Meski BPPN Bubar, Pertanggungjawaban Hukum Harus Terus Berlanjut
Utama

Meski BPPN Bubar, Pertanggungjawaban Hukum Harus Terus Berlanjut

Tidak ada kebijakan khusus untuk memberikan perlindungan hukum bagi pejabat BPPN yang terindikasi melakukan perbuatan kriminal dalam menjalankan tugasnya. Yang dilindungi hanya untuk masalah perdata dan mereka yang menjalankan tugasnya dengan itikad baik.

Oleh:
Tri/Leo
Bacaan 2 Menit
Meski BPPN Bubar, Pertanggungjawaban Hukum Harus Terus Berlanjut
Hukumonline
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sejak 27 Februari 2004 sudah resmi bubar. Meskipun demikian, BPPN yang sejak pendiriannya penuh dengan persoalan hukum, tetap saja menyisakan masalah. Bahkan Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) yang didirikan untuk menggantikan BPPN, diperkirakan juga tidak akan mampu menutup kekurangan setoran BPPN kepada pemerintah.

Selain itu, dari beberapa kali pergantian ketua BPPN dan presiden, sering kali ada perubahan kebijakan yang menyebabkan BPPN kesulitan menguasai aset-aset para obligor. Hal ini diakui Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Kuangan (KKSK) Lukita D. Tuwo. Menurut dia, penyelesaian kewajiban para obligor yang dilakukan dengan skema Akta Pengakuan Utang (APU) pada masa pemerintahan Gus Dur, jauh lebih maksimal jika dibandingkan dengan penyelesaian MSAA (Master of Settlement Acquisition Agreement) maupun MRNIA (Master of Refinancing Note Issuance Agreement) yang diputuskan pada zaman Presiden Habibie.

"Bisa saya katakan, penyelesaian APU bisa mencapai seratus persen dibandingkan dengan MSAA atau MRNIA yang jauh dari harapan. Sementara sekarang, saya tidak tahu mengapa dulu kita menggunakan penyelesaian melalui MSAA dan MRNIA, yang struktur perjanjiannya melemahkan posisi kita," kata Lukita, ketika hukumonline mewancarainya, seminggu menjelang hari-H pembubaran BPPN.  

Tetap bisa dipidana

Masih soal pembubaran BPPN, banyak kalangan yang juga mencibir permintaan petinggi BPPN agar diberikan perlindungan hukum plus pesangon yang besar. Hal ini dipandang sebagai suatu ironi, mengingat meski diberi gaji dan fasilitas yang melimpah, tetapi nyatanya mereka juga khawatir terhadap adanya ancaman gugatan di kemudian hari terhadap kinerjanya yang buruk.

Adanya ancaman gugatan di kemudian hari terhadap perbuatan pejabat BPPN di masa lalu, ternyata memang bukan hanya isapan jempol. Bahkan, sehari sebelum BPPN resmi ditutup, pengacara Hotman Paris Hutapea sudah melayangkan somasi ke BPPN dan KKSK.

Pengacara spesialis kepailitan yang mewakili Sugar Group ini, mempersoalkan rencana pemberian release and discharge (R&D) kepada keluarga Salim. Hotman meminta agar KKSK dan BPPN ‘berhati-hati sebelum memberikan R&D, mengingat ada potensi kerugian negara di balik penyerahan aset Sugar Group dari pemilik lama (keluarga Salim) ke pemerintah sebagai bagian dari penyelesaian MSAA.

Bapak akan menghadapi masalah hukum pidana dan perdata secara pribadi di kemudian hari apabila mendiamkan dugaan pelanggaran penggunaan uang negara tersebut dan sebaliknya membantu pengeluaran R&D. Padahal ada bukti kuat bahwa belum dipenuhi syarat pemberian R&D, ancam Hotman dalam somasinya.

Mengenai permintaan perlindungan hukum (idemnity), menurut Lukita, sebenarnya tidak ada kebijakan seperti itu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999  tentang BPPN, pemerintah hanya memberikan perlindungan hukum secara perdata terhadap karyawan BPPN maupun KKSK yang melaksanakan tugasnya dengan itikad baik.

Sehingga dari konteks tersebut, perlindungan hukum hanya diberikan sebatas masalah perdata saja. Kalau, sudah terdapat indikasi kriminal, maka yang bersangkutan tidak bisa diberikan perlindungan hukum. Sehingga tidak salah, menurut Lukita, kalau kemudian para aparat penegak hukum melakukan proses hukum terhadap para karyawan maupun para pentingi BPPN yang kemudian diduga telah melakukan tindak pidana.

Sedangkan teka-teki mengenai jumlah pesangon kepada karyawan BPPN yang jumlahnya lebih dari 2000 orang ini akhirnya terjawab, ketika Jumat (27/2) lalu diumumkan besarnya total pesangon Rp237 miliar. Jumlah tersebut hampir mengalahkan total pesangon karyawan PT. Dirgantara Indonesia (Rp280 miliar) yang karyawannya berjumlah 6600 orang.

Untuk level ketua dan wakil ketua BPPN, deputi, sampai staf ahli, jumlah pesangonnya mencapai ratusan juta sampai di atas satu miliar. Jumlah yang sangat fantastis dibandingkan kinerja mereka selama lima tahun yang hanya mampu mengenbalikan tak lebih dari 28 persen dari nilai aset yang dikelola BPPN

Meski Presiden Megawati menganggap bahwa pesangon BPPN wajar, tetapi tetap saja dinilai berbagai kalangan melukai perasaan keadilan. Pasalnya, sebagian pejabat BPPN yang tersebut, ternyata sudah mengamankan diri di berbagai perusahaan. Ketua BPPN misalnya, beberapa waktu lalu tercatat sebagai Komisaris Pertamina, sementara Sumatri Slamet (Wakil Ketua), juga menjadi Komisaris di Bank International Indonesia (BII).

Tidak ada opini

Dari banyak persoalan terhadap kinerja BPPN, ada pula desakan agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secepatnya melaksanakan audit investigatif terhadap BPPN. Sejauh ini, sebagaimana telah dikemukakan Ketua BPK Satrio B. Joedono, instansinya hanya  melakukan audit kinerja.

"Sudah dilakukan, begitu selesai akan kami laporkan. Yang sedang kami lakukan adalah audit mengenai kinerja BPPN, khususnya menyangkut restrukturisasi perbankan, yang saat ini masih dalam tahap penyelesaian," papar Satrio. Namun, soal audit kinerja ini, Satrio mengungkapkan bahwa instansinya tidak mengeluarkan opini.

Audit kinerja sendiri, sebenarnya langkah awal untuk mengetahui keberhasilan BPPN selama lima tahun terakhir ini. Pasalnya, audit kinerja dapat memperlihatkan sejauh mana pencapaian sasaran yang telah dilakukan BPPN. Soal audit kinerja BPPN ini, Satrio menjelaskan bahwa tidak tertutup kemungkinan BPK melakukan audit terhadap neraca penutupan BPPN.

"Pada audit neraca, baru kita mengetahui berapa kemungkinan lost (kerugian) pemerintah. Itu penting, agar pemerintah tahu apa yang ditinggalkan BPPN kepada pemerintah, dalam hal ini Menkeu," ujarnya. Namun, karena sampai saat ini pemerintah belum meminta, maka BPK belum bisa melakukannya.

Banyak pihak mungkin tidak terlalu suprise, kalau kerugian negara akibat penjualan aset maupun dari penyelesaian kewajiban para obligor tidak bakal tertutup. Namun yang terpenting adalah, tanggung jawab hukum harus terus dibebankan seandainya pejabat BPPN yang diberi kepercayaan untuk menyelamatkan aset negara, justru malah jadi penyamun.

Dari total Rp650 triliun nilai aset yang dikelola, BPPN hanya mampu memperoleh tingkat pengembalian sekitar 28 persen. Padahal, Propenas sudah mematok penjualan aset yang harus dilakukan BPPN mencapai 70 persen dari total nilai aset. Sementara aset-aset sisa yang saat ini masih dikuasai BPPN, dan akan diserahkan ke PPAN diperkirakan  nilainya hanya Rp10,18 triliun.

Beberapa pihak menuding, rendahnya pengembalian dari penjualan aset ini karena BPPN menjual aset-aset tersebut dengan harga yang murah, jika dibandingkan dengan harga yang harus ditanggung negara dari para pengutang (obligor). Banyak contoh yang bisa disebut untuk memperkuat tudingan ini.

Misalnya saja aset Chandra Asri, yang pengembaliannya hanya empat persen, jauh dibawah target kalau merujuk ke kewajiban Chandra Asri yang sebesar AS$767,7 juta. Soal rendahnya pengembalian Chandra Asri, pihak BPPN berdalih terjadi karena adanya mark up (penggelembungan nilai) saat pemberian kredit ke proyek Chandra Asri.

Hal yang sama juga terjadi pada aset-aset properti yang dikuasai BPPN untuk dijual. Disinyalir, banyak aset yang dijual tanpa adanya proses lelang yang memadai. Bahkan seorang peserta lelang kepada hukumonline pernah mengatakan bahwa aset-aset properti di beberapa daerah strategis ternyata sudah dikapling oleh orang-orang dalam BPPN sendiri.  

Menjelang penutupannya, BPPN juga terkesan mengobral Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi para obligor bermasalah. Bayangkan,, tujuh hari menjelang penutupannya, BPPN mengumumkan telah mengeluarkan delapan SKL bagi obligor kakap. Ini belum ditambah, dengan bakal keluarnya SKL bagi Sjamsul Nursalim, konglomerat yang selama ini dikenal tidak kooperatif terhadap proses penegakkan hukum di Indonesia. Ini tentu menimbulkan tanda tanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: