Bila Pengacara Dipusingkan 3 in 1
Utama

Bila Pengacara Dipusingkan 3 in 1

Secangkir kopi 3 in 1 di pagi dan sore hari mungkin akan memberikan gairah bagi mereka yang berprofesi sebagai pengacara. Tapi, pemberlakuan kawasan 3 in 1 di pagi dan sore hari, justru membuat gerah pengacara.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Bila Pengacara Dipusingkan 3 in 1
Hukumonline
Ada satu benang merah yang dapat ditarik, semuanya dengan tegas menyatakan terganggu dengan kebijakan itu.

Untuk menghindari 3 in 1 Fredrik Pinakunary, pengacara di Lubis Santosa Maulana mengatakan bahwa ia harus rela menempuh jalan tikus demi mencapai kantornya tepat waktu setiap hari. Perjuangan pengacara yang berkantor di Wisma Mayapada yang berlokasi di Jl Jend. Sudirman ini terpaksa mengeluarkan uang receh untuk deretan polisi cepek yang menangguk untung dari puluhan mobil yang melewati jalan itu.

"
Yang jelas keluar duit karena cepek-cepek-nya banyak. Kemudian,  (mobil,red) yang lewat situ juga banyak, jadi resiko keserempet itu besar sekali," tutur Fredrik.

Fredrik mengatakan bahwa kebijakan 3 in 1 dan Busway sangat mengganggu rutinitas kerjanya sehari-hari. Pasalnya, pengacara yang tinggal di Rawamangun, Jakarta Timur ini tidak lagi dapat melewati jalur yang normal yaitu melalui jalan Diponegoro - Bundaran Hotel Indonesia - Sudirman.

"Terpaksa kita harus belok ke Manggarai, terus masuk ke Landmark masuk ke belakang-belakang kantor. Di situ ada jalan-jalan tikus di belakang, melalui jalan tikus di belakang itu bisa terhindar dari 3 in 1, tapi tetap macet juga karena semua orang lewat situ," keluh Fredrik yang biasa menggunakan kendaraan roda empat ke kantornya itu.

Asisten jadi joki
Kerepotan yang kurang lebih sama juga dirasakan oleh Chandra Yusuf, konsultan hukum yang berkantor di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Ia mengaku rutinitas kerjanya sangat terganggu terutama karena ia banyak melakukan pertemuan dengan kliennya di luar kantor. "Kerjaan saya tidak hanya sampai jam empat. Saya ketemu klien di luar, ini butuh waktu tidak hanya jam empat, kadang setelah maghrib juga," cetusnya.

B
erbagai cara pun dicoba agar Chandra tidak sampai terkena denda Rp 1 juta karena melanggar 3 in 1. Kiatnya, menjadikan asisten atau stafnya sebagai 'joki' agar penumpang mobilnya mencapai tiga orang ke manapun ia pergi.

Menurutnya, kebijakan 3 in 1 bukanlah solusi yang tepat untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Pasalnya, ia menilai bahwa penerapan 3 in 1 telah mengakibatkan kemacetan di daerah-daerah lain yang bebas 3 in 1. " Ibarat balon dipencet, di sisi satu dipencet maka di sisi lain kan muncul. Artinya, di sekitar lainnya kan macet. Cuma daerah Thamrin aja yang tidak macet," cetus pemilik firma Chandra Yusuf & Partners ini.

Hal yang sama juga diungkapkan Feisal Syahmenan, pengacara di kantor hukum Indra Gamal & Partners. Menurutnya, kemacetan yang diakibatkan 3 in 1 telah merambah ke pelosok Jakarta seperti Bintaro, tempat ia tinggal. Ia mengatakan bahwa akibat perpanjangan pemberlakuan 3 in 1 mulai jam 16.00 hingga 19.00, kawasan Bintaro bisa macet sampai pukul 21.00-22.00. Padahal, sebelumnya kemacetan yang 'menyeramkan' ini tidak pernah terjadi pada waktu-waktu itu.

Meski mengaku rutinitasnya tidak terpengaruh oleh 3 in 1, Feisal tetap mengeluhkan kebijakan tersebut. Pasalnya, sejak 3 in 1 ditambah dengan Busway, banyak pengacara yang bekerja di kantornya datang terlambat. Oleh karena itu, ia menilai kebijakan itu, khususnya Busway, tidak dilandasi dengan studi kalayakan yang memadai.

Perlu teladan
Feisal mencontohkan masalah letak halte atau shelter Busway yang dinilainya belum merata. Kantornya yang terletak di jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan termasuk salah satu yang sulit menjangkau halte busway. Menurut Feisal, kantornya berada diantara dua halte busway yaitu halte Mesjid Agung Al Azhar dan halte Pintu Sembilan Senayan. Namun, ironisnya, kedua halte itu letaknya ratusan meter dari kantornya. "Bagaimana mau naik Busway kalau haltenya jauh seperti itu," ucap Feisal.

Lebih jauh, Feisal mengusulkan agar Gubernur Sutiyoso ikut memberikan teladan kepada warga Jakarta dengan jalan menumpang busway dari rumah ke kantornya paling sedikit seminggu satu kali. "Itu untuk menilai dan merasakan sendiri apakah kebijakannya benar atau tidak," tandasnya. Feisal sendiri mengatakan belum sempat merasakan naik busway.

Tidak mengherankan jika Feisal bukan satu-satunya warga Jakarta yang belum mencoba menumpang bus Trans Jakarta milik Pemda DKI Jakarta. Pasalnya, dua pengacara lainnya Fredrik dan Chandra juga mengaku belum menjajal busway yang saat ini masih taraf ujicoba dan tidak dipungut bayaran. Namun, itu bukan berarti para profesional ini tidak mau mencobanya sama sekali.

"Mungkin setelah tanggal 29 (Januari) aku juga pengen coba sekali-sekali mau sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat naik dari depan kantor," ungkap Fredrik. Ia lebih memilih mencoba busway setelah masa percobaan habis karena sering membaca di surat kabar tentang banyaknya insiden di dalam busway yang sesak akan penumpang.

Melebihi Fredrik, Chandra mengatakan tidak gengsi untuk naik busway asalkan keamanan dan kenyamanannya sudah terjamin ditambah dengan jumlah armada yang mencukupi sehingga benar-benar dapat diandalkan dari segi waktu. "Mungkin kalau kayak gitu saya tidak keberatan juga. Saya tinggal duduk, tidak usah bayar sopir. Kendaraan saya jual saja kalau kayak gitu, kan gak ada gunanya," tuturnya serius.

N
amun, untuk waktu dekat ini Chandra masih melihat banyaknya keterbatasan dari busway. Terutama, terkait dengan masih minimnya jangkauan dari busway sehingga belum mampu mencapai daerah-daerah yang paling sering ia kunjungi. Karena itulah, hingga saat ini ia masih mengandalkan kendaraan pribadinya untuk beraktifitas.

Sementara itu, pengacara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Yusuf Shofie mengatakan bahwa adalah wajar jika para pemilik kendaraan merasa keberatan dengan kebijakan 3 in 1 ataupun busway. Ia menilai, dalam menelurkan kebijakan tersebut, Pemda DKI Jakarta telah mengurangi hak masyarakat pemilik kendaraan sebagai pembayar pajak.

"Nah, dengan mereka membayar pajak itu sementara hak mereka sebagai warga negara dibatasi untuk berlalu lintas itukan juga jadi masalah tersendiri. Wajar mereka pemilik kendaraan yang kebetulan mereka juga kantornya di sekitar Sudirman, Gajah Mada wajar keberatan karena mereka juga bayar pajak," tegas Yusuf.

Class action
Meski demikian, Yusuf tidak mau terburu-buru mengatakan bahwa kebijakan itu merugikan masyarakat. Ia mengimbau masyarakat agar melihat dulu apakah kebijakan tersebut benar-benar bisa mengatasi kemacetan di Jakarta. Yang pasti, tambahnya, semua kepentingan harus terakomodasi baik orang yang memiliki kendaraan pribadi maupun yang tidak punya kendaraan pribadi.

Bagaimanapun, ia menilai bahwa busway baru dapat mengakomodasi kepentingan para karyawan kantor. Sedangkan, kepentingan pengusaha kecil, menurutnya, belum sepenuhnya terakomodasi. "Bagi yang bukan pegawai kantoran, misalnya mereka punya usaha kecil-kecilan, barang elektronik, misalkan, boleh nggak membawanya pakai busway?" kata Yusuf.

Sampai sejauh mana masyarakat merasa keberatan dengan paket kebijakan 3 in 1 dan busway tersebut, yang pasti hingga kini belum ada satu pihakpun yang mempermasalahkannya secara hukum. Kendatipun demikian, menurut Fredrik, ide untuk mengajukan gugatan class action terhadap pemda DKI sempat menjadi pembicaraan hangat di kalangan pengacara. Tetapi hingga kini belum ada seorangpun yang serius merealisasikannya.
Senin, 26 Januari 2004, hidup para profesional yang berkantor di sepanjang koridor kawasan pembatasan penumpang, antara Jl Sisingamaraja sampai Kota, mungkin akan berubah drastis. Penyebabnya, hari itu Pemprov DKI memberlakukan kebijakan pembatasan penumpang, atau yang lebih dikenal dengan 3 in 1. Kebijakan tersebut memang bukan barang baru, tapi sekarang jamnya ditambah pada sore hari, jangkauannya lebih luas, dan pengawasannya lebih ketat. Mobil yang melintas sepanjang jalur 3 in 1, harus berpenumpang tiga, tak ada kecuali.

Tidak jauh beda dengan profesional lain yang berkantor di kawasan 3 in 1, para pengacara juga mengeluhkan beragam kerepotan yang mereka rasakan akibat kebijakan itu. Sebagian rela untuk menempuh 'jalan tikus' untuk mencapai kantornya meski akan dihadang kemacetan, Sementara, sebagian lagi berinisiatif untuk menyulap para asistennya menjadi joki. Yang pasti, sebagian besar mengaku belum sreg untuk mencoba kursi empuk bus Trans Jakarta alias busway.

Demi mengetahui bagaimana dampak pemberlakuan 3 in 1 dan Busway bagi para pengacara, hukumonline mencoba mewawancarai mereka yang berkantor di kawasan yang terkena kebijakan tersebut.
Halaman Selanjutnya:
Tags: