Revisi UU Haji, Titian Menuju Penghapusan Monopoli Depag
Fokus

Revisi UU Haji, Titian Menuju Penghapusan Monopoli Depag

Revisi terhadap UU Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi alternatif utama untuk mengurangi kewenangan absolut Menteri Agama dalam pengelolaan haji. Revisi tersebut diharapkan pula mampu melahirkan sistem untuk mencetak haji-haji untuk mengangkat negeri ini dari segala krisis.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Revisi UU Haji, Titian Menuju Penghapusan Monopoli Depag
Hukumonline

Koalisi berpandangan bahwa sulitnya jamaah haji Indonesia melaksanakan ibadah haji secara optimal adalah hal yang wajar karena standar pembinaan dari Depag yang alakadarnya. Panduan yang diberikan hanya sebatas fikih, namun tak menyentuh aspek makna dari ibadah haji itu sendiri. Akibatnya, banyak jamaah yang mengalami disorientasi saat tiba di Tanah Suci, dan ibadah pun menjadi tidak optimal. Pada akhirnya, proses pembentukan karakter haji ideal tak berjalan.

Seperti diketahui, tahun ini pemerintah Indonesia diberi jatah oleh Pemerintah Arab Saudi --sesuai kesepakatan Organisasi Konferensi Negara-negara Islam (OKI)-- sebanyak 205 ribu jamaah. Sebanyak 94 persen dari kuota itu dipegang oleh Pemerintah, sedangkan sisanya, 6 persen (12 ribuan jamaah), diserahkan kepada biro perjalanan swasta.

Penentuan kuota tidak jelas

Sebagai salah satu aspek krusial, pembagian kuota antara penyelenggara haji pemerintah dan swasta selama ini dinilai tidak pernah jelas. Artinya, tidak ada ketentuan relatif permanen soal pembagian kuota penyelenggara haji nasional. Alhasi, penentuan alokasi kuota antara pemerintah dan swasta berjalan tanpa dasar yang jelas.

Hal-hal yang disebutkan di atas hanyalah segelintir dari beberapa pasal dalam UU No.17/1999 yang dianggap bermasalah oleh Koalisi. Secara keseluruhan, UU No.17/1999 dinilai memberikan kekuasaan yang sangat absolut kepada Menteri Agama. UU No. 17/1999 menetapkan, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah di bawah koordinasi Menteri Agama.

Untuk itulah, Koalisi meminta kepada Komisi VI DPR yang membidangi soal agama dan pendidikan agar melakukan revisi terhadap UU No.17/1999. Dengan dilakukannya revisi terhadap UU tersebut, diharapkan Depag ditempatkan pada fungsi regulator penyelenggaraan haji. Bahkan, menurut Koalisi, berdasarkan prinsip good governance, Depag sebenarnya tidak berhak mengelola kegiatan masyarakat yang dibiayai dana masyarakat.

Pengelolaan penyelenggaraan ibadah haji oleh pemerintah ini merupakan pekerjaan yang kompleks, karena melibatkan banyak orang dan jumlah dana yang sangat besar. Jika biaya perjalanan haji sekitar Rp20 juta per jamaah, maka jumlah dana keseluruhan yang harus dikelola oleh pemerintah sekali musim haji mencapai Rp4,1 triliun (205 ribu jamaah dikali Rp20 juta per-jamaah).

Dana tersebut merupakan dana penerimaan dari masyarakat yang tidak dimasukkan dalam APBN (bukan PNBP dan bukan non-budgeter), namun dikelola secara khusus oleh Badan Pengelola Dana Ongkos Naik Haji Indonesia (BPDONHI) yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 35/1996 jo. Keppres No. 52/1996 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPDONHI (kini bernama Badan Pengelola Dana Abadi Umat).

Enam kegagalan UU No.17/1999

Undang-undang No.17/2003 adalah undang-undang tentang haji yang pertama dimiliki Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun menggunakan perundang-undangan kolonial. Pertama kali pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan regulasi haji adalah Ordonansi haji (Pelgrims Ordonantie Staatsblaad Tahun 1922 Nomor 698) dengan perubahan-perubahan tambahannya hingga dikeluarkan "Pelgrim Verordening" tahun 1938.

Kemudian, pada masa kemerdekaan pemerintah mengeluarkan regulasi berupa peraturan dan keputusan-keputusan Presiden, tapi pada dasarnya tetap mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda yang dianggap sebagai undang-undang. Barulah pada era Presiden B.J. Habibie dikeluarkan UU No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji pada 13 Mei 1999.

Kelahiran UU No.17/1999 saat itu tidak dapat dilepaskan sebagai upaya pemerintah dan DPR untuk memberikan makna responsif dan antisipatif terhadap dinamika masyarakat terkait dengan penyelenggaraan haji di Indonesia. secara empiris dan faktual, penyelenggaraan ibadah haji identik dengan tugas nasional yang dalam pelaksanaannya bersifat massal.

Di luar itu, penyelenggaraan ibadah haji berlangsung dalam jangka waktu tertentu, menyangkut masalah ibadah, merangkum keselamatan dan kesejahteraan lahir-batin jamaah. Bahkan, lebih dari itu, berdampak luas pada nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri khususnya Saudi Arabia.

Dalam kurun waktu 2000-2003 hadirnya UU No.17/1999 di satu sisi memang dapat menambah kuatnya dasar hukum tentang urusan perhajian yang telah berlaku sebelumnya. Namun, dalam implementasinya penyelenggaraan haji belum banyak mengalami perubahan yang mendasar.

Pada titik inilah, kurang lebih, pandangan sejumlah anggota DPR bersinggungan dengan apa yang dituntut oleh Koalisi. Sebanyak 40 orang anggota Dewan, separuhnya anggota Fraksi Partai Golkar, menandatangani usul RUU Perubahan UU No.17/1999.

Paling tidak, ada enam faktor yang oleh para pengusul revisi diyakini menjadi penyebab kegagalan implementasi UU No.17/1999. Pertama, UU No.17/1999 memberikan otoritas dan kewenangan terlalu besar kepada pemerintah dan kurang menampung peran serta masyarakat swasta.

Kedua, pelaksanaan UU No.17/1999 tidak didukung oleh Peraturan Pemerintah, sebagai dasar hukum organik setingkat di bawah undang-undang, tapi langsung diatur oleh keputusan menteri. Hal ini dianggap merupakan kejanggalan dan tidak taat asas dengan urutan jenjang peraturan perundang-undangan sesuai TAP MPR RI.

Ketiga, adanya beberapa kontradiksi pengaturan antara undang-undang dengan Keputusan Menteri Agama, serta dengan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji (BIUH) No.D/296 Tahun 1999. Keempat, dalam penetapan biaya terdapat praktik yang memberatkan jamaah haji yang bukan merupakan biaya langsung yang dibutuhkan oleh jamaah haji.

Kelima, aspek bimbingan, pelayanan dan perlindungan jamaah haji sebagai amanat UU No.17/1999 tidak bisa ditunaikan oleh Pemerintah, karena terjebak pada urusan-urusan yang besifat teknis kecil-kecil, tidak pada hal-hal yang menyangkut keberhasilan tercapainya haji mabrur sebagai tujuan akhir.

Keenam, banyaknya masalah yang selalu dikritisi oleh beberapa pihak karena dianggap lemah yakni: profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas publik terutama yang menyangkut pengelolaan dana sedemikian sentralistik dan tertutup.

Potensi penyimpangan

Masalah transparansi dan pengawasan pengelolaan dana haji memang menjadi hal yang sangat krusial. Apalagi, menurut DPR, Depag belum pernah memberikan laporan tentang Dana Abadi Umat dan rincian dari pelaksanaan BPIH kepada DPR sejak 2001.

Sementara itu, penting pula untuk dicatat bahwa sejak 1995 BPK-RI baru tiga kali melakukan audit atas Penyelenggaraan Ibadah Haji Nasional, yaitu tahun 1995, 2000 dan 2002. Audit ini dilakukan secara menyeluruh baik di Pusat (Jakarta), Arab Saudi maupun di Embarkasi/Debarkasi Dalam Negeri yang meliputi DI Aceh, Batam, Medan, Jakarta, Bekasi, Surakarta, Surabaya, Balikpapan dan Makasar.

Sekadar perbandingan, besarnya BPIH per-jamaah Tahun 2002 meliputi komponen biaya sebagai berikut :

a.      Biaya Penerbangan Haji sebesar AS$1,150.00 atau AS$1,250.00 atau AS$1,350.00 (44 persen)

b.      Biaya Operasional di Arab Saudi sebesar AS$1,435.01 (52 persen)

c.      Biaya Operasional DN sebesar Rp477.500,00 (2,5 persen)

d.      Biaya Administrasi Bank sebesar Rp322.500,00 (1,5 persen)

Karena komponen terbesar BPIH digunakan untuk operasional penyelenggaraan di Arab Saudi (52 persen) dan biaya tiket pesawat (44 persen), maka potensi penyimpangan terbesar pun terjadi pada kedua komponen biaya tersebut, dengan tidak menutup kemungkinan kepada komponen biaya lainnya.

Dalam jurnal Pemeriksa No.86 Agustus 2002 terbitan BPK RI, ditulis bahwa potensi penyimpangan bisa dan mungkin terjadi pada penyelenggaraan haji nasional adalah pada pemondokan jamaah, katering/konsumsi jamaah dan transportasi jamaah. 

Boks: Potensi Penyimpangan Penyelenggaraan Haji Nasional

1. Pemondokan Jamaah

a.       Harga sewa pemondokan tidak mengacu pada standar tertentu sehingga terjadi perbedaan harga antara pemondokan yang sama kualitas dan jaraknya atau harga pemondokan yang lebih jelek dan lebih jauh lebih mahal

b.       Jumlah kapasitas pemondokan yang disewa lebih banyak dari jumlah jamaah haji sehingga menyebabkan pemborosan atau kelebihan kapasitas dimanfaatkan untuk kepentingan lain.

c.       Realisasi pembayaran sewa pemondokan lebih besar dari jumlah kapasitas pemondokan yang disewa

2. Katering/Konsumsi Jamaah

a.       Prosedur pemilihan rekanan tidak sesuai ketentuan sehingga tidak menjamin terpilihanya rekanan yang benar-benar berkualitas dengan harga yang wajar

b.       Harga paket katering jamaah tidak mengacu pada standar tertentu  sehingga terjadi perbedaan harga antar rekanan meskipun sama kualitas dan macamnya

c.       Pemberian katering/konsumsi tidak sesuai dengan masa tinggal jamaah haji.

3. Transportasi Jamaah

a.       Kontrak dan realisasi pembayaran kepada perusahaan angkutan tidak didasarkan pada jumlah riil jamaah haji yang diangkut sehingga terjadi pemborosan atau kelebihan bayar

b.       Perhitungan harga tiket penerbangan memasukkan unsur biaya yang tidak relevan sehingga harga tiket yang dibebankan kepada jamaah haji terlalu tinggi

4. Lain-lain

a.       Pembayaran honorarium kepada panitia penyelenggara haji tidak didasarkan pada prestasi riil di lapangan.

b.       Pembayaran honorarium tidak dikenakan PPh pasal 21

c.       Kelengkapan bukti pertanggungjawaban keuangan tidak memadai

Sumber: Wahyu Priyono, "Audit atas Penyelenggaraan Ibadah Haji Nasional", Pemeriksa No.86, Agustus 2002.

Oleh sebab itu, konsep yang diperjuangkan oleh para pengusul revisi UU No.17/1999 adalah terbentuknya struktur baru bagi penyelenggaraan haji yang mampu mengakomodasi gagasan-gagasan seperti menyeimbangkan peran pemerintah dan swasta serta memberi diferensiasi antara pengatur, pengawas dan pelaksana. Seperti lazim diketahui, ketiga fungsi tersebut saat ini terletak pada satu lembaga yaitu Depag.

Badan penyelenggara independen

Hal lain yang juga ingin diperjuangkan dalam revisi UU No.17/1999 adalah untuk menciptakan pola manajemen terbuka, transparan dan akuntabel baik yang menyangkut pengadaan barang dan jasa, meupun keuangan. Karena itulah, revisi juga memberikan penekanan kepada penyelenggara yang jujur dan profesional.

Revisi UU No.17/1999 juga mengusulkan dibentuknya "Dewan Syuro Haji Indonesia" yang berfungsi sebagai pengatur dan pengawas, serta lembaga penyelenggara haji yang berfungsi sebagai pelaksana. Di dalamnya dapat dihimpun unsur pemerintah dan masyarakat, ulama atau pimpinan umat, untuk duduk bersama menjalankan fungsi regulasi dan supervisi.

Selanjutnya, RUU tersebut mengintrodusir "Badan Penyelenggara Haji Indonesia" yang Independen dan profesional sebagai pelaksana atau operator penyelenggaraan Ibadah Haji tingkat nasional atau pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Dengan adanya perbaikan terhadap perorganisasian penyelenggara haji melalui revisi UU No.17/1999 para pengusul RUU tersebut berharap segala bentuk penyalahgunaan wewenang, inefisiensi, dan praktek-praktek negatif lainnya dalam mengelola amanah umat Islam dapat dicegah atau, paling tidak, dikurangi.

Di sisi lain, Menag Said Agil Husin Al-Munawar tidak keberatan jika dilakukan revisi UU No.17/1999 untuk menderegulasi penyelenggaraan ibadah haji dan menghapus sistem monopoli penyelenggaraan ibadah haji. ''Pada prinsipnya Departemen Agama tidak keberatan monopoli penyelenggaraan haji selama ini dicabut jika pihak terkait memiliki tujuan yang sama. Prinsipnya, kita tidak keberatan. Silakan saja wacana ini dikembangkan, kalau perlu dilokakaryakan,'' ujar Menag, sebagaimana dikutip di pesantren online.

Soal lokakarya tersebut, lain di bibir Menag, lain pula di lisan pimpinan Komisi VI. Wakil Ketua Komisi VI DPR dari F-PG Anwar Arifin mengatakan bahwa janji akan menggelar lokakarya tersebut sudah lama "diobral" pihak Depag. Namun, hingga dua tahun lamanya janji itu belum juga terlaksana dengan alasan pihak Depag belum siap. Akhirnya, setelah mendapat masukan dari Koalisi, Komisi VI sepakat untuk "memaksa" Depag untuk menyelenggarakan lokakarya secepat mungkin.

Komisi VI memberi waktu Depag paling lambat satu bulan terhitung sejak hari raya Idhul Adha, 1 Februari, untuk menyelenggarakan lokakarya yang melibatkan semua pihak baik legislatif, ormas Islam, LSM, media, penyelenggara haji (Depag, Asosiasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji/KBIH), wakil pemda dan lembaga lain yang relevan.

Itikad dan komitmen semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji, khususnya DPR dan Depag, dalam rangka merevisi UU No.17/1999 harus terus didorong. Dan yang mesti dicamkan adalah gol emas dari revisi UU No.17/1999 tidak cuma demi menghapus monopoli Depag dalam penyelenggaraan haji, namun lebih dari itu, demi terciptanya sistem penyelenggaraan haji yang benar. Sehingga, jamaah bisa menjalankan ibadah haji dengan benar. Dengan demikian, insya Allah, di Indonesia akan lahir ribuan haji yang mampu mengangkat negeri ini dari segala krisis. Wallahu 'alam.

Koalisi Reformasi untuk Penyelenggaraan Haji (Koalisi) mengungkapkan fakta yang mengejutkan terkait dengan kesemrawutan penyelenggaraan haji nasional. Berbagai macam penyimpangan dan mismanagement penyelenggaraan haji oleh Departemen Agama, tak cuma membuat lebih dari 30 ribu jamaah gagal berangkat ke Tanah Suci Mekkah-Madinah, namun juga mengakibatkan hanya sedikit jamaah yang bisa menunaikan haji dengan baik.

Pemikiran itu diutarakan anggota Koalisi, Zaim Uchrowi, kepada wartawan usai bertemu dengan Komisi VI DPR. Zaim yang juga Direktur Eksekutif Maslahat Haji, lembaga yang bergerak di bidang kajian dan advokasi haji, mengatakan bahwa dengan sistem penyelenggaraan haji yang diterapkan Depag selama ini sangat menyulitkan jamaah untuk menjalankan ibadah haji secara benar.

"Saat ini dalam kalkulasi sementara kami hanya sepuluh persen dari jamaah haji ini yang bisa mengikuti proses haji dengan benar. Selebihnya barangkali belum tepat untuk menjadi haji. Lebih baik mereka umroh dulu atau apa dan sebagainya," tegas Zaim.

Tags: