RUU Kedokteran: Mengamankan Dokter, Mengabaikan Pasien
Fokus

RUU Kedokteran: Mengamankan Dokter, Mengabaikan Pasien

RUU Praktek Kedokteran disambut gembira oleh para dokter yang berharapprofesi mereka akan terlindungi Di sisi lain, RUU tersebut juga mendapat sorotan miring karena dinilai kurang memberikan perlindungan terhadap pasien.

Oleh:
Tri
Bacaan 2 Menit
RUU Kedokteran: Mengamankan Dokter, Mengabaikan Pasien
Hukumonline

 

Berdasarkan argumen yang diajukan dari kalangan pengusul , peradilan khusus bagi dokter ini penting mengingat profesi dokter sangatlah khusus, dan tidak semua orang paham dan mengerti soal  masalah medis. Bahkan, para hakim yang nantinya akan duduk di peradilan itu adalah orang-orang yang mengerti dan paham masalah hukum dan kesehatan.

 

Ada beberapa alasan yang diajukan untuk memperkuat argumen ini. Salah satunya adalah anggapan bahwa instrumen hukum yang ada sekarang --kepolisian dan peradilan-- kurang memahami bagaimana profesi kedokteran bekerja. "Sekarang para dokter dilanda perasaan ketakutan, dan ini akan berdampak buruk bagi pelayanan kesehatan kepada masyarakat," tutur dr. Rudy Cahyadi, salah satu dokter yang ikut memberikan dukungan terhadap perlunya lembaga peradilan khususnya bagi para dokter.

 

Dampak buruknya adalah, para dokter akan meminta tarif yang tinggi dari setiap pelayanan kesehatan yang mereka berikan. Pasalnya, mereka khawatir akan adanya gugatan terhadap jasa kesehatan yang mereka berikan.

 

"Kalau melihat kondisi sekarang, sering kali gugatan yang dilakukan pasien terhadap dokter tidak sebanding dengan pendapatan sepanjang hidupnya. Jadi mereka perlu melindungi diri dan keluarganya dengan men-charge pasien dengan biaya yang sangat mahal," papar Rudy.

 

 

 

Standar profesi

Apa yang dikemukakan dr. Rudy, soal korelasi mahalnya pelayanan kesehatan dengan banyak gugatan dan tuntutan pidana terhadap dokter ini didasarkan pada pengalaman yang terjadi di negara lain. Ia merujuk pada pengalaman praktek yang terjadi di Amerika Serikat. Saat ini, biaya untuk membayar jasa kesehatan di Amerika Serikat sangat mahal, karena para dokter di sana khawatir atas profesinya yang sangat rentan dari gugatan dan tuntutan pidana.

 

Bahkan di Amerika Serikat, para pengacara tidak segan-segan memasang iklan agar para pasien yang merasa dirugikan para dokternya untuk mengajukan gugatan dan tuntutan ke pengadilan. "Ini sangat mengkhawatirkan. Saya tidak mau apa yang terjadi di Amerika Serikat terjadi di Indonesia, karena nantinya masyarakat yang akan dirugikan," tutur.Rudy.

 

Namun, Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) tidak sependapat. Marius menilai, keberadaan RUU Praktek Kedokteran tidak diperlukan saat ini. "Kita memerlukan standar profesi dokter, bukan UU Praktek Kedokteran," tutur Marius.

 

Selain tidak adanya standar profesi dokter di Indonesia, menurut Marius, keberadaan dokter sebenarnya bukanlah profesi yang berdiri sendiri. Keberadaan profesi dokter sangat tergantung dengan profesi tenaga medis lainnya, seperti perawat, dan farmasi. Oleh karena itu, yang terpenting bukanlah membuat RUU Praktek Kedokteran, tetapi bagaimana membuat peraturan pelaksana dari Undang-undang Kesehatan (UU No. 23 tahun 1992).

 

"Yang kita perlukan adalah peraturan pelaksana dari UU Kesehatan bagi tenaga medis. Bukan undang-undang yang bersifat spesialis (RUU Praktek Kedokteran)," tegasnya.

 

Marius menyatakan, bahwa sebenarnya para dokter yang gigih memperjuangkan RUU Praktek Kedokteran tidak mengerti terhadap apa sesungguh profesi dokter itu sendiri. "Dokter itu bukan profesi mandiri. Kalau dokter takut diadili layaknya kriminal biasa, jangan salahkan aparat hukumnya. Itu salah para dokter sendiri, kenapa tidak mempunyai standar profesi kedokteran yang bisa dijadikan rujukan," tutur Marius yang juga seorang dokter.

 

Bertentangan

Keberadaan peradilan disiplin bagi profesi tenaga medis sebagaimana diusulkan dalam RUU Praktek Kedokteran diatas, ternyata memiliki kelemahan dari sisi yuridis. Pasalnya, keberadaan peradilan disiplin profesi kedokteran yang berkedudukan layaknya pengadilan ini ternyata bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.

 

Berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, sistem hukum di Indonesia hanya mengatur empat pilar peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

 

Nah, untuk menyiasati persoalan yuridis ini, Departemen Kesehatan sudah menyiapkan draf tandingan RUU Praktek Kedokteran dengan membentuk Komite Disiplin Dokter (KDD) sebagai pengganti peradilan disiplin bagi profesi tenaga medis.

 

Namun, baik lembaga peradilan khusus dokter maupun KDD, Marius menilainya sebagai upaya para dokter untuk melakukan perlindungan terhadap dirinya sendiri, alias cari selamat. Sebut saja syarat menjadi hakim di peradilan khusus dokter ataupun KDD, yang mensyaratkan sarjana hukum tetapi memiliki pengalaman di bidang kesehatan. "Syarat ini kan aneh. Memang harus seorang sarjana hukum yang sekaligus dokter saja yang bisa menjadi hakim,"tegasnya.

 

Begitu juga dengan draf RUU Praktek Kedokteran versi pemerintah, yang mengandung banyak kelemahan. Soal keberadaan KDD, menurut beberapa dokter, KDD tidak beda jauh dengan majelis kehormatan etik kedokteran (MKEK) yang ada sekarang ini. "Itu tidak lebih dari tempat berploncoan saja," tutur seorang dokter yang tidak mau namanya disebut namanya mengomentari keberadaan komite disiplin dokter. Selain itu, sulit mengharapkan adanya penegakan disiplin dokter kalau yang memeriksa mereka adalah  rekan sejawatnya sendiri..

 

Hal ini terkait dengan begitu tingginya esprit de corps (semangat melindungi korps) dari para dokter. Sepanjang sejarah praktek kedokteran di Indonesia, hanya ada satu dokter yang izinnya dicabut karena terbukti melakukan malpraktek. Padahal, kalau melihat catatan pengaduan dari YPKKI, dari 149 kasus yang masuk ke YPKKI, dan sebanyak 75% korban malpraktek adalah tenaga medis sendiri, baik dokter, perawat dan lainnya. Tapi, penindakan pelanggaran tersebut sama sekali rendah.

 

Bersifat tertutup

 

Pendapat minor terhadap usulan adanya lembaga komite disiplin dokter ini, terkait juga dengan tidak terbukanya setiap proses yang dilakukan komite disiplin. Semua proses dilakukan secara tertutup. Bahkan untuk pembacaan putusan pun dilakukan dalam sidang yang tertutup. Tentu saja hal ini menimbulkan persoalan tersendiri, mengingat dalam kondisi demikian, perlindungan terhadap pasien menjadi terabaikan.

 

Kehadiran lembaga komite disiplin dokter disinyalir juga tidak akan memperbaiki perlindungan terhadap  pasien maupun dokter sendiri. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Selama ini pasien selalu sebagai pihak yang lemah apabila dokter melakukan malpraktek. Sebagai pihak yang tidak mengerti persoalan seputar praktek kedokteran, pasien juga tidak bisa mengetahui bagaimana proses komite disiplin bekerja.

 

Mengenai pengaturan proses beracara, komite disiplin dalam draf RUU versi pemerintah menyatakan bahwa setiap proses yang ada di komite disiplin dilakukan secara tertutup untuk setiap level pemeriksaan maupun saat mengeluarkan keputusan. Dari sisi sanksi, hukuman yang diberikan komite disiplin juga tidak terlalu berat.

 

Putusan komite disiplin hanya berupa sanksi yang ringan seperti pemberian peringatan tertulis. Yang berat, mungkin hanyalah sanksi pencabutan izin praktek untuk waktu paling lama satu tahun. Selain itu, komite disiplin juga bisa menjatuhkan putusan  berupa kewajiban untuk mengikuti pendidikan dan atau pelatihan di fakultas kedokteran. 

 

Memang draf RUU usulan Pemerintah memberikan peluang kepada para pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan komite kerja disiplin untuk mengajukan keberatan ke pengadilan. Tapi yang menjadi pertanyaan, sejauh mana pengadilan bisa mengoreksi putusan komite disiplin dokter ?

 

Soal perlu tidaknya sebuah undang-undang bagi para dokter memang akan menjadi perdebatan yang terbuka dalam pembahasan RUU Praktek Kedokteran. Marius  menyatakan, pihaknya dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya, seperti YLKI, LBH Jakarta, YLBHI, YAPICA telah sudah membentuk koalisi menolak keberadaan RUU Kedokteran. Sebaliknya, para dokter sudah bertekad akan mengajukan protes bila DPR belum juga menuntaskan RUU yang sudah disiapkan dua tahun silam ini.

 

Tapi sejatinya, seperti juga keinginan sebagian para dokter, para anggota komisi VIII yang beberapa di antarannya berprofesi sebagai dokter dalam rapat dengar pendapat dengan aliansi dokter RS. Bunda Indonesia (5/02) memandang keberadaan perangkat peraturan setingkat undang-undang bagi profesi kedokteran memang sangat diperlukan. Mereka merujuk ke Malaysia, negara tetangga Indonesia yang sudah sejak lama memiliki undang-undang bidang kedokteran (Medical Act).

 

Di sisi lain, soal pembahasan RUU Praktek Kedokteran di DPR, Marius menyatakan tetap akan mendesak DPR bahwa saat ini RUU Praktek Kedokteran tidak diperlukan. Ia bersikukuh agar melainkan buat peraturan pemerintah tentang standar profesi dokter. Apapun yang dihasilkan nanti, yang terpenting harus ada jaminan perlindungan yang memadai bagi pasien. RUU Praktek Kedokteran yang hanya melindungi dokter tapi mengabaikan pasien, hanya akan menimbulkan eksklusifitas dan rentan untuk disalahgunakan.

Berdasarkan pantauan hukumonline, RUU Praktek Kedokteran akan segera dibahas di DPR.. Presiden Megawati telah menunjuk Menteri Kesehatan untuk meawakili pemerintah dalam pembahasan di DPR. Rencananya, pembahasan RUU Kedokteran akan dimulai dilakukan pada 17 Februari mendatang.

 

Keberadaan RUU Praktek Kedokteran memang diperjuangkan "mati-matian" oleh para dokter. Ketua Aliansi Rumah Sakit Bunda Indonesia, dr. Rizal Sini SPOG, adalah salah satu pihak yang merasa betapa pentingnya RUU ini. Ia  mengemukakan, dokter merupakan profesi eksklusif yang harus dilindungi dari jeratan pidana maupun perdata.

 

"Malpraktek bukan kejahatan atau penipuan, jadi jangan diadili dengan pengadilan biasa. Perlu ada UU khusus yang mengatur profesi dokter," papar Rizal, yang mengharapkan adanya impunity bagi dokter dari jeratan pidana dan perdata (KUHP dan KUHPerdata) di peradilan umum (Peradilan Negeri).

 

Dalam draf RUU Praktek Kedokteran memang  dibuat lembaga peradilan khusus, yang ditujukan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan terhadap sengketa yang timbul akibat tindakan yang dilakukan tenaga medis. Keberadaan lembaga peradilan ini terkesan mengakomodir kepentingan para dokter bahwa pengadilan biasa tidak bisa mengadili praktek kedokteran.

Tags: