Vonis Akbar: Bersalah atau Bebas?
Fokus

Vonis Akbar: Bersalah atau Bebas?

Jauh sebelum majelis hakim melakukan musyawarah, berbagai rumor mengenai nasib Akbar Tandjung sudah beredar. Bahkan kemarin beredar kabar, spekulasi putusan Akbar dijadikan ajang taruhan.

Oleh:
Inayah Assegaf
Bacaan 2 Menit
Vonis Akbar: Bersalah atau Bebas?
Hukumonline

 

Bahkan, harian Rakyat Merdeka mengutip pernyataan salah seorang ketua DPP Golkar, yang menyebutkan bahwa vonis bebas untuk Akbar tinggal diumumkan saja. Karena, tiga orang anggota majelis telah sepakat memberi vonis bebas pada Akbar, sedangkan dua hakim lainnya, menetapkan Akbar terbukti bersalah.

 

Berbagai pihak, dengan berbagai alasan, memang berkepentingan dengan putusan  kasus korupsi dana Bulog senilai Rp40 miliar ini. Tak heran, sejak awal, banyak kalangan menyuarakan kekhawatiran adanya intervensi terhadap majelis hakim kasus ini. Baik intervensi uang, intervensi kekuasaan, tekanan masyarakat dan lain-lain. Maklum, pengadilan Indonesia masih dianggap sebagai tempat yang dapat diintervensi dengan uang maupun kekuasaan.

 

Kalau majelis hakim Akbar memang dapat diintervensi, baik oleh uang maupun kekuasaan, tentu ceritanya akan lain. Putusan akan dibuat sesuai pesanan. Tapi, jika kita asumsikan bahwa majelis hakim kasasi Akbar memutus sesuai hukum, tidak terpengaruh oleh intervensi dalam bentuk apapun, apakah artinya Akbar Tandjung akan divonis bersalah? Nanti dulu, masih ada beberapa kemungkinan.

 

Seperti diketahui, sebagai pengadilan tertinggi dan judex jurist, MA bertugas memeriksa penerapan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. Jadi, MA bisa saja membatalkan putusan PN dan PT yang menyatakan Akbar bersalah dan menghukumnya tiga tahun penjara, jika merasa isi putusan tersebut salah dalam menerapkan hukum.

 

Ketika kasus ini pertama kali disidangkan, banyak pihak merasa pesimistis jaksa akan dapat membuktikan dakwaan terhadap Akbar Tandjung. Salah-satu penyebabnya,  surat dakwaan jaksa dinilai lemah (lihat dakwaan Akbar Tandjung lemah?) sehingga akan sulit untuk dibuktikan.

 

JPU mendakwa Akbar dengan pasal 1 ayat (1) sub b jo pasal 28 jo Pasal 34 c UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 2 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 jo pasal 65 KUHP.

 

Pasal 1 ayat (1) sub b berbunyi, barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

 

Pertemuan di istana

 

Akbar, sebagai Mensesneg ketika itu, didakwa melakukan korupsi karena menggunakan dana Bulog selain untuk kepentingan tugas dan fungsi Bulog sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Menjadi pertanyaan, apakah Akbar sebagai Mensesneg, dapat dipersalahkan karena menggunakan dana Bulog itu, padahal ia hanya melaksanakan disposisi presiden Habibie, yang merupakan hasil pertemuan terbatas di Istana Merdeka antara Habibie, Akbar Tandjung, Kepala Bulog Rahardi Ramelan dan Menko Kesra Taskin Haryono Suyono pada 10 Februari 1999.

 

Belakangan, dalam persidangan terdakwa Rahardi Ramelan di PN Jakarta Selatan, Rahardi membantah adanya pertemuan antara presiden Habibie dengan tiga menteri pada 10 Februari 1999 di Istana Merdeka (lihat Hakim Harus Tunda Putusan Akbar untuk Dengarkan Keterangan Rahardi ).

 

Namun, kesaksian Rahardi di PN Jakarta Selatan itu tidak dipergunakan oleh hakim PN Jakarta Pusat yang mengadili Akbar. Padahal, sebenarnya hakim dapat memanggil lagi Rahardi untuk didengar keterangannya tentang hal itu, mengingat pertemuan itulah yang selama ini menjadi titik awal permasalahan.

 

Di persidangan, jaksa maupun hakim juga tidak terlihat berusaha menggali berbagai hal yang aneh dan ganjil dari pengakuan Akbar, Dadang dan Winfried, yang berubah-ubah.

 

Kencangnya kecurigaan bahwa uang Bulog itu sebenarnya mengalir ke kas Partai Golkar, misalnya, sama sekali tidak disinggung dalam persidangan. Jaksa dan hakim percaya begitu saja bahwa dana itu diserahkan pada Yayasan Raudhatul Jannah dan diselewengkan oleh Dadi Suryadi, seorang sopir taksi yang sudah almarhum, beserta Dadang dan Winfiried.  

 

Padahal, penjelasan bahwa uang itu diserahkan pada Dadang dan Winfried jelas akan menimbulkan kesulitan untuk membuktikan bahwa Akbar dengan sengaja menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu badan. Tidak jelas misalnya, apa motif Akbar untuk dengan sengaja menguntungkan Dadang atau Winfried atau yayasan Raudatul Jannah. Berbeda dengan, jika uang itu diberikan pada partai Golkar, misalnya. 

 

Tidak profesional

Terlepas dari berbagai hal tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang terdiri dari Amiruddin Zakaria, Andi Samsan Nganro, Pramodhana K. Kusuma, Herry Swantoro dan I Ketut Gede menyatakan Akbar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.

 

Menurut majelis, walau Akbar tidak terbukti melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri, namun Akbar terbukti melakukan perbuatan yang menguntungkan orang lain, yaitu Dadang dan Winfried. Majelis berpendapat, perbuatan itu dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang disengaja karena Akbar seharusnya patut menyadari bahwa terdakwa II dan terdakwa III tidak profesional.

 

Majelis juga menyatakan bahwa Akbar terbukti menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Walau majelis tidak sependapat dengan JPU yang menyatakan bahwa terhadap pengelolaan dana non budgeter Bulog tunduk pada Keppres No.16 Tahun 1994, namun majelis beranggapan Akbar sebagai koordinator proyek pembagian sembako yang ditunjuk oleh presiden, seharusnya mempedomani asas-asas pengelolaan keuangan negara.

 

Putusan PN Jakarta Pusat itu dikuatkan oleh pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam pertimbangannya, majelis hakim PT pimpinan Ridwan Nasution menilai putusan PN sudah benar. Putusan tidak hanya mempertimbangkan asas kepatutan sebagai satu-satunya parameter, tetapi juga memperhatikan asas pengelolaan keuangan negara.

 

Menurut majelis banding, tindakan Akbar yang tanpa surat perintah--tapi serta merta menyerahkan uang Rp 40 miliar pada Dadang--, merupakan tindakan sewenang-wenang. Apalagi, penunjukan itu tanpa didasarkan tender.

 

Kini, majelis hakim kasasi akan menilai putusan PN dan PT tersebut. Sebenarnya, majelis hakim MA mempunyai wewenang untuk memerintahkan pengadilan kembali memanggil dan memeriksa saksi-saksi jika ada fakta-fakta hukum yang dirasa kurang jelas. Sayang, kewenangan itu tidak digunakan oleh majelis hakim kasasi.

 

Di sisi lain, majelis kasasi MA dapat saja menyetujui putusan Pengadilan Negeri  dan Pengadilan Tinggi dan menjatuhkan hukuman bagi Akbar karena merasa putusan PN dan PT itu sudah tepat.   

 

Dissenting opinion

Yang menarik, berdasarkan perubahan atas UU No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No.14 Tahun 1985 tentang MA, dissenting opinion hakim menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

 

Mengingat kedua Undang-undang itu sudah disetujui oleh DPR pada 18 Desember 2003, dan pasal 20 ayat (5) UUD menyatakan bahwa sebuah UU otomatis berlaku setelah 30 hari sejak disetujui oleh DPR, meski belum ditandatangani presiden, maka kedua UU tersebut sudah berlaku. Artinya, jika ada hakim yang memberikan dissenting opinion, maka bagian itu harus dimuat dalam putusan dan diketahui oleh publik.

 

Jadi, kita tunggu saja putusan majelis kasasi MA. Atau, jika sudah tidak sabar, anda bisa menebak dengan menghitung suara tokek… bersalah, bebas, bersalah, bebas, bersalah…….

Selangkah lagi, nasib Ketua DPR Akbar Tandjung akan jelas. Pasalnya, majelis hakim agung yang mengadili permohonan kasasi Akbar Tandjung, mulai melakukan musyawarah untuk mengambil putusan. Putusan hakim, seperti lazimnya, terdiri dari dua kemungkinan, menerima permohonan kasasi, yang artinya Akbar dinyatakan tidak bersalah. Atau, menolak kasasi dan menyatakan Akbar bersalah, yang artinya akan membawa calon kuat presiden dari partai Golkar itu melangkah ke bui, hanya lebih kurang dua bulan menjelang Pemilu 2004.

 

Jauh sebelum majelis hakim melakukan musyawarah, berbagai rumor sudah beredar. Yang paling santer adalah, rumor Akbar akan dinyatakan bebas. Namun disebutkan, keputusan majelis tidak bulat. Dua anggota majelis sepakat menghukum Akbar, sedangkan tiga lainnya menyatakan Akbar tidak bersalah.

Tags: