak benar, karena ketentuan ini membatasi hak buruh dan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hak dan perselisihan PHK pada seorang arbiter yang mereka yakini dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial secara cepat dan adil.

Keempat, pengelompokkan jenis perselisihan perburuhan dalam RUU PPHI tidak benar. Hal ini disebabkan, perselisihan PHK  dan perselisihan antar serikat pekerja tidak dalam satu tataran dengan perselisihan hak atau hukum dan perselisihan kepentingan. Pengkategorian jenis perselisihan hak/hukum dan perselisihan kepentingan didasarkan pada faktor penyebabnya, yaitu adanya ketidaksepahaman tentang pelaksanaan aturan hukum, pembedaan perlakuan, dan perbedaan penafsiran suatu ketentuan hukum untuk perselisihan hak, dan ketidaksepahaman tentang perubahan syarat-syarat kerja/kondisi kerja untuk perselisihan kepentingan.

Perselisihan PHK, perselisihan upah lembur, perselisihan jaminan sosial, perselisihan kesehatan dan keselamatan kerja, adalah contoh-contoh dari perselisihan hak/hukum. Sedangkan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dilihat dari subyek yang berselisih, selanjutnya,  perselisihan yang terjadi antara serikat buruh/pekerja jika dilihat dari faktor penyebabnya adalah ketidak sepahaman tentang perbedaan pelaksanaan suatu aturan hukum atau perbedaan penafsiran suatu aturan hukum yang masuk dalam kategori perselisihan hak atau perselisihan hukum.

Kelima, pasal 1 ayat (3) merumuskan perselisihan kepentingan secara tidak tepat dan tidak benar. Pasal tersebut merumuskan perselisihan kepentingan sebagai perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian perburuhan. Ketidak sesuaian pembuatan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Perburuhan disini menyebabkan timbulnya perselisihan hak atau hukum, bukan perselisihan kepentingan. Hal ini disebabkan Peraturan Perusahaan adalah merupakan hak buruh yang sudah diatur dalam UU No.13 Tahun 2003, demikian pula pembuatan perjanjian perburuhan juga merupakan suatu hak buruh/serikat buruh yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Keenam, memberikan kewenangan kepada Mediator untuk membuka pembukuan atau laporan keuangan perusahaan (pasal 12) tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan tampilnya mediator sebagai pihak ketiga yang menangani perseilisihan hubungan industrial bukan atas pilihan para pihak yang berselisih. Disamping itu juga karena putusan mediator bersifat anjuran, bukan putusan yang bersifat mengikat.

Ketujuh, pemberian kewenangan kepada arbiter untuk melakukan sidang tanpa dihadiri oleh salah satu pihak (pasal 43 ayat 2) tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan tampilnya arbiter sebagai pihak ketiga dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atas dasar pilihan para pihak yang berselisih dan putusannya bersifat mengikat.

Kedelapan, pembebasan biaya perkara dan biaya eksekusi sebagaimana tertuang dalam pasal 58 tidak memberikan kepastian apakah pembebasan biaya berperkara tersebut untuk perorangan atau massal. Untuk kasus perorangan, gugatan Rp150 juta sangat besar, sedangkan untuk perkara massal (100 orang), gugatan Rp150 juta sangat kecil sehingga tetap memberatkan buruh.

Kesembilan, sidang Pengadilan Hubungan Industrial bersifat terbuka untuk umum (pasal 95 ayat 1) tidak tepat. Hal ini disebabkan perkara perburuhan berbeda dengan perkara pidana atau perdata yang disidangkan secara terbuka. Pengusaha dan buruh akan lebih terbuka jika sidang perkara perburuhan dilakukan secara tertutup, kecuali para pihak menghendakinya, bukan kehendak Hakim.

Tidak menjamin PPHI secara cepat

Pengaturan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam UU PPHI ini masih belum dapat menjamin penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara cepat. Hal ini terbukti dari berbagai pasal dalam UU PPHI yang tidak mendorong penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat. Mengapa? Ada banyak alasannya.

Perumusan arbitrase dalam Pasal 1 ayat (15) telah mendegradasi kewenangan arbiter dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Menurut pasal 1 ayat (15) ini, Arbitrase tidak berwenang menangani perselisihan hak dan perselisihan PHK. Arbitrase sebagai sistim penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tercepat dilarang menyelesaikan perselisihan hak dan perselisihan PHK. Ketentuan ini menutup kemungkinan bagi pengusaha atau buruh/serikat buruh untuk menggunakan jasa arbiter dalam menyelesaikan perselisihan hak dan PHK, sehingga upaya untuk mempercepat proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dihambat oleh Pasal 1 ayat (15) jo pasal 29 UU PPHI sendiri.

Dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, UU PPHI ini menambah meja pencatat perselisihan hubungan industrial (pasal 4). Jika para pihak gagal dalam menyelesaikan secara bipartite, maka sebelum mereka mempunyai hak untuk menyelesaikannya melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase,  terlebih dahulu mereka  mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam era globalisasi, seharusnya kebijakan pemerintah diarahkan pada tindakan debirokratisasi atau deregulasi, bukan sebaliknya menambah meja baru.

Konsiliasi dan mediasi tidak diposisikan sebagai alternatif penyelesaian sengketa (ADR). Dalam UU PPHI ini, konsiliasi dan mediasi diposisikan sebagai mekanisme antara yang harus ditempuh oleh para pihak yang berselisih sebelum mereka menempuh jalur Pengadilan Hubungan Industrial melalui mekanisme gugatan (pasal 5), dan Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat jika pengajuan gugatan tidak dilampiri penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi (pasal 83 ayat 1). Ketentuan ini memperpanjang proses dan menunjukkan belum adanya perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang lama.

Tidak adanya ketentuan yang mengatur sanksi hukum bagi mediator yang melangar pasal 10 yang menyatakan: Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.

Kemudian, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang siapa yang harus mendaftarkan Perjanjian Bersama ke Pengadilan Hubungan Industrial (pasal 13 ayat 1 jo pasal 13 ayat 2e).

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan  melalui mediasi, mediator wajib menyampaikan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang mediasi pertama (pasal 13 ayat 2b). Mediator yang melanggar pasal 13 ayat 2b ini juga tidak diancam dengan sanksi hukum.

Menurut pasal 15, mediator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan. Sanksi administratif berupa hukuman disiplin pegawai negeri terlalu ringan, karena itu perlu diperberat ancaman sanksi hukumnya.

Tidak adanya ketentuan yang mengatasi permasalahan hukum dalam hal pihak pengusaha menolak putusan mediator atau konsiliator, dan sekaligus yang bersangkutan tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Persoalan ini akan berlarut-larut tanpa penyelesaian, sementara hak mogok tidak dapat dilaksanakan karena dianggap pemogokan illegal.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui acara cepat sebagaimana diatur dalam pasal 98 dan 99 tidak dapat dijamin bahwa perkara tersebut dapat diselesaikan dalam waktu tidak melebihi 21 hari. Hal ini disebabkan kewajiban ini tidak didukung sanksi hukuman yang berat bagi pelanggarnya.

Pembatasan waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial sebagai tercermin dalam pasal 103 sampai dengan pasal 109 tidak ada jaminan akan terpenuhi, mengingat tidak adanya ancaman sanksi hukuman bagi aparat pengadilan yang melanggar ketentuan pembatasan waktu proses berperkara tersebut.

Pembatasan waktu selama 30 hari di tingkat Mahkamah Agung (pasal 115) kelihatannya juga tidak dapat dijamin pelaksanaannya, mengingat pembatasan waktu 30 hari di tingkat Mahkamah Agung ini untuk perkara-perkara yang diprioritaskan. Timbul pertanyaan disini apakah kemauan politik pemerintah memposisikan kasus perburuhan sebagai perkara yang diprioritaskan? Apakah ada sanksi hukum bagi Hakim Agung yang tidak dapat menyelesaikan perkara perburuhan di tingkat kasasi melebih 30 hari?

Upaya mempercepat proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pembatasan jangka waktu penyelesaian diatur secara diskriminatif dalam UU PPHI. Ancaman sanksi hukuman hanya ditujukan kepada konsiliator dan arbiter, sedangkan mediator dan hakim Pengadilan Hubungan Industrial nyaris tidak diancam sanksi hukum bila melanggar pembatasan jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Tidak menjamin PPHI yang Adil

Adil memang relatif, karena itu putusan yang adil adalah putusan yang diterima  oleh para pihak yang berselisih secara sukarela, bukan secara paksaan, misalnya melalui penyitaan, atau melalui pelelangan. Oleh karena itu mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat memberikan putusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihaklah yang seharusnya dikembangkan. UU PPHI masih mendasarkan pada paradigma konflik (memenangkan perkara, bukan menyelesaikan perkara). UU PPHI tidak mendasarkan pada paradigma kemitraan (menyelesaikan perkara, bukan memenangkan perkara). Dengan demikian UU PPHI tidak mungkin mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang adil. Hal ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang berparadigma konflik.

Pertama, tampilnya mediator atau hakim Pengadilan Hubungan Industrial sebagai pihak ke tiga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial bukan atas dasar pilihan atau seleksi dari para pihak yang berselisih. Dalam hal ini para pihak yang berselisih sama sekali tidak diberi hak atau kewenangan untuk menseleksi atau memilih Mediator atau Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang mereka kehendaki karena bonafiditasnya, objektivitasnya, ketidakberpihakan, kemampuan, tingkat keilmuan, kejujuran, keloyalitasan, dan lain sebagainya yang dapat dijadikan dasar untuk memilih sang mediator.

Kedua, hukum Acara dalam proses konsiliasi dan arbitrase mengarah pada penyelesaian perselisihan yang sangat formal. Hal ini menyimpang dari prinsip-prinsip dalam Alternative Dispute Resolution yang menekankan pada aspek informal, karena mediasi, konsiliasi, dan arbitrase pada dasarnya merupakan perpanjangan (verlengste) dari proses negosiasi. Oleh karena itu rangkaian kesepakatan demi kesepakatan dalam proses ADR adalah mutlak agar mendapatkan putusan yang benar-benar adil karena diterima secara sukarela oleh kdua belah pihak yang berselisih. Hal ini tercermin dari ketentuan (pasal 43 ayat 2) yang memberikan kewenangan kepada arbiter untuk menyidangkan secara verstek (tanpa hadirnya salah satu pihak). Kemudian mediator (pasal 11 ayat1), konsiliator (pasal 21 ayat 1), arbiter (pasal 46 ayat 1), maupun hakim PHI (pasal 90) diberi kewenangan untuk memanggil saksi.

Ketiga, tidak ada kewenangan para pihak yang berselisih untuk memilih Hakim di Pengadilan Hubungan Industrial. Menurut pasal 88 ayat (1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 orang Hakim Ad-Hoc sebagai anggota majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan. Ketentuan ini menutup kemungkinan dipilihnya majelis hakim yang sesuai dengan pilihan para pihak yang berselisih berdasarkan kemampuannya, keloyalitasannya, kebonafiditasannya, kejujurannya, keobjektivitasannya, ketidakberpihakannya, dan lain sebagainya.

Dengan demikian mafia peradilan di bidang perburuhan pada masa depan kelihatannya sulit untuk dihindarkan. Estimasi ini telah menjadi kenyataan di Thailand yang telah lebih dulu menerapkan Pengadilan Hubungan Industrial yang bersifat tribunal.

Penutup

Penggantian P4D/P4P oleh Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diatur dalam UU PPHI hanya sekedar ganti baju. Dengan demikian untuk mendapatkan keadilan dapat kita ibaratkan   ‘beli kucing dalam karung'. Pegawai Perantara hidup kembali dengan ‘baju baru' mediator. Alternative Dispute Resolution yang seharusnya diperankan oleh mediator, konsiliator, dan Arbiter tampil bukan sebagai mekanisme alternatif, tetapi sebagai institusi antara sebelum suatu perselisihan hubungan industrial diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini terjadi karena penyusunan RUU PPHI  tidak didahului oleh penyusunan Academic Draft.

Harapan akan adanya sistim peradilan perburuhan yang cepat, adil, dan murah tidak mungkin dapat terealisasikan, jika UU PPHI masih mendasarkan pada paradigma lama yaitu Paradigma Konflik, bukan paradigma baru yaitu Paradigma Kemitraan. Sungguh amat sangat disayangkan.

Mengingat posisi  strategis dari seperangkat hukum yang mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan ini, RUU PPHI seharusnya menjadi RUU yang diprioritaskan untuk dipersiapkan secara hati-hati dan mendalam, agar tidak terjadi lagi pengulangan proses pembuatan Undang-Undang No.25 Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang penuh kontroversi. Namun kita dihentakkan oleh berita bahwa RUU PPHI telah disahkan oleh Sidang Paripurna DPR RI tanggal 16 Desember 2003 lalu.

Artikel ini akan membahas ‘Pokok-pokok Penting Dalam Pelaksanaan UU PPHI serta Tantangan Bagi Pekerja/Serikat Pekerja dan Pengusaha'. Untuk membahas persoalan tersebut, tulisan ini mendasarkan pada tujuan UU PPHI sebagaimana tercermin dalam konsiderans dan penjelasan umum.

Dalam Konsiderans UUPPHI yang telah disahkan oleh Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 16 Desember 2003 yang lalu antara lain menyatakan: ‘Bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah'.

Selanjutnya, Penjelasan Umum antara lain menyatakan bahwa ‘Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah'.

Halaman Selanjutnya:
Tags: