Menakar Putusan (Bebas?) Akbar
Fokus

Menakar Putusan (Bebas?) Akbar

Keadaan darurat (noodverordeningsrecht) menjadi salah satu inti pembelaan kuasa hukum Akbar di tingkat kasasi. Asas-asas kepatutan yang dilanggar oleh Akbar, juga dianggap bukan merupakan penyalahgunaan wewenang. Akankah majelis kasasi sependapat?

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Menakar Putusan (Bebas?) Akbar
Hukumonline

Dalam memori kasasi, kuasa hukum Akbar berusaha meyakinkan majelis hakim kasasi bahwa majelis hakim PN maupun PT sama sekali tidak mempertimbangkan tentang adanya keadaan darurat pada saat itu (tahun 1998), yang sangat mempengaruhi cara kerja pejabat negara dalam pengambilan keputusan pada saat kejadian.

Menurut kuasa hukum Akbar penunjukkan yayasan Raudatul Jannah tanpa tender untuk pengadaan sembako, seperti yang didakwakan jaksa, adalah karena keadaan darurat. Artinya, krisis berat dan multi dimensional yang melanda perekonomian nasional saat itu sangat mempengaruhi cara kerja pejabat negara, termasuk  Presiden, Kabulog, Menko Kesra dan Taskin, dalam pengambilan keputusan.

Kebijakan Presiden Habibie untuk menggunakan dana non budgeter Bulog untuk suatu kegiatan yang tidak berkaitan dengan fungsi Bulog, yaitu proyek pengadaan sembako, dinilai jelas menggambarkan adanya tindakan presiden untuk menanggulangi keadaan darurat. Karena dalam keadaan normal, kebijakan presiden itu jelas melawan hukum. Itu antara lain isi memori kasasi yang disampaikan tim kuasa hukum Akbar.

Pada bagian lain, penunjukkan Mensesneg sebagai koordinator pengadaan dan penyaluran sembako juga dijadikan argumen. Berdasarkan Keppres No. 104/1998 atau Keppres No 190 /1998, itu bukan merupakan tugas Mensesneg. Penunjukan Akbar itu dianggap menunjukkan suatu tindakan darurat untuk menanggulangi keadaan darurat.

"Akbar menunjuk yayasan tanpa tender, pertimbangannya karena dalam keadaan darurat harus cepat dan harus mempercayai rekanan yang ditunjuk oleh Menko Kesra. Keadaan darurat adalah dasar pembelaan dalam memori kasasi," ujar Nurhasyim Ilyas, salah seorang kuasa hukum Akbar kepada hukumonline. Menurutnya, keadaan darurat itu telah dijelaskan oleh Habibie dalam Berita Acara Persidangan (BAP).

Bukan Peraturan Tertulis

Kuasa hukum juga menilai majelis hakim PN dan PT telah salah menerapkan hukum dalam pembuktian unsur "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan", sebagaimana diatur pada pasal 1 ayat 1 sub b UU No 3 Tahun 1971. Pasalnya, pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang itu telah keluar dari koridor surat dakwaan dan hanya menggunakan ukuran ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.

Putusan majelis hakim PN, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi menyebutkan bahwa dana non budgeter Bulog tidak termasuk dana yang diatur oleh Keppres No 16 Tahun 1994. Sehingga, terhadap dana non budgeter sebesar Rp40 miliar itu, tidak diberlakukan Keppres No 16 Tahun 1994.

Namun, majelis dalam putusannya menyatakan: "bahwa patut manakala setiap uang negara dalam penggunaannya, apapun namanya, seyogyanya diterapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik dimana jiwa dan makna Keppres No 16 Tahun 1994 secara materil dapat dipedomani dan diterapkan".

Menurut majelis, Akbar sebagai koordinator yang ditunjuk oleh Presiden, seharusnya mempedomani asas-asas pengelolaan keuangan negara, semisal APBN, dengan membentuk tim atau panitia, pimpinan proyek, atau apapun namanya. Bisa juga Akbar menunjuk staf yang profesional yang bertugas memonitor, memantau secara cermat pelaksanaan yang dilakukan oleh kontraktor pelaksana (Yayasan Raudatul Jannah).

Oleh karena itu, menurut majelis, Akbar terbukti melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian sejalan atau paralel dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Menurut kuasa hukum Akbar, dalam memori kasasinya, putusan majelis itu dinilai salah menerapkan hukum. Dalam pembuktian unsur penyalahgunaan wewenang, pada pasal 1 ayat 1 sub b UU No.3/1971, jelas hanya dapat digunakan ukuran, pedoman atau parameter aturan tertulis, dan tidak dapat digunakan parameter hukum tidak tertulis, baik berupa asas-asas kepatutan pada umumnya, kepatutan dalam pengelolaan keuangan negara, maupun pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres No 16 Tahun 1994.

"Baik asas-asas kepatutan maupun asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada pada Keppres no 16 tahun 1994, adalah sama-sama merupakan ketentuan tidak tertulis karena majelis hakim dalam pertimbangan hanya menyebut asas-asas dan tidak menunjuk ketentuan atau pasal-pasal tertentu dari Keppres No 16 tahun 1994", tulis kuasa hukum dalam memori kasasinya.

"Kalau hakim mengatakan asas-asas umum, artinya bukan peraturan. Yang disebut asas-asas umum kan bukan peraturan. Kalau dibilang asas-asas umum semisal APBN, berarti bukan APBN tapi asas-asas umum. Kalau yang disebut asas adalah aturan tidak tertulis," kataNurhasyim.

Menurutnya, sesuai yurisprudensi dan hukum dasar, orang tidak boleh dihukum karena aturan yang sifatnya asas-asas, meski seseorang boleh dibebaskan karena aturan yang bersifat asas-asas.

Nurhasyim mengingatkan, kasus Natalegawa beberapa waktu silam yang menuai kontroversi karena ia dihukum karena melanggar asas-asas. "Seseorang tidak boleh dihukum dengan nilai-nilai kepatutan. Dalam pidana seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar aturan formil," imbuhnya.

Dalam putusannya, majelis hakim PN dan PT juga menyatakan bahwa Akbar menyalahgunakan wewenang karena tidak melakukan kontrol terhadap proyek pengadaan dan pembagian sembako.

Tapi, pendapat majelis itu juga dinilai salah dalam penerapan hukum dalam pembuktian unsur tersebut. Pasalnya, menurut kuasa hukum, sejak Akbar mengundurkan diri dua bulan sesudah proyek pengadaan sembako itu dimulai, maka tugas melakukan kontrol terhadap pelaksanaan proyek sembako itu beralih kepada pejabat Mensesneg yang baru, sehingga beban pertanggungjawaban bukan pada Akbar lagi.

Salah satu bocoran informasi yang beredar, menyebutkan bahwa salah-satu pertimbangan majelis kasasi dalam membebaskan Akbar adalah pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi, barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

Tapi, kuasa hukum Akbar, Nurhasyim, menyatakan tidak sependapat dengan argumentasi itu. Ia bersikukuh bahwa hal itu bukan merupakan inti pembelaan kuasa hukum. Bahkan, ia menyatakan kurang sependapat jika hal itu diajukan sebagai pembelaan. Pasalnya, presiden tidak pernah menyuruh Akbar melakukan pembagian sembako tanpa tender. Akbar hanya diperintahkan melaksanakan pembagian sembako, tapi presiden tidak menyatakan harus dengan tender atau tanpa tender.

Hanya mengulang

Sayangnya, berbagai argumentasi panjang lebar pengacara Akbar dalam memori kasasi itu tidak "dijawab" oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fachmi.. Dalam kontra memori kasasinya, jaksa kasus Akbar ini hanya menyatakan bahwa isi memori kasasi hanya mengulang kembali kejadian dan keadaan yang telah pernah dikemukakan pada pemeriksaan pengadilan sebelumnya.

Memori kasasi setebal 82 halaman, hanya dijawab kontra memori 21 halaman. Argumen kuat dengan mengutip banyak buku hukum yang dilakukan pengacara Akbar, tidak dibarengi hal serupa dari jaksa.

Lantaran dianggap hanya mengulang-ulang, JPU berpendapat bahwa alasan kasasi yang diajukan oleh penasehat hukum, bukan merupakan alasan untuk mengajukan kasasi sebagaimana diatur dalam pasal 253 ayat 1 butir a,b dan c KUHAP.

Ketika dihubungi hukumonline, Fachmi juga menyatakan hal yang sama. "Itu sudah dipertimbangkan (di pengadilan sebelumnya). Kalau sudah tidak masuk dalam kualifikasi kasasi untuk apa dibahas," ujar Fachmi.

"Itu sudah dipertimbangkan di PN dan PT," tukasnya. Argumen keadaan darurat misalnya, menurut Fachmi, hal itu sudah pernah dibahas di persidangan Pengadilan Negeri. "Di PN dahulu sudah dijawab, untuk apa dijawab lagi," cetusnya.

Fachmi juga tidak bersedia berkomentar lebih jauh mengenai argumen-argumen penasehat hukum dalam memori kasasi. "Jawabannya bahasa hukum, panjang kalau saya cerita, cukup dengan kontra memori kasasi. Itu sudah bahasa akademis," ujarnya.

Fachmi sendiri merasa optimis bahwa majelis kasasi akan menolak permohonan kasasi tersebut. "Optimis dong, ngapain saya ajukan ke pengadilan kalau tidak optimis,"ujarnya.

Penundaan pembacan putusan Akbar Tandjung, menimbulkan berbagai macam rumor, desas-desus, sampai bocoran informasi yang diyakini sahih tentang putusan itu. Yang paling santer terdengar adalah informasi bahwa Akbar akan dibebaskan oleh majelis hakim.

Salah seorang sumber hukumonline di MA bahkan berani memastikan bahwa Akbar akan diputus bebas. Masalahnya, menurut sumber itu, hanya apakah majelis hakim akan mengambil keputusan bulat, lima-kosong, ataukah salah seorang hakim yang masih ragu, akan melakukan dissenting opinion dan memutus Akbar bersalah.

Bila majelis hakim benar memutus bebas Akbar, tentu memori kasasi yang diajukan oleh kuasa hukum Akbar menjadi salah satu bahan pertimbangan untuk menilai putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Bagaimana isi memori kasasi tersebut?

Halaman Selanjutnya:
Tags: